Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BABI NGEPET - BAB 3: Perjanjian Malam Gelap - 2

Anjing-anjing kampung menyalak keras, gigi mereka mengilap di bawah cahaya bulan. Namun tidak satu pun yang berani mendekat, seolah merasakan aura gelap yang menyelimuti makhluk itu.

Tok Lang berdiri di samping Naim, tubuhnya tegap meskipun rambutnya sudah memutih, matanya berkaca, menatap kehancuran seorang manusia yang telah menjadi binatang.

“Itulah… dosa paling kejam di kampung ini, Naim,” suara Tok Lang serak, berat. “Lihat baik-baik… ini akibat manusia yang menjual jiwanya demi kepentingan sendiri.”

Naim menelan liur, bulu tengkuknya meremang. Ia ingin menutup mata, tapi rasa ingin tahu memaksa tubuhnya diam, menonton.

“Tok… tapi… tapi kenapa Surip lakukan semua ini? Kenapa sampai jadi… jadi… seperti itu?” suaranya gemetar.

Tok Lang menggeleng, menundukkan kepala sejenak sebelum menatap gelap di sawah dengan mata tajam. “Putus asa… nafsu… janji palsu pada diri sendiri… semua bercampur menjadi satu, Naim. Malam ini kau lihat sendiri… harga ilmu hitam itu.”

Naim menggigit bibirnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Tapi… dia suami… dia manusia… kenapa harus… jadi binatang?”

Tok Lang menepuk bahu Naim pelan, namun tegas. “Itulah hukum alam, anakku. Jiwa yang dijual demi dunia, bila dibiarkan tanpa taubat, ia akan kembali sebagai binatang. Binatang… tapi masih membawa dendam manusia.”

Babi hitam itu berhenti sejenak, matanya merah menyala menatap ke arah rumah Tok Lang. Naim mundur, tubuhnya gemetar hebat. “Tok… dia… dia bisa… menyerang kita?”

Tok Lang menunduk, suaranya rendah namun menggetarkan. “Kalau kau tidak hati-hati… bisa. Tapi dia masih terikat dengan energi yang dia sendiri ciptakan. Kau lihat… setiap langkahnya, setiap geramnya… adalah dosa yang ia bawa sendiri.”

Naim menelan air liur lagi, tangannya menggenggam kain lusuh di pangkuan. “Tok… apakah… apakah masih ada harapan untuknya?”

Tok Lang menatap jauh, matanya kosong sejenak, lalu kembali fokus pada babi hitam itu. “Harapan? Hanya satu… kalau ia mau menyesal, menyerahkan diri, dan membayar dosa. Tapi… siapa yang berani menaruh harapan pada hati yang telah dibutakan oleh nafsu?”

Suara geraman babi hitam terdengar dari kejauhan, diikuti karung yang terguncang hebat. Naim terhuyung mundur, lututnya hampir lemas. “Astaghfirullah… ya Allah… aku… aku tak sanggup… melihat semua ini…”

Tok Lang memegang pundak Naim lebih erat. “Ingat, anakku… ilmu hitam bukan permainan. Siapa yang memainkannya, akan hancur. Dan malam ini… kau saksikan sendiri pelajaran terkejamnya.”

Naim menunduk, matanya berlinang. Ia tahu, malam itu bukan sekadar menonton keajaiban atau keanehan—ia sedang menyaksikan dosa, keserakahan, dan kehancuran manusia yang memilih jalan gelap.

“Dan ingat… Naim,” Tok Lang menambahkan, suaranya lebih berat, “setiap manusia punya pilihan. Pilihan untuk baik… atau membiarkan dirinya binasa. Surip sudah memilih jalannya sendiri.”

Naim menelan liur, matanya membulat menatap gelap di sawah, di mana babi hitam itu kini hilang di balik kabut malam. Namun suara geramnya tetap menempel di telinga Naim, menghantuinya sampai ke dalam mimpi.

Penutup Bab 3: Kesunyian yang Membunuh

Hujan mulai turun lagi, rintik-rintik tipis menimpa atap rumah Tok Lang, membentuk irama sendu yang menenangkan sekaligus menakutkan. Angin malam berhembus membawa aroma tanah basah yang segar, bercampur dengan bau lain—bau bangkai, bau dosa, bau yang tak pernah hilang dari Desa Karang Wangi.

Naim menunduk, tubuhnya gemetar hebat. Matanya tak lepas dari bayangan gelap yang bergerak di sawah, seperti sisa-sisa malam yang belum selesai menakutinya.

“Tok… aku… aku takut… aku… aku tak sanggup melihat semua ini lagi…” suaranya nyaris tak terdengar, terselip di antara gemerisik daun dan suara hujan.

Tok Lang menepuk bahu Naim pelan, lalu meletakkan tangannya di pundak anak muda itu. Suaranya lembut tapi tegas.

“Naim… rasa takut itu wajar. Kau masih muda, dan kau baru pertama kali melihat… harga dosa manusia. Tapi dengar aku, jangan biarkan ketakutan menguasaimu.”

Naim menatap wajah Tok Lang, matanya penuh air mata. “Tapi Tok… semua ini… semua ini mengerikan. Bagaimana bisa manusia berubah jadi… jadi begitu? Dan babi itu… Surip… dia pernah… dia… dia ayahku… paman… teman…” suaranya tercekat, tangannya gemetar memeluk lutut.

Tok Lang menghela napas panjang. “Itulah pelajaran yang harus kau ingat, Naim. Ilmu hitam bukan mainan. Manusia yang tergoda keserakahan dan putus asa… akan hancur sendiri. Kau lihat sendiri malam ini… bukan hanya tubuh Surip yang berubah, tapi hatinya juga telah mati sebelum jasadnya.”

Hujan turun lebih deras, suara tetesan di atap seperti drum menimbulkan ketegangan. Naim menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya.

“Tok… apakah… apakah masih ada harapan untuk orang seperti dia? Masih bisa kembali jadi manusia?”

Tok Lang menunduk sejenak, menatap jauh ke arah sawah yang basah dan gelap. “Harapan… selalu ada, tapi sangat tipis, anakku. Hanya yang mau menyesal, yang mau membayar dosa, bisa selamat. Tapi banyak yang tersesat terlalu jauh… dan kita hanya bisa menyaksikan.”

Naim menelan liur, kepalanya menunduk. Suasana di sekelilingnya sunyi, hanya suara hujan, angin, dan detak jantungnya sendiri yang terdengar jelas.

“Tok… kesunyian ini… rasanya… membunuh,” bisiknya.

Tok Lang tersenyum tipis, sedih tapi bijaksana. “Benar… tapi ingat, Naim. Kesunyian yang membunuh tidak selalu datang dari binatang… kadang datang dari manusia sendiri. Kesepian, pengkhianatan, dan dosa yang menumpuk… itu lebih berbahaya daripada apa pun yang kau lihat malam ini.”

Naim menunduk lebih dalam, tangannya menekan telapak ke wajahnya. Suasana hujan yang basah dan angin yang menderu membuatnya merasa kecil, tak berdaya. Namun di balik ketakutannya, perlahan muncul pemahaman.

Dan di tengah malam yang basah dan berangin itu, Naim tahu… rahsia Karang Wangi baru saja membuka lembaran paling gelapnya. Lembar yang tidak bisa lagi ditutup, bahkan oleh hujan yang paling deras sekalipun.

“Tok… aku… aku akan ingat ini. Aku takkan lupa…,” bisiknya lirih, suaranya hampir tersapu angin.

Tok Lang menepuk pundak Naim satu kali lagi, lembut. “Ingat baik-baik, anakku. Dosa selalu meninggalkan jejak… dan malam ini, kau menyaksikan jejaknya.”

Hujan terus menimpa, dan desa itu tetap sunyi, seakan ikut menangis bersama mereka yang menyaksikan kegelapan manusia.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel