Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Seminggu sejak astral terakhirku itu, dunia terasa seperti lembar kosong yang enggan menerima warna, dan aku juga sengaja tidak melakukannya. Tidak ada aktivitas tidur, tidak ada gangguan halus, tidak ada tarikan samar dari dimensi yang biasanya membuka tepi realitas paralel. Tidurku lurus, bersih, seperti kertas putih yang tidak berisi apa pun. Hanya tidur yang nyenyak.

Paralel drift terakhir, ada sesuatu yang terasa patah. Bukan patah yang menciptakan tangis atau luka yang merobek tubuh, tetapi retakan metafisis yang sunyi. Luka yang tidak bersarang di tubuh, melainkan melekat di dasar kesadaran, aku sakit hati dengan ke jombloan ku.

Hari-hari berjalan datar, nyaris tanpa warna. Pengalaman-pengalaman goib yang biasa mengganggu jiwa, atau perjalanan paralel yang selalu menghiburku, kini hanya tersisa kekosongan bagaikan kehilangan cahaya, cahaya kehidupan yang ku impikan kian menjauh, seperti bintang mati.

Untuk menenangkan kehampaanku sendiri, aku kembali tenggelam dalam rutinitasku didunia nyata yang tiada berakhir ini.

Tabungan yang kukumpulkan dari kerja keras ku, aku membelikan sebidang tanah yang kupelihara dengan tanganku sendiri.

2 hektar lahan itu bukan sekadar tempat mencari pemutaran untuk bertahan hidup, bagiku menjadi tempat menjernihkan pikiran yang berserakan, ruang untuk menata ulang denyut hidup yang terlalu kacau.

Setiap hari kupijaki tanah itu, kubabat rumputnya, dan ku punguti biji kelapa sawit yang gugur sebagai tambahan rezeki. Ladang seperti hal perpanjangan tubuhku, salah satu tempat penegas bagiku yang membuktikan bahwa realitas masih bernyawa, masih ada celah impian, realitas yang benar-benar masih dapat disentuh bukan yang hanya sebatas indah sekejap.

Namun kehangatan sederhana dari dunia nyata tidak sepenuhnya mengisi rongga di dadaku. Sesekali muncul getaran halus di bawah tulang rusuk, sebuah isyarat samar dari ruang yang pernah ku tembus. Sensasi itu tidak pergi, hanya merunduk, menunggu saat pikiranku lengah.

Setiap angin yang lewat di antara dedaunan ladang menghidupkan kembali ingatan tentang tarikan dari dunia lain. Cahaya pagi yang memantul di permukaan irigasi tampak mirip seperti serpihan jendela dari salah satu dunia yang pernah ku jelajahi.

Saat aku sedang menunduk memunguti biji kelapa sawit, suara berat yang akrab melintas di belakangku.

"Banyak, Dan?"

Pak Narto muncul sambil memanggul karung ukuran 30 kilo yang hampir penuh, karung yang berisi biji-biji uang, baginya adalah sumber hidup, dan bagiku tambahan saku untuk rokok, makan, kopi, dan cemilan ku.

"Sikit, Pak. Baru masuk aku,"

jawabku sambil kembali mengutip, yang berserakan di depanku.

Mayoritas di daerahku bekerja di lingkaran kehidupan kelapa sawit. Ada yang memanen, ada yang mengutip biji sawit yang di sini disebut carbon, dan ada pula yang memilih jalan pintas mencuri buah sawit milik orang lain, yang dalam bahasa kami disebut peninja.

Pak Narto tidak berkata banyak. Ia hanya mengangguk kecil sebelum kembali melangkah menerobos semak belukar diladang sebelah.

Suara jejak langkahnya perlahan lenyap bersama suara angin, tetapi kehadirannya barusan mengingatkanku betapa sederhana hidup di dunia fisik ini, dan betapa kompleks jiwa yang pernah menembus dimensi lain.

Seperti biasa, rutinitasku dari pagi hingga menjelang sore ku habiskan waktu berladang, memastikan tidak ada gulma yang tumbuh liar, menjaga tanah tetap bernapas, dan merawat setiap barisnya agar tetap berada dalam alur kehidupan yang layak semestinya. Di siang hari, ketika tenaga mulai menurun, aku sering singgah ke warung Mak Murni untuk makan dan memulihkan stamina.

