BABI NGEPET - BAB 3: Perjanjian Malam Gelap - 1
Bab 3.1: Ritual Terlarang
Hujan sudah reda, tapi angin dingin masih menampar daun-daun pisang. Bau tanah basah bercampur asap kayu dari tungku dapur. Naim belum bisa tidur malam itu. Kata-kata Tok Lang terus menghantuinya.
“Jaga lilin… kalau padam, dia takkan balik manusia…”
Naim menahan napas, matanya menatap rumah Surip beberapa rumah jauhnya. Gelap kecuali satu cahaya temaram—lilin yang berkedip-kedip di tengah ruang tanah. Dari kejauhan terdengar suara tangis lirih, seperti perempuan yang sesak menahan air mata.
Di dalam rumah Surip, Mbak Saroh duduk bersimpuh, menunduk, gemetar menahan napas. Lilin tinggi diletakkan di atas piring tanah. Api bergoyang liar ditiup angin dari celah jendela.
“Abang… jangan, Bang… aku takut…” bisik Saroh, suaranya serak. Air matanya menetes ke atas kaki telanjang, membasahi sarung batik lusuhnya.
Surip menunduk, napas berat. Tangan gemetar memegang kain hitam warisan Mak Jenab, diolesi minyak busuk yang menusuk hidung.
“Kita bisa kerja keras aja… kita bisa sabar… ini jalan satu-satunya,” balas Surip, suaranya bergetar tapi tegas, menatap lilin dengan mata merah berair.
Saroh menggigit bibir, mencoba menahan tangis.
“Abang… apakah ini benar… cara yang benar? Aku… aku takut kalau lilin itu padam… kalau kau… kau hilang selamanya!”
Surip menghela napas panjang, matanya tetap menatap lilin. Suaranya berubah menjadi serak, seperti ada yang lain menguasai tubuhnya.
“Kakang kawis… adi kawis… buka panto gaib… Jiwa kaula diserahkeun… Rejeki teu kahabiskeun… Lilin jadi saksi… Getih jadi tumbal… Kuduna manusa balik, lamun padam euweuh ampun…”
Saroh menekap mulutnya, air mata menetes di atas kaki telanjang. Tubuhnya kaku, takut, bingung, tapi tak berani bergerak.
“Abang… astaghfirullah… tolong… aku tak sanggup melihat…” bisik Saroh, suaranya bergetar.
Surip menoleh sekejap, pandangannya kosong tapi matanya tetap merah menyala.
“Tenang, Saroh… kau cuma jaga lilin. Jangan sampai padam… Jangan takut. Api itu nyawa kita… nyawa aku… nyawa kita semua…”
Saroh menunduk, menahan napas. Tangannya gemetar memegang piring tanah berisi lilin. Api bergoyang liar, hampir padam tertiup angin dari celah jendela.
Di luar, Naim menahan napas, menatap dari celah jendela rumah panggung Tok Lang. Hatinya berdebar kencang, bulu roma meremang. Dia bisa mendengar setiap bisikan Saroh, setiap gerakan Surip yang aneh.
“Tok… ini… ini nyata… atau aku mimpi?” bisik Naim pelan, hampir tak terdengar.
Tok Lang berdiri di belakang Naim, matanya tajam menatap ke arah rumah Surip. Suaranya serak tapi tenang.
“Ini nyata, Naim… dan kalau kau melihat, jangan berani ikut campur. Rahsia itu bukan untuk mata anak muda… hanya untuk yang sudah terikat…”
Naim menelan liur. Hujan yang baru reda tadi mulai menetes lagi di daun, angin menyalak ke dedaunan. Api lilin berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang menari di dinding rumah Surip, seolah-olah hidup sendiri.
Saroh menatap Surip dengan mata penuh ketakutan.
“Abang… aku… aku tak sanggup… jangan tinggalkan aku… jangan padamkan lilin…”
Surip mengangguk perlahan, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal.
“Jangan takut, Saroh… api itu menjaga kita… aku… aku harus lakukan ini…”
Di luar rumah, Naim menutup mulutnya, matanya membesar. Dia tahu malam ini adalah malam yang akan mengubah pandangannya tentang Desa Karang Wangi selamanya.
Bab 3.2: Perubahan Yang Menjijikkan
Api lilin mendadak melambung tinggi, menebarkan cahaya oranye yang berkelip liar di dinding rumah. Angin berputar di dalam ruangan seperti pusaran kecil, membawa aroma tanah basah bercampur kayu bakar yang terbakar. Kain hitam di tangan Surip bergetar sendiri, seakan menari mengikuti kehendak tak terlihat.
Saroh menoleh, matanya merah bengkak dan berkaca. Tubuh Surip mulai membungkuk, otot-ototnya berkedut dengan ritme yang aneh. Suara ngorok berat terdengar dari tenggorokannya, membuat bulu kuduk Saroh meremang.
“Abang… astaghfirullah… Abang…!” teriak Saroh hampir menjerit, namun suaranya tercekat di tenggorokan. “Tolong… apa yang terjadi denganmu?”
Tubuh Surip bergetar hebat. Tulang-tulangnya terdengar seperti retak, kulitnya seolah-olah bergeser. Suara mengerikan itu membuat Saroh menutup telinga, namun matanya tak bisa berpaling.
Dari mulut Surip keluar air liur berbuih. Matanya perlahan berubah merah menyala, hidungnya memanjang menjadi bentuk yang menyeramkan. Badannya mulai tertutup bulu hitam kasar. Kain batik yang dia lilitkan menempel, melilit tubuhnya seakan disedot oleh makhluk yang lahir dari kegelapan.
Saroh menjerit, tubuhnya gemetar hebat. “Abang… ini… ini bukan manusia lagi…!”
Surip—atau yang kini tampak seperti babi hitam raksasa bermata merah—menggeram, suara beratnya menggema di seluruh rumah. Ia mendekat, langkahnya berat menghentak lantai kayu.
Saroh mundur, tersandung kursi, lalu jatuh terduduk. Tangannya menahan napas, mencoba melindungi lilin yang hampir padam. “Jangan… jangan padam… aku takkan… aku takkan biarkan…!” bisiknya, suara bergetar.
Babi hitam itu menatap Saroh dengan mata merah membara. Saroh menunduk, memeluk lutut, menahan tangis. “Tolong… ya Allah… tolong aku… jangan biarkan aku mati di sini sendirian…”
Di luar rumah, gonggongan anjing terdengar, bersahut-sahutan. Babi hitam itu menggeram, lalu melompat keluar jendela dengan tubuh beratnya. Saroh terhuyung, tangannya terlepas dari lilin yang hampir padam. Tetesan lilin panas jatuh menimpa kulitnya, membuatnya menjerit kesakitan.
“Abang…! Surip… tolong… kalau masih ada abang di dalam sana… aku… aku minta maaf!” teriaknya, suara pecah oleh tangisan.
Dia menatap keluar jendela, namun hanya kegelapan yang menyambut. Hanya terdengar suara hutan malam yang mencekam—dedaunan digerakkan angin, ranting patah, dan sesekali suara anjing menyalak dari kejauhan.
Saroh terkulai di lantai, sujud, menahan napas. “Ya Allah… jangan biarkan ini nyata… jangan… jangan biarkan…”
Hening menelan rumah itu sejenak, hanya suara detak jantung Saroh yang bergema. Dan dari kegelapan luar, terdengar geraman berat, menggema, menandakan makhluk itu masih berkeliaran di sekitar rumah. Saroh menekuk tubuh, menutup wajah dengan kedua tangan, dan hanya bisa berdoa sambil tangis menumpuk di dada.
“Abang… aku akan jaga lilin… aku akan jaga… jangan biarkan abang hilang sepenuhnya…” bisiknya sambil menatap api yang hampir mati, berharap ada secercah harapan tersisa.
Bab 3.3: Naim Menyaksikan Dosa
Di rumah Tok Lang, Naim menekan telapak tangan ke mulutnya, menahan napas. Jantungnya berdebar kencang seperti hendak meledak. Di luar jendela, sawah yang basah oleh embun malam bergelombang diterpa angin, dan di sana, babi hitam sebesar anak lembu melompat-lompat, menggonggong karung besar yang berguncang. Dia tahu—karung itu penuh dengan harta curian dari kampung lain.
