Pustaka
Bahasa Indonesia

Antilles Sang Pemotong Jiwa

65.0K · Tamat
W. Soetisna
34
Bab
13
View
9.0
Rating

Ringkasan

Antillia Samarchia, seorang gadis cantik nan cerdas dari Desa Utara Tolvanstadt awalnya menjalani kehidupan yang damai bersama keluarganya. Namun semuanya berubah saat sang ayah diperlakukan tak adil di tempat kerja oleh bosnya, Ulysses Ludenberg. Kemarahan Antillia semakin membara saat desanya digusur paksa oleh kerajaan pusat dan kedua orang tuanya ditangkap. Dan dalam pelariannya ke Desa Selatan, di mana ia mendapatkan perlindungan dari sahabatnya Rikka, kehancuran serupa kembali terjadi untuk yang kedua kalinya. Didorong oleh amarah, Antillia nekat melawan. Tapi tindakannya itu membuat dirinya ditangkap dan dijebloskan ke penjara paling brutal di Kerajaan Archipelahia. Dalam keterpurukannya, seorang wanita misterius memberikannya kekuatan sebagai gadis penyihir angin, membuka jalan bagi pelariannya, serta mengantarkannya ke Brigade Penyihir Garis Depan Vitania, sebuah kelompok perlawanan terhadap ketidakadilan. “Kekuatan ini, sungguh fantastic.” Mampukah Antillia membalaskan dendamnya dan menegakkan keadilan bagi kampung halamannya?

RevengeSuspenseDistopiaKekuatan SuperBalas Dendam

Bab 1 : Mimpi Buruk

Sinar bintang biru Formalha menerobos celah jendela, menciptakan bias-bias cahaya keemasan di lantai rumah sederhana itu. Kicauan burung-burung liar yang bersarang di pepohonan membuat pagi itu terasa lebih hidup.

Desa Utara, tidak ada nama spesial untuk sebuah perkampungan yang terletak di utara Tolvanstandt itu. Ia merupakan sebuah surga kecil yang cukup tersembunyi dari hiruk pikuk perkotaan Daerah Otonom Vitania. Desa yang dekat dengan pesisir pantai utara itu memiliki pemandangan alam yang sangat indah, pohon-pohon kelapa yang berbuah lebat, bunga-bunga indah yang bermekaran di sepanjang jalan desa, hingga suara gemuruh angin pantai yang menghidupkan suasana.

Antillia Samarchia, gadis berusia belasan tahun dengan rambut panjang dan mata hijau yang cerah, terbangun dengan senyuman di wajahnya. Walaupun rambutnya tampak sedikit kusut, hal itu tak mengurangi pesonanya sebagai salah satu ‘kembang desa’.

“Ahh... Sudah pagi rupanya.”

Gadis itu merapikan tempat tidurnya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Cermin tua yang masih bisa terpakai itu memantulkan wajah cantiknya yang selalu berseri-seri. Antillia menyisir rambutnya, lalu mengenakan sebuah kaos lengan panjang dan celana pendek sederhana.

“Antillia, kau sudah bangun?” sahut Virginia, sang ibu dari lantai bawah.

“Iya, bu. Aku sudah bangun.”

“Kalau begitu ayo ke bawah. Sarapan sudah siap.”

“Baik bu.”

Gadis itu melangkah turun dari tangga kayu sederhana yang berderit setiap kali diinjak. Rumah keluarga Samarchia sendiri merupakan sebuah bangunan dua lantai sederhana dengan dinding batu dan atap genteng merah. Walaupun tak semewah rumah-rumah di pusat kota, kediaman itu tampak begitu hangat dan damai.

Di ruang makan, terlihat sang ayah Richard Samarchia yang sedang duduk di sebuah kursi kayu sambil membaca koran. Richard sendiri merupakan seorang karyawan administrasi di sebuah pertambangan batu hitam di Vitania. Tubuh pria blasteran Vitania – Atlantia itu tampak tinggi dan tegap dengan rambut coklat pendek. Mata hijaunya yang ia wariskan pada Antillia memancarkan kebaikan dan kebijaksanaan.

“Selamat pagi, putri kecilku yang manis,” sapa Richard sambil tersenyum lebar.

“Jangan panggil aku anak kecil lagi, ayah,” jawab Antillia sambil sedikit cemberut.

Virginia, wanita berparas cantik dengan rambut panjang itu tersenyum melihat interaksi keduanya. Dirinya lalu meletakkan roti gandum hangat dan teh di atas meja.

“Bagaimana tidurmu, Antillia?” tanya Virginia sambil menuangkan teh herbal lewat poci seng sederhana berwarna emas.

“Nyenyak sekali, bu,” jawab Antillia sambil tersenyum, walaupun sebenarnya dia sedikit berbohong. Hal itu karena semalam dirinya bermimpi buruk tentang tsunami yang menerjang desanya.

Richard mengambil sepotong roti dan mengoleskannya dengan mentega. “Hari ini ada rencana apa, Antillia?”

Antillia menyeruput teh hangatnya sebelum menjawab. “Rencananya aku mau ke perpustakaan desa untuk bertemu teman-teman. Kami sudah berjanji untuk membaca bersama. Yah, dan mungkin kita akan berjalan-jalan di taman setelah itu.”

“Kedengarannya menyenangkan,” kata Virginia. “Tapi ingat, pulangnya jangan terlalu sore.”

Richard mengangguk serius. “Ibumu benar. Akhir-akhir ini hujan lebat sering turun di sore hari.”

“Selain itu, ada kabar juga kalau kerajaan pusat sedang mengirim sejumlah staff khusus ke daerah-daerah otonom, termasuk Vitania,” lanjutnya sambil sedikit memalingkan pandangan.

“Eh, memangnya untuk apa, ayah?” tanya Antillia penasaran.

Richard menghela napas. “Huh, ayah juga tidak tahu. Tapi biasanya hal itu bukanlah pertanda baik jika kerajaan pusat sampai mengirimkan staff khususnya untuk mencampuri urusan internal daerah otonom.”

“Sudahlah, Richard,” sela Virginia dengan lembut. “Jangan membebani Antillia dengan masalah politik serumit itu. Dia ‘kan masih kecil.”

Antillia tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa kok, bu. Aku memang selalu ingin tahu setiap masalah yang terjadi di sekitarku.”

Sang ayah yang melihat hal itu pun tersenyum bangga. “Kau memang gadis yang cerdas, Antillia,” katanya sambil mengelus rambut sang anak.

Mereka pun melanjutkan sarapan dengan obrolan ringan tentang kegiatan sehari-hari. Antillia menceritakan tentang buku sejarah yang baru ia selesaikan, sementara Richard berbagi cerita tentang proyek ekspansi tambang batu hitam yang melibatkan dirinya.

Setelah menghabiskan sarapannya, Antillia bangkit dari kursi. “Baiklah, ayah, ibu. Bolehkah aku pergi sekarang?”

“Tentu saja, Antillia. Hati-hati di jalan,” jawab sang ibu.

“Jangan lupa, pulangnya jangan terlalu sore,” tambah sang ayah.

Gadis itu melangkah ke luar rumah. Udara pagi Tolvanstadt begitu menyegarkan. Rumah-rumah sederhana berjajar rapi di sepanjang jalan berbatu itu. Asap tipis terlihat mengepul dari cerobong asap sebagian rumah. Tak lupa Antillia menyapa sejumlah penduduk desa lainnya dengan ramah saat ia melewati mereka.

“Selamat pagi, Tuan Reg.”

“Selamat pagi juga, Antillia. Kau tampak bersemangat pagi ini,” jawab pria tua yang sedang memotong rumput itu.

“Tentu saja, karena ini adalah hari yang indah.”

Perjalanan ke perpustakaan desa hanya memakan waktu sekitar kurang dari 10 menit saja dengan berjalan kaki. Tak lama berselang, ia pun sampai di bangunan yang terletak antara Desa Utara dan Desa Selatan tersebut.

Perpustakaan itu merupakan bangunan batu berukuran sedang dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan cahaya mentari masuk dengan leluasa.

Saat Antillia masuk ke dalam bangunan yang terbuka itu, aroma khas buku-buku tua seakan langsung menyambutnya, aroma yang selalu membuatnya merasa nyaman. Ruangan itu tak terlalu besar, tetapi dipenuhi dengan rak-rak tinggi yang berisi ratusan buku berbagai kategori yang dikumpulkan dari seantero Kerajaan Archipelahia.

“Selamat pagi, Nyonya Rebecca,” sapa Antillia pada wanita tua penjaga perpustakaan.

“Iya,” jawabnya dengan singkat.

Wanita tua berambut putih dan berkacamata bundar itu tampak meresponnya dengan dingin. Ia hanya fokus membaca bukunya. Tapi itu tak menjadi masalah bagi Antillia.

Tak berselang lama, seorang gadis lain yang tengah duduk menyapanya dengan riang.

“Antillia.”

“Ah, Milly. Selamat pagi.”

Antillia pun menghampiri sekelompok anak muda yang sedang duduk di sebuah meja bundar di tengah ruangan.

“Seperti biasanya kau terlambat, Antillia,” celetuk Dion, pemuda dengan rambut hitam pendek. “Kami sudah menunggumu sejak tadi.”

“Hehe, maafkan aku,” jawab Antillia sambil duduk di antara mereka. “Tadi aku terlalu asyik mengobrol dengan ayah dan ibu saat sarapan.”

Seorang gadis berperawakan cerah bernama Tsuki tersenyum hangat padanya. “Tidak apa-apa kok. Kami baru saja mulai membaca buku sejarah Kerajaan Archipelahia.”

“Ah, kebetulan sekali. Aku baru saja menyelesaikan buku itu kemarin,” ujar Antillia dengan antusias.

Kelompok itu terdiri dari 6 orang, 3 orang dari Desa Utara dan 3 orang lagi dari Desa Selatan. Mereka adalah sekumpulan anak muda yang sangat haus akan ilmu pengetahuan. Keberadaan perpustakaan ini seakan menjadi obat untuk mengatasi rasa haus mereka dengan berkumpul seraya berdiskusi tentang buku-buku yang mereka baca.

“Dari yang aku baca, Kerajaan Archipelahia merupakan salah satu negara yang paling kaya di Planet Kamina ini,” kata Herlin, pemuda berkacamata dari Desa Selatan. “Kita punya tambang batu hitam, emas, batu Angke, dan mineral lainnya.”

“Tentu saja. Apalagi di Vitania Utara ini,” timpal Antillia. “Ayahku pernah bilang kalau batu hitam di wilayah ini sangat melimpah, dan itu sangat berguna untuk sumber energi bagi kehidupan masyarakat.”

“Tapi, kenapa kita tidak merasakan manfaat dari kekayaan alam itu?” tanya Ina, gadis berambut coklat panjang berkacamata yang tampak gugup. “Maksudku, Desa Utara dan Desa Selatan Tolvanstadt kelihatannya masih sangat sederhana. Padahal lokasi kita sangat dekat dengan pertambangan itu.”

Pertanyaan itu membuat semuanya terdiam. Memang benar katanya, meskipun Daerah Otonom Vitania kaya akan sumber daya alam, tetapi kehidupan masyarakatnya, khususnya di Tolvanstadt ini masih jauh dari kata mewah.

Dion yang mendengarnya langsung berujar. “Kalau kata ayahku, sebagian besar hasil tambang dibawa oleh kerajaan pusat. Vitania hanya mendapat sebagian kecil dari keuntungan.”

“Eh? Itu ‘kan tidak adil,” ujar Milly dengan dahi berkerut.

“Stt...” Herlin menyela dengan suara pelan. “Jangan bicara terlalu keras. Ada staff kerajaan pusat di sini.”

Antillia menoleh ke arah yang ditunjuk Herlin. Dan benar saja, di sudut perpustakaan terlihat seorang pria berjas hitam yang sedang berbincang dengan pria lain yang merupakan staff perpustakaan. Pria berjas hitam itu lalu menatap mereka dengan tajam.

“Hah? Sejak kapan ada staff kerajaan pusat di perpustakaan desa ini?” bisik Antillia.

“Sejak seminggu yang lalu,” jawab Tsuki. “Katanya mereka ada di sini untuk memastikan tidak ada buku-buku terlarang yang dibaca. Apalagi di Vitania ini ‘kan sedang ada gerakan pemberontakan.”

Suasana menjadi sedikit tegang. Antillia merasakan ketidaknyamanan yang sama seperti yang dirasakan teman-temannya.

Melihat hal tersebut, Ina dengan tiba-tiba mengusulkan sesuatu. “Eh, bagaimana kalau kita ke taman saja? Bunga-bunga di sana sedang bermekaran indah lho.”

Usul itu disambut dengan anggukan antusian dari yang lain. Mereka pun segera membereskan buku-buku mereka dan beranjak dari tempat itu.

“Ah, untungnya taman tak terlalu jauh dari sini,” kata Milly sambil menghela napas.

Mereka pun sampai di tempat tujuan. Taman desa Tolvanstadt, lebih terlihat seperti hamparan padang rumput yang luas dengan bunga-bunga beraneka warna yang tumbuh bermekaran.

“Wah, indahnya,” Ina terkagum melihat pemandangan bunga-bunga yang indah itu.

Ketegangan yang sempat mereka rasakan saat di perpustakaan itu seakan sirna. Kini mereka berlarian seperti anak kecil di antara bunga-bunga yang bermekaran itu. Tawa riang mereka mewarnai udara segar di taman tersebut.

“Hei, Antillia. Coba lihat mawar ini,” panggil Tsuki seraya menunjuk ke arah mawar merah yang sangat indah itu.

Antillia menghampiri dan berjongkok di depan bunga itu. Dengan lembut, gadis berambut panjang itu memetik sepucuk mawar merah dan mendekatkannya ke hidungnya, menghirup aroma harum yang menenangkan.

“Hmm... Ini wangi sekali. Benar ‘kan, Tsuki?”

Antillia menoleh ke arah sang teman. Namun tiba-tiba sesuatu hal yang aneh terjadi.

“Eh, Tsuki?”

Sang teman menghilang tanpa jejak. Bukan hanya Tsuki, tapi semua teman-temannya seakan lenyap begitu saja. Suasana pun mendadak sunyi. Antillia mengangkat wajahnya dan terkejut mendapati dirinya kini sendirian di taman itu.

“Tsuki? Ina? Dion? Herlin? Di mana kalian?” panggilnya, namun tak ada jawaban.

Angin bertiup semakin kencang. Langit yang tadinya biru cerah perlahan berubah menjadi merah darah. Bunga-bunga di sekitarnya yang tadinya berwarna-warni kini berlumuran cairan merah kental yang menetes ke tanah.

Jantung Antillia berdegup kencang. Ia melempar mawar yang dipegangnya dan berlari sekuat tenaga, mencoba keluar dari taman yang berubah bak mimpi buruk itu.

“Ayah!! Ibu!!” teriaknya panik.

Ia kembali ke Desa Utara. Namun saat dirinya sampai, kampung halamannya kini sudah hancur. Alat-alat berat yang besar berwarna hitam menggusur rumah-rumah, meratakannya menjadi tumpukan puing. Tanah yang tadinya hijau kini berubah menjadi cokelat kemerahan.

Antillia jatuh berlutut, tubuhnya gemetar hebat melihat kehancuran yang terjadi. Semuanya menjadi semakin buruk setelah dirinya melihat orang-orang desa, baik lelaki, perempuan, bahkan anak-anak, digiring dengan kasar oleh pria-pria berseragam hitam. Mereka dipukul, ditendang, dan dimasukkan ke dalam truk besar dengan kejam.

Salah satu di antara mereka rupanya adalah Richard Samarchia dan Virginia, kedua orang tua Antillia. Mereka juga diperlakukan dengan kejam.

“Ayah!! Ibu!!”

Ia berusaha menyelamatkan mereka. Namun apa daya, tubuhnya tak bisa bergerak. Ia hanya bisa melihat dari kejauhan saat kedua orang tuanya digiring paksa ke dalam sebuah truk.

“Jangan lakukan itu pada orang tuaku!! Jangan!! JANGAANN!!” Antillia menjerit.

***

“JANGAAANNN!!”

Antillia tersentak bangun. Napasnya tersengal-sengal dan tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia mengejapkan mata beberapa kali, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Antillia berada di kamarnya, di rumahnya di Desa Utara Tolvanstadt. Sinar pagi Formalha menerobos celah jendela, menciptakan bias cahaya di kamarnya.

“Eh, mimpi? How weird,” bisiknya pada diri sendiri.

Ia akhirnya baru menyadari bahwa dirinya bermimpi buruk. Namun entah kenapa mimpi itu serasa begitu nyata baginya?

Dengan tangan yang masih gemetar, Antillia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke jendela. Dirinya melihat ke luar. Desa Utara masih utuh, damai, dan tenteram seperti biasanya. Rumah-rumah sederhana berjajar rapi, orang-orang beraktivitas seperti biasa, dan burung-burung berkicau riang.

“Antillia? Kau sudah bangun? Ibu sudah siapkan sarapan,” sahut sang ibu dari lantai bawah.

Gadis itu terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Pikirnya itu hanya mimpi buruk belaka. Namun jauh di lubuk hatinya, ia merasakan ketakutan yang tak bisa dijelaskan. Apakah mimpi itu merupakan sebuah pertanda buruk baginya?

“Ah, iya bu.”

Dengan langkah berat, Antillia bergegas membasuh wajahnya dan turun untuk sarapan. Mungkin obrolan hangat dengan kedua orang tuanya akan sedikit meredakan ketakutan itu.

Tapi tetap saja hal itu menggantung di benaknya. Apakah mimpi itu merupakan sebuah pertanda buruk baginya?

***