Jadwal makan siangku sebenarnya tidak menentu. Kadang satu hari penuh kulalui tanpa makanan, namun lebih sering aku berhenti menjelang sore, tergantung seberapa lama tubuhku mampu bertahan mengutip dan mengurus setiap detail kecil ladangku.

Aku sebenarnya tipe yang bisa dikatakan kuper, ya bukan tanpa alasan, aku hanya tak mau banyak berinteraksi, sebab semua itu membuat kesadaranku terikat hal-hal yang mustahil dipahami orang awam, yang hanya menjadi beban bagiku.

Namun hidup sendirian di usia yang hampir menginjak kepala 3 menghadirkan sepi yang tidak bisa ditawar. Banyak yang menyuruhku menikah. Bahkan toke tempatku menjual hasil ladang pernah mencoba menjodohkanku dengan putrinya.

Entah mengapa setiap kali aku hendak dijodohkan orang selalu kutolak, padahal posisiku saat ini memang sudah seharusnya menikah, bukan aku sok jual mahal, semacam ada penolakan halus dari tubuhku, sebuah keengganan yang bahkan aku sendiri tak paham sepenuhnya. Seolah ada bagian dalam diriku yang berkata bahwa belum saatnya, seolah ada sesuatu yang menunggu belum selesai, sesuatu yang masih berada di balik tirai realitas.

Jiwaku, bila kutelisik sejujurnya merindukan sesuatu yang hangat, aku merindukan untuk dipeluk kehidupan, untuk merasakan arti sebenarnya. Ingin sekali aku dimiliki dan memiliki. Di kedalaman yang tak pernah kudeklarasikan pada siapa pun, ada keinginan murni untuk berumah tangga, membangun sebuah tempat pulang yang bukan sekadar rumah, melainkan perteduhan jiwa.

Namun anehnya, pada saat yang sama, ada kekuatan lain dalam diriku yang menahan, seolah menjaga sebuah batas yang bahkan aku sendiri tak sepenuhnya mengerti. Bagian dari keberadaanku berjalan berdampingan seperti garis-garis paralel yang bersatu padu, hidup bersamaan sekaligus dalam ritme masing-masing-Selaras, sejalan, namun tak pernah benar-benar berkomunikasi, tetapi juga tidak saling meninggalkan. Hanya saling memberi isyarat, saling mengenalkan diri lewat tanda-tanda yang muncul dari berbagai lapisan realitas.

Setiap kali kutanya diriku sendiri mengapa, yang kembali hanya gema samar? seperti jawaban dari perjalanan yang belum selesai, atau mungkin dari takdir yang masih menunggu waktu untuk terbuka sepenuhnya.

Kehampaan yang kurasakan bukanlah kekosongan biasa, seperti menyerupai lapisan kabut yang menyimpan misteri ingatan, seperti lukisan abstrak yang terus berubah bentuk, tak bisa dipastikan arahnya. Sering seolah tersedia sebuah ruang isolasi tempat aku dapat mengurai makna-makna tersembunyi dari dalam diriku sendiri. Aku selalu belajar dari setiap pengalaman, mempelajari kembali bagian-bagian diriku yang pelan-pelan berubah.

Saat tubuhku tenggelam dalam rutinitas berladang, pikiranku justru sering mengapung seperti entitas bebas, melayang di antara kesadaran dunia fisik dan bayangan pengalaman metafisis yang pernah kualami. Di ruang antara itulah aku merasa hidupku seakan terbelah, namun tetap saling terhubung oleh senar halus yang tak terlihat.

Ada saat-saat tertentu, aku merasakan denyutan aneh di sekitar kepala. Denyutan itu tidak menyakitkan, tetapi cukup kuat untuk membuatku berhenti sejenak. Pada momen-momen seperti itu, aku merasakan seolah alam mencoba berbicara melalui bahasa yang tak kumengerti sepenuhnya, alam berbicara dari getaran. Seakan semua paralel drift yang kualami bukan kejadian acak, melainkan sebuah fragmen dari pola yang jauh lebih besar dan terstruktur, yang belum ku mengerti sepenuhnya.

Bumi tempatku berdiri hanya salah satu simpul kecil dalam anyaman kosmik yang lebih rumit daripada yang kupahami sebelumnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel