Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Keadaan yang tak berasa pada tubuh, hanya sebuah kesadaran kabur didalam kekosongan tidur.

Pada mulanya hanya ada kabut tipis, seakan kelopak mataku belum terbuka sempurna, padahal aku tahu jelas tak ada lagi kelopak mata di sini. Kesadaranku melayang, terseret, dan aku terjebak di antara batas yang sulit diberi nama: bukan mimpi, bukan tidur, bukan pula dunia nyata.

Lamat-lamat, bunyi yang seperti tepukan lembut terdengar dari jauh.

Teprok... teprok... teprok...

Aku menunduk, entah apa padanannya dalam bentuk ini.

Dan aku melihat jari-jemariku.

Tampak transparan, seperti asap putih yang mencoba mempertahankan bentuknya. Setiap gerakan meninggalkan jejak cahaya yang memudar perlahan.

Dan spontan aku mengumpat dalam hati.

"Aduh... malah astral."

Nada kecewaku seperti bergema di ruang kosong.

    Kuingin kembali ke lucid dream, ke ruang di mana aku punya kendali. Di sana, realitas bisa kutarik, kurubah, kubentuk sesuka hati. Tapi astral?

Astral adalah ranah liar. Tak ada jaminan kembali. Tak ada batas aman, sulit mencari jalan pulang.

Dan terlebih lagi... pasti ada sesuatu yang mengintai.

Aku mencoba mengatur napas.

Meski sebenarnya aku tak merasakan napas tubuh fisikku. Tetapi kebiasaan dari tubuh fisik masih tertinggal sebagai refleks kesadaran.

Kabut itu kemudian bergerak. Seolah-olah ia sadar akan kehadiranku dan membuka jalan perlahan.

    Lorong panjang terbentuk, seperti sebuah koridor yang dibangun dari cahaya redup, mengundangku atau mungkin memaksaku masuk.

Aku tidak berjalan, aku meluncur, diseret oleh sesuatu yang tidak pernah kuminta.

Dalam satu kedipan, aku sudah berada di tengah lorong itu.

    Di kanan kiriku, garis cahaya membentuk pola-pola aneh. Lingkaran-lingkaran bergerigi, simbol yang tampak seperti tulisan kuno, dan sesekali bayangan wajah samar yang muncul lalu lenyap. Semuanya bergerak mengikuti ritme napas yang tidak pernah kuhembuskan.

Aku merasa ditarik lebih dalam.

Dunia berganti lagi.

    Aku tiba di sebuah hamparan kosong yang tampak seperti gurun gelap. Tidak ada pasir, tidak ada tanah, hanya permukaan hitam berkilau, seperti kaca obsidian raksasa yang dijadikan lantai. Di atasnya, langit penuh celah-celah cahaya seperti patahan dimensi.

Bukan langit yang muram.

Bukan juga kosmos.

Lebih seperti sesuatu yang retak, seolah realitas itu sendiri sedang pecah.

    Di kejauhan, aku melihat siluet pohon-pohon kering berdiri tak bergerak. Akar mereka melilit permukaan obsidian. Setiap pohon tampak sekarat, tetapi tetap bertahan meski tidak ada angin, tidak ada kehidupan, tidak ada bunyi.

Hanya sunyi.

Sunyi yang begitu padat, sampai terasa menekan tubuh astralku.

    Aku mencoba mengingat tubuh fisikku. Apakah ia masih ada di ranjang? Apakah napasku masih berjalan? Jantungku masih berdetak? Nadiku masih aktif?

Sebuah bisikan menjawab pertanyaan itu sebelum pertanyaan itu sempat sempurna terbentuk:

"Tubuhmu aman... untuk saat ini."

Aku memutar kesadaran, mencari sumber suara. Tidak ada siapa pun.

"Siapa?"

tanyaku dalam batin, atau mungkin lebih tepatnya aku berteriak, aku tidak tahu siapa.

Tidak ada jawaban.

Tapi aku merasakan kehadiran.

Ada sesuatu yang memperhatikanku dari balik kabut gelap di antara pohon-pohon itu.

    Aku memutuskan untuk bergerak. Atau lebih tepatnya mencoba menggerakkan kesadaran ke arah pohon-pohon kering itu. Setiap langkah atau luncuran, menghasilkan riak kecil cahaya di lantai obsidian, merambat seperti gelombang kecil lalu menghilang.

Aku mendekat.

Pohon-pohon itu ternyata bukan pohon.

