Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 : Hari Kelabu

Siang itu kondisi Desa Selatan masih damai seperti biasanya. Burung-burung berkicau riang, serta masyarakat yang sedang beraktivitas normal, menambah nuansa hidupnya kampung kecil yang indah ini.

Namun hal tersebut tak berlaku bagi Antillia. Gadis berambut panjang itu masih diliputi kekhawatiran semenjak pembicaraan yang ia dengar antara ayahnya dengan tetangganya Julius.

“Hei, Anne. Kau tidak apa-apa?” tanya Rikka di sampingnya.

“Eh, ti-tidak kok. Tidak ada apa-apa,” jawabnya. Tapi ekspresinya tak bisa membohongi gadis berambut perak tersebut.

“Ada sesuatu yang kau khawatirkan?” Rikka bertanya kembali.

Antillia masih menyembunyikan kegelisahannya di depan sang sahabat. “Tidak kok, serius. Tidak ada yang aku khawatirkan kok.”

Mereka tampak duduk bersama di kasur Rikka seraya membaca buku tentang sumber daya alam Vitania Utara. Rikka tampak serius membacanya, namun berbeda dengan Antillia yang tak bisa fokus sama sekali.

Di tengah keheningan itu, Antillia menoleh ke arah jendela di sampingnya. Pemandangan di luar jendela tampak normal seperti biasa. Namun hari itu ada sedikit yang berbeda, di mana cuacanya terlihat mendung dengan angin yang sedikit lebih kencang. Tampak seperti badai akan segera datang.

“Ada yang tidak beres,” gumam Antillia dalam hati.

Entah kenapa cuaca yang sedikit tak bersahabat itu membuat hati Antillia makin gelisah. Karena tak tahan lagi dengan kekhawatirannya, gadis itu pun bangkit dari kasur.

“Rose, maafkan aku. Tapi aku harus pulang sekarang.”

Rikka tampak terkejut mendengarnya.

“Eh? Tapi hari masih belum terlalu sore loh.”

“Maaf, Rose. Tapi aku harus segera pulang sekarang. Aku ada urusan dengan orang tuaku. Dan sepertinya mereka khawatir.”

“Oh, baiklah kalau begitu. Nanti kapan-kapan kita baca bareng lagi ya.”

Antillia langsung berjalan ke arah pintu tanpa menjawab ucapan Rikka. Gadis itu keluar dari kamar dengan raut wajah yang gelisah.

Di ruang tamu terlihat Slovak sedang membaca sebuah buku tentang pertanian, sementara Nederla sedang memasak bebek goreng di dapur. Antillia pun izin pamit pada mereka berdua.

“Paman Slovak, Bibi Nederla, saya izin pamit mau pulang,” ucap Antillia.

“Eh, Anne. Kamu yakin mau pulang sekarang? Bibi Nederla sedang masak buat makan sore nanti,” kata Slovak.

“Paman Slovak benar. Nanti saja pulangnya setelah makan sore. Bibi buatkan bebek goreng spesial untuk kalian berdua.”

Kedua orang tua Rikka berusaha mengajaknya makan sore terlebih dahulu, namun kegelisahan batin Antillia tak bisa membohonginya.

“Terima kasih Paman, Bibi. Tapi maaf, saya harus pulang sekarang. Saya ada keperluan dengan orang tua saya di rumah.”

“Ah, baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya,” kata Nederla.

“Jangan lupa nanti ke sini lagi,” lanjut Slovak.

Tanpa menunggu lebih lama, Antillia bergegas pulang menuju rumahnya di Desa Utara.

Angin sore bertiup semakin kencang. Langit yang semula masih cerah mulai mendung. Kegelisahan Antillia pun seakan makin menjadi. Gadis itu pun berjalan setengah berlari dengan rambut panjangnya yang tertiup angin.

Kurang dari 10 menit, ia pun sampai di depan gerbang Desa Utara. Tapi begitu sampai di sana, sesuatu hal terjadi hingga ia menghentikan langkahnya.

“Eh? Ada apa?”

Terlihat kerumunan warga desa yang berkumpul di tengah jalan. Para pria tampak diliputi amarah, sedangkan para wanita desa terlihat ketakutan. Para pria Desa Utara terlihat seperti sedang memaki-maki seseorang di sana.

Antillia menyipitkan mata untuk melihat siapa yang sedang ada di sana.

“Tunggu, mereka?”

Antillia terkejut melihat siapa yang ada di sana. Terlihat ada 10 orang pria berseragam hitam tampak berdiri tegap di depan para warga. Kesepuluh orang tersebut menatap masyarakat yang kesal dengan tatapan dingin nan tegas.

“Divisi Kochi? Kenapa mereka ada di sini?”

Divisi Kochi, cabang dari Patrol atau kepolisian diraja Archipelahia yang bertugas menjaga ketertiban wilayah tanpa sebab yang jelas berada di Desa Utara yang damai itu. Biasanya para Kochi hanya muncul di setiap penggusuran wilayah kumuh. Kehadiran mereka di desa yang cenderung tenteram ini menimbulkan tanda tanya besar.

Para Kochi tampak berhadapan dengan masyarakat yang kesal. Terlihat ayah Antillia, Richard bersama Julius dan sejumlah tetangga pria lainnya berusaha menghadang para Kochi itu agar tidak masuk desa.

Antillia sedikit maju ke depan. Terdengar suara makian dari warga desa pada para aparat tersebut.

“Pergi kalian semua!! Ini adalah kampung halaman kami!!”

“Dasar penyerobot tanah orang!!”

Jika didengar dari suara mereka, masyarakat desa tampak berusaha mengusir para Kochi yang seakan ingin menerobos tanah mereka.

“Dasar licik. Kami sudah tahu kalau kalian bersekongkol dengan mereka untuk merebut desa ini dengan cara kotor ‘kan?”

Julius tampak berteriak pada para Kochi. Mendengar ucapan tersebut, salah seorang Kochi yang sepertinya pemimpin mereka berujar lantang.

“Diam!!”

Suara tegas sang pemimpin Kochi sontak membuat para warga terdiam. Ia pun maju satu langkah.

“Para warga Desa Utara sekalian. Kalian sudah kami ingatkan berulang kali, ini adalah keputusan kerajaan pusat. Kalian sudah tidak ada hak untuk tinggal di tanah ini!!”

Ucapan itu rupanya memantik amarah para warga yang langsung menyoraki mereka.

“Huuuu!!”

“Jangan bercanda!! Ini tanah kami, bukan tanah kerajaan pusat!!”

Makian demi makian mereka lontarkan pada para Kochi, tapi hal itu tak membuat aparat berseragam hitam itu bergerak dari posisinya.

Richard yang kebetulan ada di sana berusaha membela diri dengan kepala dingin. “Kami punya sertifikat resmi kepemilikan tanah di sini. Jadi kerajaan pusat tak bisa berbuat semena-mena dengan kami. Kalau kami betul-betul ingin digusur, maka kerajaan pusat wajib membayar kompensasi sepadan,” katanya sambil menunjukkan sebuah sertifikat tanah berwarna biru muda.

Melihat hal tersebut, salah satu Kochi di belakang berucap dengan remeh. “Bodoh sekali. Kerajaan pusat menganggap surat itu tak berlaku lagi karena mereka sudah menerbitkan sertifikat yang lebih tinggi. Kau tak bisa menggunakan benda itu lagi untuk membela diri, pak tua.”

“Apa? Tidak mungkin.”

Richard terkejut mendengarnya. Mungkin itulah yang Julius katakan kemarin tentang kekalahan misterius mereka di pengadilan tinggi. Sepertinya memang ada yang bermain curang dalam sengketa tersebut.

Sementara itu Antillia yang berdiri di depan gerbang desa mulai marah melihat sang ayah dihinakan seperti itu. Ia terlihat mengepalkan tangannya dan menggertakkan gigi.

“Bajingan.”

Suasana pun makin alot. Para Kochi yang sepertinya sudah menyampaikan tujuan mereka berbalik arah dan bersiap untuk pergi. Namun sebelum meninggalkan desa, sang pemimpin mereka mengultimatum para warga.

“Kami beri waktu tiga hari bagi kalian untuk mengosongkan tanah ini. Kalau tidak, maka kami akan melakukan tindakan tegas.”

Kesepuluh Kochi itu pun hilang di tengah hutan, meninggalkan masyarakat Desa Utara yang sudah sangat geram.

Antillia yang melihat para aparat sudah meninggalkan desa lantas berjalan menghampiri sang ayah. Tatapannya seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Ayah...”

Richard menoleh ke arah putrinya.

“Eh, Antillia?”

Sang ayah baru menyadari bahwa putrinya sudah berdiri di depan gerbang desa dan menguping pembicaraan tadi. Oleh karenanya, tak ada yang bisa disembunyikan lagi darinya. Antillia sudah mengetahui hal yang selama ini disembunyikan oleh Richard.

Pria itu lalu menghampiri Antillia dan memeluknya, berusaha menenangkan putrinya yang tampak terkejut melihat peristiwa tadi.

“Antillia, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”

Meski dihibur dengan pelukan hangat sang ayah, hati nuraninya tetap tak bisa berbohong.

Selama tiga malam setelah peristiwa itu, Antillia tak bisa tidur dengan nyenyak sama sekali. Sang ibu sudah menemaninya, tapi tetap saja tak bisa menghapus kegelisahan di hatinya. Terlebih lagi dirinya melihat dan mendengar bahwa masyarakat sudah mempersiapkan senjata untuk menghadapi penggusuran itu. Hal itu tentu membuat Antillia semakin takut.

“Ini hanya mimpi, bukan?” gumamnya dalam hati.

***

Siang itu Formalha tertutup awan mendung. Tidak ada lagi burung-burung yang berkicau merdu. Para masyarakat Desa Utara Tolvanstadt harus menghadapi kenyataan bahwa kampung halaman yang mereka cintai akan segera digusur.

Akan tetapi mereka tak berdiam diri. Para warga sudah mempersiapkan berbagai senjata, terutama benda tumpul untuk menghalau para Kochi beserta alat berat yang siap menggusur desa mereka.

“Jangan harap kami akan pergi dari desa ini tanpa imbalan!!”

“Langkahi dulu mayat kami!!”

Masyarakat sudah bersiap menghadapi para Kochi yang bersenjata lengkap itu. Pemimpin Kochi kemarin yang datang ke desa untuk memberikan ultimatum berjalan maju sebelum berujar dengan lantang.

“Kami sudah memberikan kalian batas waktu tiga hari untuk mengosongkan tanah ini. Tapi kalian masih tetap membangkang. Jangan salahkan kami jika kami bertindak tegas pada kalian sekarang!!”

Ujaran itu ditanggapi sorakan penghinaan dari para warga yang kesal.

“Huuu!!”

“Kalianlah yang pergi dari tanah ini!!”

“Dasar penyerobot!!”

Suasana pun makin alot. Namun di tengah ketegangan itu, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang memekikkan telinga.

BOOMM

Suara ledakan yang entah datang dari mana itu mengejutkan semua orang. Sejumlah warga desa langsung menutup telinga mereka. Namun sebagian warga desa lain yang sempat membuat barikade langsung berlarian. Hal ini pun dimanfaatkan para Kochi untuk menyerbu mereka.

BRUKK

Sejumlah warga yang kebanyakan memegang benda tumpul langsung jadi bulan-bulanan Kochi. Mereka dipukul, ditendang, dan disiksa secara kejam oleh mereka sebelum diseret ke dalam sebuah truk hitam.

Suasana pun menjadi chaos. Di tengah kekacauan itu, terlihat seorang pria bermata hijau yang juga jadi sasaran kekejaman para aparat yang tak lain merupakan Richard Samarchia. Pukulan dan tendangan yang ia terima membuatnya babak belur berlumuran darah.

“Tidak. Ayah...”

Antillia hanya bisa melihat dari balik pintu rumahnya saat para Kochi itu menyiksa sang ayah dengan keji. Virginia, istri Richard yang melihat suaminya dipukuli berusaha menyelamatkannya.

“Jangan lakukan itu pada suamiku!!”

Tapi sayangnya salah seorang Kochi menamparnya hingga jatuh tersungkur.

PLAKK

“Ahh...”

Tanpa rasa iba, sang ibu lalu diseret ke dalam truk hitam itu, sementara sang ayah masih dipukuli oleh Kochi.

“Tidak. Ayah, ibu...”

Antillia tampak ketakutan. Ia benar-benar tak menyangka bahwa mimpi buruknya itu menjadi kenyataan. Namun di sisi lain ia harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kedua orang tuanya.

Dengan tubuh yang gemetar, ia pun berlari sambil berteriak ke arah para Kochi itu.

“JANGAAANNN!!”

Gadis berambut panjang itu menggigit tangan kiri salah seorang Kochi yang hendak memukul ayahnya. Gigitan yang sangat kuat itu membuat tangannya terluka hingga berteriak kesakitan.

“Aghh...”

Melihat ada seorang anak perempuan menggigit tangannya hingga berdarah, sang Kochi yang diliputi amarah itu langsung bertindak kasar.

“DASAR BOCAH TENGIK!!”

BRUKK

Sebuah bogem mentah tepat mendarat di kening Antillia dengan keras hingga dirinya terhempas. Darah pun mengucur dari kepalanya.

“ANTILLIA!!”

Melihat putrinya diperlakukan dengan kasar, Richard langsung bangkit dan menghajar Kochi itu.

“KEPARAT!! APA YANG KAU LAKUKAN PADA PUTRIKU??”

BRUKK BRUKK

Namun sayang, para Kochi lain langsung mengunci tubuhnya hingga tak bisa bergerak.

“Dasar bocah kurang ajar!! Beraninya kau menggigit tanganku!!”

Sang Kochi berusaha menghampiri Antillia yang kepalanya berlumuran darah. Richard yang melihat putrinya dalam bahaya langsung berteriak padanya.

“ANTILLIA, LARI!!”

Gadis berambut panjang itu sempat terdiam. Tak mungkin dirinya meninggalkan sang ayah dengan kondisi seperti itu.

“Tapi, ayah...”

Namun sang ayah tetap memaksanya untuk pergi meninggalkannya.

“CEPAT PERGI!!”

Dengan berat hati Antillia pun berlari meninggalkan Richard yang ditahan oleh 5 Kochi sekaligus. Air mata bercampur darah dari kening mengalir di pipinya.

“WOI, JANGAN PERGI KAU!!”

Sejumlah Kochi mengejar Antillia yang berusaha melarikan diri ke tengah hutan.

“Huh... huh...”

Dengan napas terengah-engah, Antillia berusaha melarikan diri dari 2 orang Kochi yang mengejarnya. Seraya menahan sakit dari luka di keningnya, ia berlari sekuat tenaga. Dirinya lalu menemukan sebuah pohon besar yang cocok baginya untuk bersembunyi dari kejaran aparat berseragam hitam tersebut.

Gadis itu duduk di balik pohon besar itu, menghindari kedua Kochi yang mengejarnya. Dengan amarah yang meledak-ledak, Kochi yang tangannya digigit itu berkata dengan lantang.

“Sial. Dia melarikan diri,” keluhnya.

Kochi itu tampak memegangi tangan kirinya yang berlumuran darah.

“Dasar bocah sialan. Kalau aku berhasil mendapatkannya, akan kucincang dia dan kujual di pasar gelap.”

Antillia yang mendengar hal itu dari balik pohon hanya bisa terdiam seribu bahasa. Nyawanya benar-benar terancam. Ia hanya bisa menutup mulutnya sambil ketakutan.

Tak lama berselang, seorang Kochi lain menghampirinya.

“Sudahlah, tinggalkan dia. Kita harus kembali melakukan penertiban.”

“Kau benar. Biarlah anak sialan itu pergi. Yang penting orang tuanya berhasil kita tangkap, dan dia pasti akan menyesali itu seumur hidupnya.”

Keduanya pergi dari hutan itu. Antillia yang mendengar percakapan kedua Kochi itu tak bisa berbuat banyak. Orang tuanya sudah berhasil ditangkap para aparat berbaju hitam itu, dan kini ia harus melarikan diri dalam kesendirian.

Antillia melanjutkan perjalanan sambil terpapah-papah dengan pakaian kusut dan luka di keningnya, tak tahu pergi ke mana lagi. Entah nasibnya akan menemukan perkampungan baru, atau malah berakhir diterkam binatang buas. Tapi untungnya keberuntungan masih berpihak padanya.

Tepat di depannya, Antillia melihat sebuah desa dengan kondisi yang sedikit tak berbeda dengan kampung halamannya yang digusur. Gadis berambut panjang itu ternyata sudah sampai di Desa Selatan.

Tak banyak penduduk yang beraktivitas seperti biasanya. Ada kemungkinan mereka ikut pergi ke Desa Utara untuk menolong warga lainnya dari penggusuran itu, tapi siapa yang tahu.

Antillia lalu berjalan perlahan menuju sebuah rumah berdinding batu sederhana. Tepat di halamannya, terlihat seorang gadis berambut perak pendek yang sedang berdiri dengan raut wajah gelisah. Gadis itu ternyata merupakan orang yang tak asing baginya.

“Ro-se?”

Rintihan kecil Antillia terdengar olehnya. Rose alias Rikka langsung menoleh ke arahnhya. Begitu terkejutnya dia melihat kondisi sang sahabat dari Desa Utara yang sudah compang-camping dengan luka seperti itu.

“Eh, Anne?”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel