
Ringkasan
Sebuah perjalanan melintasi batas antara tubuh dan kesadaran. Madan ramadhan, seorang pria mandiri dengan kemampuan astral yang semula tak pernah ia pilih, terseret ke dalam serangkaian pengalaman gaib dan perlintasan paralel. Di tengah misteri realita dan paralel, adan jatuh hati pada Mirna, seorang wanita yang memiliki keterikatan misterius dengan salah satu sosok dari dunia paralel yang pernah hadir dalam hidup Adan. Hubungan mereka dibangun oleh benang merah jiwa, ikatan yang tak dapat diputus oleh ruang maupun waktu. Madan yang selama ini hidup sebagai seorang kuper akhirnya harus menentukan takdirnya: memperjuangkan Mirna, atau membiarkan takdir paralel mengambilnya. Bagaimana seorang Madan, yang selalu bersembunyi dalam sunyinya sendiri, berjuang memenangkan hati seorang Mirna?
Bab 1
"Saya nikahkan engkau Jaka bin Suroso kepada Siti Munaroh binti Adi Maksum, dengan mahar 1 miliar rupiah, 1 unit komersial type 148, dan 1 unit Lamborghini dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Siti Munaroh binti Adi Maksum, dengan mahar 1 miliar rupiah, 1 unit komersial type 148, dan 1 unit Lamborghini dibayar tunai."
"Bagaimana? Sah?"
"Saaah!"
Suara itu menggema bersama sorak hadirin, keluarga dan tetangga. Upacara sakral selesai.
Gadis kemayu itu kini resmi menjadi istri. Segala rangkaian acara berlangsung meriah dan sempurna: musik, tawa, doa, foto keluarga.
Semua berpadu dalam malam yang hangat.
Hingga malam larut.
Tamu-tamu sudah pulang, sebagian keluarga mempelai masih berkumpul di luar, bercakap ringan sambil menahan kantuk. Yang lain sudah mulai rebahan di dalam yang seisi ruangan penuh dengan kado-kado pernikahan.
Dan di dalam kamar khusus pengantin baru... 2 insan akhirnya hanya berdua.
"Akhirnya,"
ucap mempelai pria sambil membuka jasnya perlahan.
"Engkau resmi milikku sekarang."
Melempar tubuhnya ke kasur dengan wajah semringah.
Sementara sang mempelai wanita duduk di tepi ranjang, pipinya merona, jemarinya saling meremas menahan gugup.
Pengantin baru pria bangkit perlahan, merangkak mendekat, tatapannya menghangat penuh gairah.Tangannya menyentuh dagu istrinya, mengangkatnya lembut.
"Jangan malu… sini."
Nafas mulai bertaut.
Jarak wajah semakin dekat.
Bibir tinggal satu helaan lagi untuk saling bercipok.
Detik itu begitu nyata… begitu panas…
Namun...
Semuanya sekejap.
Gambar memudar seperti pasir disapu angin.
Sosok mempelai wanita kabur, cahaya kamar berubah abu-abu, dan dunia yang indah itu runtuh dari pinggirannya, segalanya memudar cepat.
Gelap.
Terbangun dengan jantung berpacu.
Napasku memburu, seolah paru-paruku baru saja dilepaskan dari genggaman yang tak terlihat.
"Ah, sial..."
gerutuku sambil menutup wajah dengan telapak tangan.
"Kenapa selalu berhenti di adegan begituan? Selalu saja pas momen penting."
Aku duduk perlahan, menenangkan diri, lalu meraih buku tulis dan sebuah pena, 2 benda yang selalu kusediakan di samping bantal.
Sudah bertahun-tahun ini menjadi ritualku, mencatat setiap pengalaman aktifitas tidurku.
Semua jenis aktifitas tidur ku kucatat, entah itu:
Astral Projection.
Lucid Dream.
False Awakening.
Sleep Paralysis.
Dream Walking.
Paralel drift.
Dan apa pun yang berkaitan dengan ruang bawah sadar.
Semuanya kutulis.
Semuanya kusimpan.
Kebiasaan ini sudah kulakukan sejak SMA, sejak pertama kali aku sadar bahwa tidurku bukan sekadar tidur.
Aku membuka halaman baru. Di baris paling atas kutuliskan tanggalnya dengan rapi:
Catatan Pengalaman:
Senin, 12 Agustus 2020
Paralel Drift — memori pertama kali.
Realitas Jaka.
Lalu kususun beberapa kata kunci yang tadi masih menempel jelas di kepalaku:
– jaka bin suroso
– siti munaroh binti adi maksum
– Mahar: 1 M rupiah, 1 unit komersial type 148, dan 1 Lamborghini
– Ending: Bercipok bibir yang tak sempat.
Di bawahnya, aku menulis alurnya secara singkat namun padat:
Aku terhanyut ke realitas paralel sebagai “Jaka”, seorang pria yang menikahi gadis berparas cantik. Kulitnya putih, matanya lembut, tinggi tubuhnya sebahu denganku di dunia itu. Semua berlangsung sempurna. Dari mulai prosesi pernikahan yang meriah, keluarga yang bahagia, tak ada satu pun hambatan. Hingga akhirnya kami masuk ke kamar pengantin, dan momen intim itu... saat bibir kami hampir bertemu... segalanya tiba-tiba memudar, tersadar bangun.
Tanganku berhenti menulis. Aku menarik napas panjang.
Setiap malam, aku berkutat dengan fenomena-fenomena ini.
Kadang aku sadar sepenuhnya.
Kadang aku terseret masuk tanpa kendali.
Kadang terasa seperti mimpi...
tapi terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Dan adegan tadi pernikahan mewah, pengantin cantik, tatapan penuh gairah yang hampir mengikat itu bukan sekadar bunga tidur.
Itu Parallel Drift.
Fenomena ketika kesadaranku hanyut ke kehidupan lain, kehidupan yang bukan milikku.
Untuk alasan yang belum kumengerti...
Keadaan itu selalu diakhiri memudar tepat sebelum aku menyentuhnya.
Aku masih belum puas dengan adegan seponggol tadi. Aku tahu persis bahwa apa yang baru saja kualami bukanlah Lucid Dream, False Awakening, Sleep Paralysis, atau Dream Walking. Ada sesuatu yang lebih, sejatinya asing tapi memori dan rasa seolah tak asing.
Fenomena yang berbeda, dan selama ini kusebut sebagai...
"Paralel Drift."
Paralel Drift adalah kondisi ketika kesadaran tercerabut dari pakem mimpi, lalu meluncur ke ruang-ruang realitas sejajar yang tidak sepenuhnya mimpi, sejatinya juga bukan dunia fisik yang kita kenal namun kesadaran menekankan pada memori dan rasa yang kuat. Kesadaran melayang seperti pecahan cahaya, terseret oleh ingatan, resonansi emosional, dan fragmen dunia lain yang pernah disentuh jiwa.
Aku sebenarnya belum benar-benar memahami cara mengaktifkan mode paralel drift secara sengaja. Fenomena itu hampir selalu terjadi tanpa direncanakan, biasanya ketika aku berada dalam kondisi lucid dream dengan tingkat kesadaran yang hampir sepenuhnya aktif pada memori. Maka pada saat itu! aku harus cepat melakukan lompatan keluar dari dimensi lucid dream menuju realitas paralel yang ingin kutuju.
Tapi cara itu tidak mudah untuk dilakukan !!
Aku punya kebiasaan unik setiap kali bersiap memasuki mode lucid dream.
Aku menulis kata-kata kunci—nama karakter, tempat, simbol—di atas kertas gambar besar.
Lalu aku duduk bersila, menatap tulisan itu tanpa berkedip sambil mengucapkan kata kunci pembuka gerbang kesadaran, oleh karna aku hendak mode paralel drift maka kata kuncinya: “Paralel.”
Ku ucapkan terus sampai di ambang kantuk,
Namun ada aturan penting dalam proses ini: Kata kunci harus terus diucapkan hingga tubuh berada pada kondisi hampir tertidur, sementara kesadaran harus dipaksa tetap terjaga. Biasanya, pintu itu baru terbuka tepat pada ambang ke 3, paling lama kulakukan diambang ke 21.
Di batas ambang ngantuk, aku memaksa diriku tetap sadar. Pada ambang ketiga, barulah tubuhku kubaringkan telentang, tangan dan kaki merentang. Lembar kata-kata kunci yang kutulis itu! untuk mengenali realitas yang mau ku tuju maka kutempelkan di atas keningku, seolah menjadi antena untuk menangkap frekuensi realitas lain. Kedua mataku tertutup, tetapi hatiku terus mengucap kata kunci pembuka gerbang sambil membayangkan memori dari dunia paralel yang hendak ku tuju itu.
Paralel paralel paralel paralel.
Dengan cara ini aku biasanya bisa masuk cepat ke mode lucid dream, terkadang memang yang terjadi justru sleep paralysis, kadang malah terbuka jalan menuju dimensi astral. Namun Paralel Drift berbeda: Tidak bisa dipaksa. Hanya datang saat kesadaran berada pada celah yang sangat tipis antara terjaga dan terlelap.
Aku sungguh berharap bisa kembali ke dunia itu, ingin sekali ku bercumbu dengan wanita itu.
Remang-remang cahaya, entah di mana ini, rasanya sedikit berbeda dengan terbangun didalam mimpi, sadar tanpa tubuh, beraktifitas tanpa realitas fisik yang tak menentu arahnya. Alam mimpi kah? Oh tidak, mungkinkah dimensi astral? sisa kesadaran bagaikan sebuah kamera drone, sebelum akhirnya aktifitas kehalusan sang jiwa aktif, dan terbangun disuatu dimensi...
