Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 : Kembang Desa

Pagi itu pantai utara Tolvanstadt begitu cerah dengan deburan suara angin laut yang tak terlalu kencang. Hembusan angin pantai yang sejuk seakan membawa kedamaian dan kenikmatan.

Antillia duduk di tepi pantai, memandang jauh ke arah laut, atau lebih tepatnya selat di depannya. Rambut panjangnya tertiup angin, sedikit berantakan namun ia tak terlalu peduli. Mata hijaunya menatap lintasan horizon dengan penuh harapan.

“Apa gadis itu akan kembali lagi ke sini ya?” ia bertanya-tanya dalam hati.

Lamunannya itu terhenti begitu terdengar suara seorang gadis yang tampak menyahutnya.

“Hei!!”

Benar saja perkiraannya. Gadis berambut perak pendek itu datang kembali ke pantai tersebut.

“Eh, kamu yang kemarin ya? Ayo ke sini,” ajak Antillia.

Mereka pun duduk bersama sambil menikmati angin sepoi-sepoi dari Selat Timur Laut. Antillia pun bertanya sesuatu yang tak sempat ia tanyakan kemarin.

“Eh iya, aku lupa mau bertanya hal ini padamu kemarin. Aku belum tahu namamu.”

Gadis itu pun menjawabnya dengan gugup. “Anu, namaku Rikka.”

Antillia yang mendengar hal itu seketika menyeletuk. “Rikka? Namanya terlalu kuno.”

“Eh, kuno?”

“Nama ‘Rikka’ itu ‘kan berasal dari bahasa Vitania kuno yang artinya ‘mawar’ bukan?” tutur Antillia.

Mendengar penjelasan itu, sang gadis berambut perak tampak melamun. Sepertinya ia tak tahu soal arti namanya sendiri.

“Huh, ternyata masih banyak orang yang memakai nama kuno ya? Baiklah, bagaimana kalau aku memanggilmu ‘Rose’ saja?” tanya Antillia.

“Rose?”

“Iya, Rose. Nama itu berasal dari bahasa Atlantia yang artinya juga ‘mawar’. Itu cocok sekali dengan apa yang aku berikan padamu kemarin,” jelas Antillia sambil tersenyum.

“Oh, baiklah.”

Antillia pun memperkenalkan dirinya.

“Oh iya. Aku juga lupa memberitahumu. Namaku Antillia.”

Rikka sempat sedikit melamun mendengar nama itu. Sepertinya nama itu tampak asing di telinganya.

“Antilla?”

“Bukan Antilla, Antillia.”

Rikka tampak kesulitan menyebut nama gadis berambut panjang itu. Oleh karenanya, Antillia pun memikirkan opsi lain.

“Hadeh, ya sudah begini saja. Kau panggil saja aku ‘Anne’.”

“Anne?”

“Iya. Daripada kau kesulitan memanggil namaku, aku membuatnya lebih sederhana saja. Tidak masalah kok kalau aku dipanggil seperti itu juga.”

Mereka duduk santai bersama di pinggir pantai. Hembusan angin laut melembut. Formalha sedikit naik ke atas ufuk. Pemandangan di sini begitu indah dengan langsung menghadap Selat Timur Laut dan Kepulauan Edinberg yang memiliki banyak gunung berapi aktif. Namun sayangnya di mata Rikka, terlihat sesuatu yang cukup mengganggu di sana.

“Hei, Anne.”

“Iya, Rose?”

“Orang-orang di sana sedang apa ya? Banyak sekali mesin-mesin berukuran besar di sana,” tanya Rikka sambil menunjuk ke arah kepulauan itu.

Antillia yang sudah mengetahui aktivitas para pekerja di sana menjelaskan. “Oh, itu pertambangan mineral.”

“Pertambangan mineral?”

“Iya. Mereka di sana sedang menambang batu hitam. Mineral itu jadi bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan energi di planet ini, seperti listrik dan sebagainya,” jelas Antillia dengan pengetahuannya.

“Oh begitu ya.”

Antillia melanjutkan penjelasan.

“Oh iya. Ngomong-ngomong soal mineral, Edinberg sana punya banyak sekali mineral yang di ekspor ke luar negeri. Mungkin karena di sini dekat dengan patahan aktif dan gunung berapi, jadi banyak mineral yang bisa kita tambang di sana. Tapi sisi buruknya, daerah ini sering terjadi gempa dan gunung meletus.”

“Huh?”

Rikka tampak kebingungan dengan apa yang dijelaskan Antillia.

“Ah, Rose. Kau pasti bingung ya? Tidak apa-apa. Nanti kita bisa belajar dan membaca buku bersama. Oh iya, ngomong-ngomong kau tinggal di mana?”

“Anu, aku dari Desa Selatan,” jawab Rikka.

“Oh, Desa Selatan rupanya. Kalau aku dari Desa Utara.”

“Eh, serius? Kalau begitu kita tetangga dong, hehe...”

“Iya, haha...”

Kedua gadis itu tertawa bersama, seperti seseorang yang sudah dekat sejak lama.

“Eh iya, Anne. Nanti sore kita pergi ke rumahku dulu. Aku punya beberapa buku yang sepertinya kau suka. Tapi aku belum baca semuanya sih,” ajak Rikka.

“Ah, baiklah.”

Sesuai dengan ajakannya, Antillia pun berkunjung ke rumah Rikka di Desa Selatan. Pemandangan di sini hampir sama dengan Desa Utara, namun jumlah pohon rindangnya lebih banyak.

“Ini rumahku. Ayo masuk,” ajak Rikka.

Rumah Rikka ternyata hampir sama juga seperti rumah Antillia, berupa dinding batu dan atap genteng merah. Namun yang membedakannya, bangunan ini hanya terdiri dari satu lantai saja.

“Aku pulang.”

“Selamat datang, Rikka. Eh, ada tamu rupanya,” kata seorang pria berkumis putih yang sepertinya merupakan ayah Rikka.

“Iya. Dia Antillia, temanku dari Desa Utara. Aku bertemu dengannya saat di pantai.”

“Anu, salam kenal, Paman,” ucap Antillia dengan sopan.

Pria bernama Slovak itu tampak senang mendengarnya. “Desa Utara? Wah tetangga kami ini. Sudah lama Paman tidak ke sana. Bagaimana kabar desa itu sekarang? Paman dengar desa itu sempat terkena dampak badai bulan lalu.”

“Soal itu, desa kami sudah mulai berbenah, Paman. Bahkan semuanya sudah kembali normal,” jawab Antillia.

“Ah, syukurlah kalau begitu.”

Rikka langsung menarik tangan Antillia karena ingin segera menunjukkan sesuatu padanya.

“Ayo ke kamarku, Anne.”

“Eh?”

Mereka sempat melewati pintu dapur sebelum masuk ke kamar gadis itu. Terlihat seorang wanita yang merupakan ibu Rikka sedang memasak sup di sana.

“Hai ibu.”

“Hai Rikka. Kamu buru-buru sekali,” ucap wanita bernama Nederla itu.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu pada temanku.”

“Ah, baiklah kalau begitu.”

Antillia yang tangannya ditarik oleh Rikka tak sempat berbincang dengan sang ibu.

Mereka pun sampai di kamar Rikka. Kamarnya cukup sederhana, namun rapi. Ada jendela yang menghadap ke kebun sampig rumah dan sebuah rak kecil berisi beberapa buku.

Sorot mata Antillia tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di atas kasur. Ia pun mengambilnya dan membaca judulnya: ‘Hamu Kamina Wanita dalam Perjuangan Pendiri Archipelahia’.

“Eh, Rose. Kau membaca ini juga?” tanya Antillia.

“Iya. Tapi aku belum selesai membacanya.”

“Ini salah satu buku favoritku loh. Aku baru saja menamatkannya bulan kemarin.”

“Sungguh?”

