Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Aku menjerit tanpa suara ketika tubuh astralku ditarik oleh gaya yang tidak dapat kutahan. Pilar cahaya memanjang, memudar, lalu hilang. Monster itu terlempar ke belakang, tersapu oleh arus cahaya putih yang datang entah dari mana.

Suara perempuan penjaga terdengar samar, seperti dari ujung terowongan:

"Kalau kau tersesat... ingatlah getaran tubuhmu... cari nafasku... jangan biarkan dirimu hanyut..."

Aku terlempar.

Tidak seperti melayang, tapi seperti dilempar dari jarak yang sangat tinggi. Tubuh astralku bergulung, memutar, dan terus melayang hingga akhirnya menembus sesuatu, lapisan dimensi yang tipis tapi sangat dingin. Rasanya seperti menembus udara beku yang membakar.

Cahaya di sekelilingku meledak.

Ketika penglihatanku pulih, aku berdiri.

Dan di depanku... Rumahku.

Rumahku di desa Aek Sabaon itu berdiri persis seperti dalam ingatan, seolah tidak berubah satu pun. Aku memandang sekeliling.

Tapi semuanya... terlalu hening.

Tidak ada suara jangkrik.

Tidak ada hembusan angin.

Hanya keheningan yang jauh lebih pekat daripada dunia nyata.

"Aku... berhasil?" bisikku.

Aku melangkah mendekat, kaki astralku tidak menyentuh tanah namun tetap terasa berpijak. Rumah itu seperti lukisan yang dibuat dengan presisi sempurna, namun tanpa kehidupan.

Kutatap dari jendela ruang tamu, memastikan aku tidak salah.

"Ini... benar-benar rumahku."

Aku ragu sebentar, lalu menembus pintu kayu yang tertutup.

Begitu masuk—

Aku terdiam.

Ruang tamu itu ada.

Kursi panjang ada.

Meja kecil dengan taplak berwarna biri masih ada.

Jam dinding tua masih tergantung.

Tapi...

Tubuhku.

Tubuhku tidak ada.

Mataku membelalak.

"Aku... seharusnya ada di sini..."

Biasanya saat melakukan astral projection, tubuh fisik selalu berada dekat, terbaring tidur, menunggu. Tapi kali ini, ruangan itu kosong sepenuhnya.

"Ke mana tubuhku?"

Aku memeriksa seisi ruangan.

Kosong.

Tak ada tubuhku di mana pun.

Tidak juga bayang-bayang tidurku. Tidak juga sensasi tarikan kembali seperti biasanya. Justru rumah itu terasa seperti cangkang yang ditinggalkan, seperti aku datang ke tempat yang tidak sepenuhnya nyata namun meniru dunia fisik milikku.

"Aku tersesat..."

Aku berjalan ke sudut ruang tamu. Cahaya astralku memantul lembut pada dinding. Lalu aku mencoba teknik dasar yang diajarkan penjaga lintasan:

mencari getaran tubuh fisik.

Aku menutup mata. Mengatur kesadaran. Menyingkirkan suara yang tidak ada, tidak nyata, dan mencari satu hal yang seharusnya selalu terhubung: ritme jantung, aliran darah, denyut halus tubuhku yang tidur.

Tidak ada.

Hanya sunyi.

"Tidak... ini tidak mungkin..."

Aku membuka mata, panik. Berjalan cepat ke luar rumah. Mencari ke halaman. Ke bawah pohon sawit. Ke belakang rumah. Tidak ada jejak tubuhku, tidak ada tanda bahwa aku sedang tertidur di mana pun.

Lalu aku sadar:

Tempat ini bukan rumah fisikku.

Ini refleksi rumah dalam astral.

Aku mengembuskan napas, merasakan sensasi analoginya, dan lagi aku mengingat pesan perempuan penjaga:

"Kalau kau tersesat... ingatlah getaran tubuhmu..."

Aku duduk bersila di tengah ruang tamu astral itu. Aku memejam... Diam.

Aku memanggil kembali ingatan tentang tubuhku yang tertidur. Suhu kulitku. Aroma bantalku. Nyeri kecil di bahu kanan karena kebiasaan tidur miring. Detak jantungku yang kadang cepat ketika pikiranku gelisah.

Aku fokus.

Kupaksa pelan-pelan...

Sesuatu muncul.

Seperti getaran halus dari tempat yang sangat jauh. Seperti suara tipis, lebih seperti riak kesadaran yang memanggilku pulang.

"Ada..."

Aku meneguhkan diri. Fokus pada sensasi itu. Fokus pada hal yang paling sederhana:

tarikan napas.

hembusan napas.

Di dunia fisik, tubuhku sedang bernapas.

Aku harus menemukannya.

Aku harus kembali.

Getaran itu semakin kuat.

Aku tidak membuka mata astralku.

Hanya mengikuti riak itu.

Arusnya.

Denyutnya.

Lalu dunia astral mulai pecah seperti kaca yang dilempar batu.

Rumah astralku retak.

Dindingnya bergetar.

Lantainya terasa seperti pasir yang tersedot.

Aku tahu ini momen kembalinya.

Aku memejam lebih kuat.

"Tarik aku..."

"Tarik aku ke tubuhku..."

"Ini diriku... rumahku yang sebenarnya..."

Getaran itu berubah menjadi tarikan.

Kuat.

Sangat kuat.

Sampai rasanya aku tercerabut, kembali diriku sendiri.

Tubuh astralku tertarik ke belakang.

Lalu ke atas.

Lalu ke dalam.

Seperti ditelan pusaran raksasa.

Segalanya menjadi putih.

Lalu hitam.

Lalu...

Aku terjatuh ke dalam tubuhku sendiri. Seperti menyelam ke air yang sangat dingin.

Dadaku menghentak.

Jantungku memukul keras.

Otot-ototku mengencang sendiri.

Mataku terbuka mendadak.

Aku tersedak napas.

Menghirup udara seakan tenggelam begitu lama.

Aku bangun dengan teriakan kecil yang tercekat:

"Hhh—!!!"

Aku duduk terlonjak.

Keringat dingin membanjiri punggung dan leherku. Napasku tersengal-sengal, mencari ritme yang stabil. Ruangan fisik tampak buram sebelum akhirnya fokus.

Aku kembali. Aku benar-benar kembali.

Namun sensasi astral itu masih menempel di kulit batinku...

Kesadaranku kembali perlahan, seperti kepingan yang tersusun ulang setelah dihantam sesuatu yang tak kasatmata. Aku tergeletak di ranjang, napas tersengal, dan dada terasa berat seolah baru muncul dari kedalaman air.

Jam dinding menunjukkan pukul 04.00, suasana masih sunyi.

Aku keluar sebentar ke teras, menyalakan rokok, lalu menarik napas panjang. Sensasi lorong ungu, vibrasinya, tekanan gravitasi asing, dan suara perempuan penjaga lintasan masih tertinggal jelas dalam kepala. Tidak ada rasa takutku, hanya kekecewaan.

Malam ini aku sudah berusaha memasuki lucid dream untuk mencari celah menuju paralel drift, tetapi hasilnya kembali menyimpang. Pengalamannya menarik, tetapi jauh dari tujuan awal.

Aku sudah membayangkan bisa kembali ke dunia Jaka; dunia paralel yang indah dan akrab. Bahkan sempat membayangkan menuntaskan keintiman dengan istriku di sana, wanita yang secara hukum dan jiwa benar-benar menjadi milikku di realitas itu.

Namun yang kudapat hanya astral projection lagi. Jalur yang selalu berhenti di perbatasan, membiarkanku menyentuh tepi realitas tanpa pernah benar-benar masuk.

Asap rokok naik perlahan sambil menutup pintu, angin mulai berhembus dingin diluar, terngiang makna aneh dari pesan misterius si perempuan yang mengaku penjaga lintasan itu. "Jika terlalu lama, sesuatu bisa mengisi tubuhmu."

Aku menatap sekitar. Lemari kaca, meja kecil, dinding abu-abu yang kupoles dua bulan lalu, semuanya tampak normal. Tidak ada tanda fenomena gaib apa pun. Namun ada satu keanehan: biasanya setelah perjalanan astral panjang, masih tersisa garis-garis samar realitas lain. Kali ini tidak. Semuanya tertutup rapat, seperti tidak pernah terbuka sejak awal.

Kelelahan yang muncul bukan sekadar fisik. Ada bagian dari diriku yang terasa tertinggal di lorong itu. Saat memejamkan mata, yang muncul bukan getaran astral atau visual paralel, melainkan hampa tapi menenangkan.

"Kenapa aku gagal lagi?" Pertanyaan itu singkat, tetapi cukup untuk menusuk. Aku seperti pengembara yang kehabisan penanda jalan. Bukan dunia astral yang kucari, bukan mimpi separuh sadar. Yang kuinginkan hanya satu: memasuki dunia paralel tanpa tersesat.

"Kenapa jalurnya berubah?"

"Kenapa setiap drift selalu terhadang?"

Tidak petunjuk yang memuaskan jawaban. Yang ada hanya kumpulan pertanyaan yang semakin menumpuk.

Aku menatap kedua tanganku. "Aku yang asli malah dia yang merasakan kenikmatan," gumamku, mengingat versi lain diriku yang hidup lebih lengkap, bahkan banyak yang sudah menikah. Sementara takdirku disini? aku hanya tersisa dengan pecahan lintasan tak tuntas.

Malam ini menegaskan satu hal: lintasan paralel tidak pernah bisa dipaksa. Dan jalur astral, seaneh apa pun, selalu menjadi pintu sementara yang menjauhkanku dari tujuan.

Semakin kupikirkan sambil berbaring, semakin membuat dadaku sesak:

Aku mulai muak dengan takdirku sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel