Bab 6
Dalam ritme berladang yang monoton, justru aku menemukan pola lain, pola yang menghubungkan dunia nyata dengan sesuatu yang lebih subtil. Tanah yang kuolah setiap hari memiliki teksturnya sendiri, memiliki denyut kehidupan yang tersembunyi, seolah fortal lintasan.
Setiap kecambah yang keluar dari permukaan tanah membawa inti rahasia keberadaan. Seolah tanah menyimpan arsip pengetahuan purba tentang siklus, kelahiran, dan transisi antar-ruang. Dalam ketersembunyian itu aku memahami bahwa dunia fisik tidak sekadar tempat berpijak, melainkan sebuah pintu statis yang dapat terbuka bagi siapa pun yang mampu membaca getarannya.
Terkadang, saat menyentuh tanah yang lembap disitu, ada sensasi halus seperti gelombang yang cukup yang menusuk ke tulang. Sensasi itu tidak wajar, namun tidak juga mengancam. Ia seperti residu energi dari perjalanan versi lainku, melekat dan tidak mau hilang. Terkadang aku bertanya dalam renunganku "Apakah mungkin tubuhku menyimpan ingatan dimensi lain, atau mungkinkah sejatinya tanah itu sendiri memiliki kemampuan menangkap jejak kesadaran yang pernah retak?" Apa pun itu, sungguh aku merasa seperti sedang menjalani masa transisi kenaikan dimensi.
Hari-hari berlalu seperti halaman buku yang terbalik oleh angin, tanpa alur yang menonjol. Aku hanya mengikuti alur rutinitas sambil mengamati perubahan-perubahan kecil yang muncul pada diriku. Waktu sering kali tak karuan, kadang terasa cepat, kadang terasa lambat tetapi tidak macet, merayap dalam tempo lembut yang menuntut kedewasaan untuk menerimanya. Ada ketenangan yang tumbuh, namun ketenangan itu bukan hasil dari kenyamanan, ia lahir dari kelelahan jiwa yang memaksa diri untuk berdamai.
Di sela-sela aktivitas harian, aku sering merasakan seolah ada tatapan tak terlihat yang mengawasi dari balik tirai realitas, seolah ruang di sekitarku diam-diam mengamatiku.
Entah tatapan apa itu, aku merasa seperti bagian dari eksperimen besar yang tidak pernah dijelaskan. Terkadang aku berpikir paralel drift itu mungkin bukanlah kecelakaan, mungkin adalah panggilan atau mungkin semacam peringatan!! Atau mungkin juga hanya sekadar celah kecil yang terikat dan kebetulan kutemukan tanpa sengaja.
"Kenapa belum dimakan? Jangan melamun terus,"
Suara Mak Murni memecah lamunanku.
Aku tersadar. Hari sudah condong menuju senja. Warung legend itu telah dipenuhi berbagai macam manusia, sebagian besar pekerja yang pulang dari pabrik, wajah-wajah lelah yang mencari hangatnya makanan sederhana. Berbagai obrolan mengisi suasana warung itu. Warung Mak Murni selalu jadi persinggahan legendaris bagi siapa pun yang butuh tenaga sebelum kembali ke rumah, warung turun-temurun yang sudah berdiri sejak tahun 70 an.
Saat aku hendak meraih sendokku, pintu kecil warung itu yang tingginya sepinggang berderit pelan, terbuka. Seorang perempuan masuk, dan seketika suasana obrolan diwarung itu senyap seakan memberi ruang pesona nya.
Ia sangat cantik. Kulitnya bersih, rambutnya tergerai lembut, langkahnya terlihat seksi tapi tidak berlebihan. Matanya membawa ketenangan, namun ada sesuatu yang sulit kutangkap... ini sensasi... seperti kesedihan kecil atau jarak panjang yang disembunyikan di balik sorotnya.
Aku, lelaki yang selalu bersikap tenang menghadapi dunia, tiba-tiba kehilangan kendali sederhana untuk mengedipkan mata. Aku sendiri juga tidak paham kenapa aku merasa canggung dan malu padahal aku tidak mengenalnya.
Perempuan itu memesan makanan tanpa banyak bicara. Hanya sekelebat tatapannya singgah ke arahku, namun cukup untuk menyalakan hawa dingin tipis yang merayap di tulang punggung. Bukan rasa takut, lebih seperti resonansi halus, semacam getaran ketika 2 frekuensi asing tiba-tiba saling mengenali.
Aku masih diam.
Mataku terpaku pada pintu, pura-pura tak melihatnya, namun sesekali mata ini seolah bergerak sendiri melirik.
Saat pesanannya selesai, ia bangkit dan pergi tanpa meninggalkan satu pun petunjuk tentang siapa dirinya. Pintu warung berderit pelan ketika ia melangkah keluar, menyisakan aroma samar parfumnya yang harum.
Setelah beberapa detik Honda Scoopy berwarna merah muda itu menghilang di tikungan, aku akhirnya memberanikan diri bertanya pelan,
"Psst... Mak... siapa cewek tadi?"
Mak Murni tersenyum kecil sambil mengelap meja. Dari sorot matanya, jelas ia sudah mengamati reaksiku sejak awal.
"Namanya Mirna, keponakan Emak. Masih jomblo, loh, itu."
Ucap Mak Murni dengan nada yang mengandung makna tersembunyi, seolah sengaja memancing sesuatu dariku.
Percakapan tentang Mirna mengalir begitu saja tanpa kusadari. Waktu yang tadinya kulirik di layar ponsel masih pukul 16.40, kini telah beralih menjadi maghrib. Suara adzan maghrib bergema menyadarkan.
"Sudah maghrib, Mak mau salat dulu," ujar Mak Murni sambil merapikan meja. "Kapan-kapan kita sambung lagi. Atau... kamu mau Mak titipkan salam?"
"A—nggak usah, Mak," jawabku dengan nada yang bahkan tak mampu menyembunyikan rasa canggungku sendiri.
Mak Murni hanya tersenyum, gelengan kepalanya pelan seperti memahami sesuatu yang bahkan aku belum berani akui.
Ketika akhirnya aku pulang, rumahku menyambut dengan kesunyian yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Namun pikiranku tertinggal di warung kecil itu, tertambat pada detik ketika Mirna melangkah masuk dengan pesona yang sukar dirumuskan. Sorot matanya yang singkat telah meninggalkan gema halus yang terus berdenyut jauh di dasar kesadaranku.
Aku berjalan ke dapur, membuat kopi kesukaanku. Kutumpahkan air panas ke dalam gelas, tetapi bahkan suara gemericiknya tidak mampu menenggelamkan kehadiran Mirna yang terus saja menggantung di ujung pikiranku. Gemulai tubuhnya, tatapannya yang melintas seperti angin dingin, aura yang tidak berusaha memikat namun justru memikat lebih dalam, pesona nya begitu aduhai.
"Mirna... macam tak asing. Tapi di mana ya..."
gumamku pelan sambil mengaduk kopi.
Aku duduk di kursi kayu, mencoba memusatkan perhatian pada apa pun. Benda di meja, detik jam dinding yang berdetak malas, bahkan suara tikus kecil yang berlari di atap. Namun setiap detail bukannya menjawab, melainkan memantulkan bayangan Mirna, seolah pikiranku sudah berjalan otomatis mencetak bentuknya.
Wajahnya yang cantik itu muncul begitu saja ketika aku memejamkan mata, garis lembut pipinya, bibir tipisnya yang menggoda, paras nya yang bagaikan seorang model. Namun di balik paras itu, ada sesuatu yang lain. Keganjilan yang sulit diterjemahkan, semacam penanda halus, energi yang terasa tidak asing.
Aku membongkar kembali catatan lamaku, tempat ingatan masa lalu tidur dalam debu.
Jari-jariku menyusuri isi lemari, mencari sesuatu yang sejak tadi menggelitik pikiranku.
"Mirna... Mirna... Mirna..."
Ucapku pelan, dengan nada terdengar seperti mengeja mantra.
Hingga akhirnya, aku menemukan gulungan kertas yang kusimpan sejak bertahun-tahun lalu.
"Ah, ini dia..."
Ku buka perlahan.
Di salah satu lembaran, terpampang deretan nama, catatan nama para kekasih paralelku dengan alur kehidupan yang tak berjodoh denganku.
Salah satu lembaran pengalaman aktifitas tidurku ditahun 2016.
Semuanya memiliki kisah yang tak selesai.
Catatan itu berbunyi...