“Iya. Buku ini sangat menarik. Aku jadi tahu bahwa kaum wanita juga banyak berjasa dalam pendirian kerajaan ini. Bukan hanya kaum pria saja seperti yang kita duga selama ini,” jelas Antillia.

“Ah, begitu ya.”

Mereka pun berbaring bersama di kasur itu seraya membaca dan membahas buku tersebut.

***

Hari pun terus berlalu. Antillia semakin sering menghabiskan waktu di Desa Selatan bersama Rikka. Hal itu pun membuat orang tuanya sedikit curiga dengan sikap putrinya.

“Akhir-akhir ini kau sering sekali ke Desa Selatan,” kata Virginia saat makan malam. “Memangnya ada apa di sana?”

Antillia menelan makanannya sebelum menjawab. “Aku punya teman baru di sana, bu. Dia sangat baik dan menarik.”

Richard yang mendengar hal itu sontak mengangkat alisnya. “Teman baru yang menarik? Apa jangan-jangan kau sudah punya pacar di sana.”

“A... Uhukk...” Antillia langsung tersendak mendengarnya. “Ayah, dia bukan pacarku.”

Sorot mata putrinya itu sedikit menoleh ke bawah.

“Lagi pula, dia juga perempuan.”

Richard yang mendengar hal itu malam makin menggodanya.

“Ya siapa tahu juga ‘kan kalau kau menyukai orang itu.”

Mendengar celetukan sang ayah, wajah Antillia langsung memerah. Ia menatap sang ayah dengan ekspresi malu.

“Ti-tidak mungkin, ayah. Mana mungkin aku jatuh cinta pada sesama perempuan,” bantahnya dengan suara lantang.

Sang ayah pun tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi putrinya. “Hahaha..., sudahlah. Ayah hanya bercanda kok.”

“Hmm...” Antillia cemberut mendengarnya.

Setelah selesai makan malam, Antillia pun kembali ke kamarnya. Ia berbaring di kasur seraya memandang langit-langit kamar bercorak putih itu.

“Rose, buku kepahlawanan wanita Archipelahia, sepertinya menarik.”

Antillia bergumam tentang sang sahabat, serta buku yang mereka baca. Ia pun tiba-tiba terbesit sesuatu yang menarik di benaknya.

“Kalau aku memberikannya itu dan berjuang bersama, pasti akan menjadi sesuatu yang spectacular.”

***

Pagi itu, kedua ‘kembang desa’ tersebut kembali bertemu seperti biasa. Namun hari ini Antillia memberikan sesuatu pada Rikka, sebuah belati kayu kecil yang ia pahat sendiri.

“Wah, ini indah sekali. Pahatannya begitu rapi. Terima kasih, Anne,” puji Rikka setelah diberi benda yang ia kira cenderamata itu. Namun ternyata itu bukan sekedar cenderamata belaka.

“Sama-sama, hehe..., itu bukan apa-apa. Ngomong-ngomong ayo angkat benda itu. Mari kita bermain dengannya.”

Antillia mengarahkan pedang kayu miliknya pada Rikka hingga membuatnya terkejut.

“Eh tunggu, Anne. Jadi kita mau bermain pedang-pedangan? Bukannya hal itu biasanya dimainkan oleh anak laki-laki?”

“Itu karena, aku ingin menjadi seorang hero yang bertarung untuk menegakkan keadilan. Sama seperti yang tertulis dalam buku itu,” jawab Antillia.

“Hero ya?”

Rikka masih sedikit kebingungan dengan pola pikir Antillia yang berbeda itu. Namun sebelum dapat jawaban, Antillia langsung melancarkan aksinya.

“Yosh, tanpa ragu lagi ayo kita mulai. Hiyaa!!”

“Eh, tunggu.”

BRUKK

Antillia memukul belati kayu yang dipegang Rikka oleh pedangnya. Karena pukulannya terlalu kuat, Rikka pun terjatuh.

“Aduh...”

“Eh, sorry. Sepertinya aku kelepasan.”

Rikka mengusap pinggulnya yang sedikit kesakitan. Tetapi tak lama berselang, raut wajahnya berubah. Gadis berambut perak itu tampak lebih serius sekarang.