Mereka adalah tubuh-tubuh raksasa seperti manusia, berdiri membatu dalam posisi meringkuk. Kulit mereka hitam legam, retak seperti arang terbakar. Rambut mereka menjuntai panjang, tapi bukan rambut, lebih mirip serabut asap yang mengalir ke bawah.

Wajah mereka kosong.

Kosong seperti topeng tanpa lubang.

Dan mereka bergerak.

"Jangan mendekat."

Bisikan itu datang lagi. Kali ini lebih jelas, seperti suara perempuan yang terlalu dekat dengan tengkukku.

Aku berhenti.

"Kenapa?"

"Mereka bukan untukmu. Mereka adalah yang tersesat dan tak kembali. Mereka melihatmu sebagai bagian baru dari mereka."

Seakan menjawab perkataan itu, salah satu "pohon-bukan-pohon" perlahan mengangkat kepala. Suara derak retakan halus menggema saat lehernya menegak. Wajah tanpa mata itu menghadapku.

    Lalu mulut yang awalnya tidak ada, terbuka perlahan. Retakan cahaya muncul seperti garis pisau membelah wajah kosong itu. Dari celah itu, keluar suara serak patah-patah:

"B... e... r... g... a... b..."

Ajakannya terdengar seperti suara dari dasar sumur.

Aku mundur.

Terlambat.

    Kesadaran raksasa itu tiba-tiba menghentak. Dari tubuhnya, serabut-serabut hitam keluar seperti akar hidup, merayap dengan kecepatan luar biasa.

    Aku memutar tubuh astralku, melesat menjauhi mereka. Serabut-serabut itu mengejar, seolah membelah udara yang tidak ada. Di belakangku, terdengar suara patah-patah lagi, suara langkah raksasa, dan jeritan yang tidak manusiawi:

"Bergabung... dengaaaan... kamiiii... "

    Aku meluncur semakin cepat, merasakan sedikit sensasi angin meski tidak ada udara. Serabut itu hampir menyentuhku ketika tiba-tiba cahaya biru menyambar dari atas dan memutusnya.

Dentuman energi membuatku terpental.

    Saat kesadaranku kembali stabil, aku melihat seseorang berdiri di tengah hamparan obsidian. Sosok perempuan dengan rambut panjang melayang, tubuhnya berpendar biru seperti nyala api dingin.

Matanya bercahaya, dan wajahnya tidak sepenuhnya manusia.

"Aku sudah bilang," katanya datar. "Jangan mendekati mereka."

Aku menatapnya, masih terengah, meski tidak bernapas.

"Kau siapa?"

"Penjaga lintasan."

"Lintasan apa?"

"Lintasan antara tempatmu dan tempat yang menunggu."

    Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi dunia di sekitarku tiba-tiba bergetar. Cahaya-cahaya di langit retak itu berkedip seperti jaringan saraf yang rusak.

Dia melihat ke atas. "Kita harus bergerak. Dimensi ini tidak stabil bagimu."

"Aku tidak minta datang ke sini,"

Dia menatapku sekilas. "Tidak ada yang meminta. Astral tidak bekerja dengan izin. Ia memilih."

Ia mengulurkan tangannya. "Ikut aku kalau kau ingin bertahan."

Aku ragu. Tapi suara di belakang... suara makhluk-makhluk hitam itu yang mulai bangkit lagi, membuat pilihanku jelas.

Aku menggenggam tangannya.

Sentuhannya dingin, tapi stabil.

Dunia berubah lagi.

    Kami meluncur ke ruang yang lebih terang, seperti terowongan panjang berisi cahaya berlapis-lapis. Cahaya itu bukan sekadar warna. Ada memori, suara, bahkan emosi di dalamnya.

"Apa ini?"

"Arus lintasan memori," jawabnya. "Setiap jiwa meninggalkan jejak. Kau sebenarnya barusan melewati memori ribuan jiwa mati yang pernah bermimpi, tersesat, atau melintas."

Aku melihat kilasan:

– seorang ibu menangis di samping ranjang anaknya

– seorang pria berlari dari bayangan yang mengikuti

– seorang gadis mengangkat tangan mencoba meraih cahaya

– seseorang tenggelam dalam laut gelap

Semua muncul dan hilang dalam sekejap.

"Ini berbahaya?"

"Jika kau terseret masuk, kau akan mengalami memori itu seakan milikmu sendiri."

Aku menelan kekosongan udara. "Baiklah, jangan sampai."

Tapi tentu saja, hal itu justru terjadi.

Sebuah kilatan kuat menarikku dari samping seperti pusaran angin. Perempuan penjaga itu berteriak:

"JANGAN MASUK!"

Terlambat.

Aku terhisap ke dalam salah satu memori.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel