Bab 3
Aku jatuh ke sebuah ruangan rumah sakit yang kosong. Lampunya berkedip-kedip, dindingnya retak, dan bau obat bercampur busuk memenuhi udara, atau sesuatu yang menyerupai udara.
Seorang pria duduk di sudut, menggoyang tubuhnya ke depan dan ke belakang.
"Dia datang... dia datang... " gumamnya.
Aku mendekat.
"Tuan? Anda siapa?"
Wajahnya menoleh cepat. Mata hitamnya bukan milik manusia. Rahangnya retak terbuka.
"Dia datang untukmu juga..."
Sebuah bayangan besar muncul di belakangnya. Tinggi, kurus, dan bergerak seolah sendi-sendinya terbalik. Tangan panjangnya menggapai ke arahku.
Aku tersentak.
"Mengerti sekarang?"
Suara perempuan penjaga itu datang dari belakangku. Ia menarikku keluar dari memori aneh itu dengan kekuatan luar biasa. "Kau harus tetap fokus. Ini bukan tempat wisata."
"Aku tidak—"
Aku tidak sempat membela diri. Kami sudah kembali ke lorong cahaya.
Perasaan meluncur itu berlangsung lama. Semakin jauh kami melaju, cahaya berubah warna menjadi ungu gelap, lalu hitam kebiruan.
"Sebentar lagi kita tiba," katanya.
"Tiba di mana?"
"Di inti. Tempat di mana kesadaranmu seharusnya kembali stabil."
Kami keluar dari lorong itu dan mendarat, melayang di sebuah dataran luas yang dikelilingi pilar-pilar cahaya raksasa. Pilar itu berdetak seperti jantung.
"Apa ini?"
tanyaku takjub.
"Gerbang balik."
"Untuk kembali ke tubuh fisik?"
"Ya. Tapi tidak gratis."
Aku menelan kekosongan. "Apa maksudmu?"
Ia menatap dalam ke arahku.
"Setiap jiwa yang memasuki astral sejatinya meninggalkan celah di tubuh fisiknya. Jika terlalu lama... sesuatu bisa mengisinya."
Aku merinding meski tidak punya bulu.
"Lalu bagaimana aku kembali?"
"Kau harus melewati penjaga gerbang."
Aku menoleh.
Di antara pilar cahaya, sosok besar muncul: tinggi, berkulit hitam kelam, dengan tiga wajah tumpang tindih, dan suara gemuruh seperti badai pecah.
"Kalau aku gagal?" tanyaku.
"Kau akan tetap di sini."
"Kalau aku berhasil?"
"Tubuhmu kembali menjadi milikmu."
Aku menatap monster itu. Ia mengeluarkan raungan panjang, dan tanah astral bergetar.
Perempuan penjaga lintasan memandangku terakhir kali. "Ini lintasanmu. Aku hanya membawamu sampai sini."
Aku mengambil langkah maju...Tubuh astralku mulai bersinar.
Monster itu melangkah.
Aku menegakkan kesadaran.
Aku sadar perjalanan astralku yang sebenarnya pun dimulai...
*
*
*
*
Namaku Madan Ramadhan.
Panggil saja aku Adan.
Aku seorang pria mandiri berusia 29 tahun. Dulunya aku bekerja di sebuah perusahaan besar di bidang pertambangan emas: Aurelius Mining Corporation, raksasa industri yang namanya bergema di bilik-bilik rapat dan koridor finansial. Posisi terakhirku adalah Senior Extraction Analyst, jabatan yang membuatku menerima gaji hampir 40 juta setiap bulan. Angka yang bagi sebagian orang terdengar seperti kemenangan, tapi bagiku… justru menjadi awal dari kegilaan besar.
Aku mengundurkan diri tiba-tiba begitu saja, tanpa banyak penjelasan pasti.
Setelah itu, aku memilih pulang ke kampung halamanku di Desa Aek Sabaon, Tapanuli Selatan.
Disebuah pedesaan sunyi yang dikelilingi hamparan sawit sejauh mata memandang. Tempat itu sangat jauh dari gemerlap dan hiruk pikuk Tobelo, kota di Halmahera yang dulu sempat kuanggap sebagai rumah keduaku. Orang-orang bertanya "kenapa?", namun aku selalu menjawab dengan alasan yang diplomatis, menyimpan sesuatu yang sebenarnya jauh lebih dalam.
Tidak ada satu pun dari mereka yang paham alasan sebenarnya.
Kehidupan dikota besar membuat vibrasiku berantakan. Pencahayaannya juga terlalu terang, pikiranku sering kacau, dan entah sejak kapan jelasnya, aku mulai diburu oleh makhluk-makhluk yang tidak sepenuhnya berasal dari alam ini.
Ada begitu banyak pengalamanku diluar akal sehat, termaksud yang mengikutiku. Ada yang berwujud bayangan, yang lain sebuah suara yang membisikkan, yang mengganggu sadarku. Ada juga yang menampakkan diri di lift kosong, ada pula sosok yang mengikuti langkahku sepanjang lorong apartemen tanpa pernah bersuara. Namun puncaknya terjadi di Jakarta, ketika aku menginap di sebuah hotel untuk menghadiri acara terkait pekerjaanku. Di cermin kamar itu, kulihat darah menetes membentuk namaku sendiri.
Semakin aku mengabaikan mereka, semakin agresif kehadiran-kehadiran yang tak pernah ku sengaja undang.
Beberapa orang menyebutku "aneh".
Sebagian bilang aku "indigo".
Aku tidak pernah menyukainya. Penyebutan-penyebutan itu terdengar seperti sebuah label yang dipasangkan tanpa persetujuan.
Apa yang kualami selama dikota bukan sebuah pengalaman yang atau lebih tepatnya bukan bakat istimewa, melainkan kesialan. Ini lebih seperti kelebihan beban yang menempel pada jiwa.
Sejak usia 16 tahun, hidupku sudah bersinggungan dengan yang tak kasatmata.
Tidurku tidak pernah sekadar tidur. Mbahku dulu menyebutnya morogo sukmo. Sebuah istilah tua yang berarti ragaku diam, tapi sukmaku berjalan. Bahasa modern menyebutnya astral projection, namun bagiku, itu hanyalah cara lain jiwa membuka pintu yang semestinya tetap tertutup.
Dan ketika pintu itu terbuka…
Dunia yang kutinggali berubah selamanya.
Monster bermuka tiga itu melangkah ke depan. Setiap pijakannya membuat lapisan tanah astral bergetar seperti permukaan air dipukul palu raksasa. Pilar-pilar cahaya di sekelilingku berdenyut semakin cepat, seolah menunggu putusan: apakah aku pantas kembali ke tubuhku, atau ditelan dalam lapisan astral tanpa batas.
Tubuh astralku menyala, putih kebiruan, tipis, namun padat dalam bentuk yang aneh. Rasanya seperti berdiri di antara dua keadaan sekaligus: ada, tapi tidak sepenuhnya. Perempuan penjaga lintasan itu hanya memandangku. Mata keemasannya mengandung sesuatu yang rumit, campuran belas kasih, jarak, dan sebuah mandat yang tak pernah dia pilih sendiri.
"Jangan gunakan kekuatan," katanya pelan. "Di sini kesadaran adalah satu-satunya pedangmu."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Meneguh. Bila engkau runtuh, ia akan membawamu."
"Bawaku ke mana?"
Ia memejam. "Ke tempat yang tidak punya nama."
Itu cukup membuat seluruh keberadaanku mengencang. Monster itu mengangkat salah satu wajahnya, yang tengah, dan meneriakkan suara yang menghancurkan gema dari ribuan arah. Bukan teriakan fisik, tetapi teriakan yang menusuk langsung ke kesadaranku, mencabik seperti cakar.
Seketika aku merasakan seluruh lapisan diriku retak. Tidak sakit, tapi menakutkan, rasanya seperti kehilangan pegangan terhadap siapa aku sebenarnya.
"Adaaan..." suara perempuan penjaga itu memudar. "Ingat... pusatkan dirimu pada satu hal... satu ingatan paling kuat yang menolak dilupakan..."
Ingatan paling kuat.
Aku memejamkan mata.
Dan aku memilih: rumah.
Rumahku di Tapanuli Selatan.
Desa Aek Sabaon yang dikelilingi sawit dan kabut tipis.
Jendela kayu yang berdecit.
Lantai semen yang dingin.
Suara ibu memanggilku bertahun lalu.
Ingatan itu seperti jangkar.
Ketika aku membuka mata, aku merasakan aliran deras di bawah kakiku. Pilar-pilar cahaya menyala satu per satu. Monster itu mendekat, tapi bentuknya mulai kabur seperti asap yang dihisap angin. Dunia astral menegang.
Lalu lantai di bawahku runtuh.
Bukan jatuh.
Bukan melayang.
Melainkan terlepas, seolah aku ditarik oleh suatu lintasan yang tidak kuatur, tidak kuminta, namun sudah memilihku.