“Huh, baiklah Anne. Ayo kita mulai permainan yang sebenarnya.”

Antillia pun tersenyum melihat ekspresi sang sahabat. “Ah, sepertinya kau sudah mulai bersemangat ya, Rose. Ayo kita mulai permainannya.”

“Hiyaa!!”

TRAKK TRAKK

Mereka pun saling beradu kayu. Rikka yang awalnya sering terkena serangan Antillia lambat laun mulai bisa menguasai permainan. Mereka lalu melakukan hal itu hampir setiap kali bertemu.

Seiring dengan berjalannya waktu, mereka pun mulai ahli dalam bermain adu pedang kayu tersebut. baik Rikka maupun Antillia, keduanya mulai bisa saling menangkis serangan satu sama lainnya.

TRAKK TRAKK

“Huh, sepertinya kau sudah mulai menguasainya ya, Rose. Kau mungkin akan menjadi seorang hero yang mungkin bisa mengalahkanku,” puji Antillia.

“Hehe, tidak juga. Teknik bertarungmu justru semakin meningkat, Anne,” Rikka memujinya balik.

Hubungan kedua gadis itu pun semakin dekat. Bukan hanya sekedar persahabatan biasa, melainkan juga sebagai rival dalam permainan adu pedang kayu.

***

Formalha mulai condong ke barat, menyinari Desa Utara dengan cahaya keemasan. Antillia menyusur jalan menuju rumahnya di sore hari. Ia baru saja menghabiskan seharian penuh dengan membaca buku dan bermain adu pedang kayu dengan Rikka.

“Ah, hari yang indah,” gumamnya.

Ia berpikir bahwa hari itu merupakan hari terbaik baginya. Namun ketika hampir tiba di rumahnya, gadis itu mendengar sayup-sayup suara dari dalam. Ia memperlambat langkahnya dan melihat seseorang dari balik jendela.

“Hah, Paman Julius? Ada apa dia datang ke mari?”

Antillia bertanya-tanya tentang keberadaan tetangganya itu yang terlihat sedang berbicara serius dengan sang ayah. Ia pun menguping pembicaraan mereka.

“...kita sudah mengajukan gugatan hingga ke tingkat pusat, tapi anehnya kita gagal di sana. Padahal sertifikat tanda bukti dari masyarakat kita sudah kuat sekali,” kata Julius yang terdengar gelisah.

“Ini memang aneh. Lantas kalau kita gagal dalam tingkatan ini, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Richard sambil mengusap jenggotnya.

“Aku tidak tahu lagi,” Julius menghela napas panjang. “Tapi karenanya, sepertinya desa kita akan mengalami bahaya besar dalam beberapa hari ke depan. Kita harus bersiaga.”

Antillia yang berdiri diam di luar seakan tersentak. Jantungnya berdetak cepat. Bahaya apa yang dimaksud oleh Julius?

Tak lama berselang, Julius berpamitan dan keluar dari rumah. Sementara itu sang ayah memanggil sang ibu yang sedang berada di dapur.

“Virginia,” panggil sang suami.

“Iya, sayang. Bagaimana kelanjutannya?” tanya Virginia.

Richard hanya menggelengkan kepala tanpa suara, menandakan sesuatu yang mereka perjuangkan telah gagal.

Tak ada ekspresi lain yang ditunjukkan sang ibu selain pasrah. “Begitu ya.”

Richard menoleh ke arah Virginia dengan tatapan tajam seraya menggenggam kedua tangan sang istri.

“Virginia. Kita harus bersiap dengan semua kemungkinan yang terjadi. Dan jangan pernah ceritakan ini pada Antillia. Aku tidak mau dia khawatir.”

Antillia mundur perlahan, bersembunyi di balik dinding. Kekhawatiran mulai menyelimuti hatinya. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Dan bahaya apa yang akan menimpa desa mereka hingga sang ayah memilih untuk merahasiakan hal itu darinya?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel