Bab 5 : Tragedi Berulang
Air dingin membasahi kepala Antillia saat Slovak berusaha membersikan darah di keningnya. Ia sedikit merintih kesakitan, namun bila dibandingkan dengan luka batinnya, itu tidak ada apa-apanya.
“Begitu ya? Gadis yang malang,” ucap Slovak seraya mengeringkan kepala Antillia perlahan dengan handuk agar tak membuatnya kesakitan.
Pria berambut dan berkumis putih itu lalu menutupi kepala Antillia dengan perban. Gadis itu tampak lebih baik sekarang. Namun ekspresi wajahnya masih menyiratkan trauma mendalam.
Rikka yang memandangi mereka di depan pintu kamar mandi hanya bisa terdiam. Sepertinya telah terjadi sesuatu yang buruk padanya, pikirnya. Tak lama kemudian, sang ayah menyahut putrinya.
“Rikka.”
“Iya, ayah?”
“Tolong jaga dan rawat Antillia. Mulai hari ini dia akan tinggal bersama kita.”
“Baik ayah.” Rikka tak banyak bertanya dan mengiyakan perkataan sang ayah.
Malam itu Antillia duduk termenung di kamar Rikka. Dengan balutan selimut, tampak jelas dirinya masih trauma dengan apa yang terjadi pada kampung halaman dan keluarganya.
Rikka masuk ke kamar itu dan langsung menyajikan segelas teh herbal hangat padanya. Karena masih penasaran, gadis berambut perak itu bertanya lagi pada sang sahabat.
“Anne, coba katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi pada desamu?”
Sambil menenangkannya, Rikka bertanya lagi pada Antillia. Dengan segelas teh hangat di tangan, Antillia mencoba menjelaskan semuanya pada sang sahabat. Namun ekspresinya benar-benar gugup untuk berkata.
“Semuanya, hilang. Rumahku, ayah, mereka...”
Mulutnya terbata-bata untuk menjawab pertanyaan sang sahabat. Ada tekanan batin yang dialaminya.
Pertanyaan itu justru membuatnya mengingat peristiwa mengerikan itu lagi. Memori saat ayahnya disiksa oleh para Kochi, serta kampung halamannya yang tergusur langsung terbesit lagi di ingatannya.
“AAAAAA....”
Antillia berteriak histeris, ia menjambak rambutnya sendiri hingga gelas yang ia pegang terjatuh. Ayah Rikka yang mendengar teriakan itu langsung masuk ke kamar dan berusaha menenangkannya.
“Kau tidak apa-apa, Antillia? Tenanglah,” ucap Slovak sambil memeluk tubuh gadis itu.
“Ayah, maafkan aku. Tapi apa yang sebenarnya terjadi dengan desa Anne?” tanya Rikka yang masih penasaran.
“Kau tidak perlu tahu. Yang jelas kita harus menenangkan Antillia sekarang. Dan ayah mohon, jangan bertanya apa pun lagi tentang hal ini, terlebih di depan Antillia,” jawab sang ayah.
“Oh, baiklah.”
Lagi-lagi sang ayah tak memberikan jawaban atas pertanyaannya. Tampak jelas bahwa Slovak menyembunyikan sesuatu dari Rikka, sebuah peristiwa mengerikan yang terjadi di Desa Utara.
Sejak saat itu, Antillia tak bisa tidur nyenyak sama sekali. Bayangan memori tentang penggusuran Desa Utara selalu terbawa dalam mimpi buruknya setiap hari. Tak ayal hal tersebut selalu membuatnya mengigau hampir setiap malam.
“Jangan!! Hentikan!! Atau aku habisi kalian!!”
***
Rasa penasaran Rikka makin menjadi, terlebih setelah sahabatnya itu tiba-tiba berubah sikap. Antillia yang awalnya ia kenal sebagai gadis yang ceria kini berubah menjadi orang yang traumatis, depresi, dan penuh dendam. Tapi dirinya sendiri tak bisa berbuat banyak, bahkan untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada desanya.
Di pagi itu, Antillia masih tertidur, sementara Rikka yang sudah mandi hendak pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam sebelumnya.
“Anne...”
Rikka berjalan sendirian di jalan berbatu itu. Ia tertunduk sambil sedikit melamun karena mengkhawatirkan kondisi Antillia di rumah.
“Sebenarnya, apa yang terjadi pada desanya?” gumamnya.
Tak lama berselang, Rikka pun sampai di perpustakaan desa. Tapi yang ia lihat bukanlah anak-anak ceria yang sedang membaca buku seperti biasanya, melainkan sekumpulan anak-anak lusuh yang mirip seperti korban selamat dalam perang.
“Hah? Apa yang terjadi?”
Anak-anak yang tampak lusuh itu duduk di halaman perpustakaan. Kondisi mereka begitu memprihatinkan. Terlihat beberapa warga desa dan staff perpustakaan yang memberikan mereka makanan dan selimut, dan salah satu dari mereka adalah Nyonya Rebecca, penjaga utama perpustakaan. Wanita beruban yang dikenal dingin itu tampak sedang memberikan air pada sejumlah anak.
Karena penasaran, Rikka pun menghampirinya. “Nyonya Rebecca.”
Mendengar sahutan Rikka, wanita itu langsung menoleh. “Ah, Rikka.”
“Nyonya Rebecca, apa yang sedang terjadi? Kenapa banyak anak-anak di perpustakaan ini?”
“Mereka anak-anak korban penggusuran Desa Utara. Mereka berhasil diselamatkan dari para Kochi yang mencoba menangkap mereka,” jawabnya.
“Apa? Penggusuran Desa Utara?”
Ucapan tersebut sontak membuat Rikka terkejut.
“Iya. Mereka melarikan diri karena orang tua mereka ditangkap para Kochi akibat melawan penggusuran. Dan mereka harus mencari tempat berlindung,” jelas Rebecca.
“Tidak mungkin. Jadi semua ini...”
Raut wajah Rikka seketika berubah. Dirinya kini mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan kampung halaman sang sahabat. Begitu mengerikan, pikirnya.
“Baiklah, Nyonya Rebecca. Ini buku yang aku pinjam minggu kemarin. Terima kasih. Aku pulang dulu.”
Tanpa basa-basi, Rikka langsung menyerahkan buku itu dan pergi meninggalkan perpustakaan. Dirinya berlari menuju rumah. Ia ingin segera menemui Antillia.
“Jadi begitu rupanya. Anne...”
Rikka langsung masuk ke dalam rumahnya. Kebetulan pintunya terbuka dan sang ayah tidak ada di rumah, sementara ibunya sedang memasak di dapur.
Gadis itu lalu membuka pintu kamar yang tampak gelap karena lampunya tak dinyalakan. Rupanya sang sahabat sudah bangun.
“Anne...”
Rikka terdiam melihat kondisi Antillia yang terduduk letih. Raut wajahnya begitu kosong dan depresif. Ia hanya memandangi Rikka tanpa emosi.
“Rose...”
Melihat kondisinya yang sungguh kasihan, Rikka langsung memeluk tubuh Antillia dengan erat.
“Anne..., aku sudah tahu semuanya...” ucap Rikka tersedu-sedu.
Antillia hanya terdiam melihat ekspresi sang sahabat. Tatapannya masih tampak kosong.
“Aku sudah tahu, tentang desamu, tentang keluargamu, tentang semuanya. Maafkan aku karena tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu...”
Ucapan sang sahabat mulai melelehkan hatinya. Mata Antillia mulai berkaca-kaca.
“Ro-se... hiks...”
Rikka memeluk Antillia semakin erat. Melalui pelukan itu, gadis berambut perak tersebut seakan merasakan kepedihan yang dialami sang sahabat.
“Anne. Aku tahu kau pasti sangat sedih mengingat peristiwa itu. Kau pasti sangat sedih ‘kan dengan apa yang terjadi pada desamu, pada orang tuamu. Tapi jangan khawatir. Aku akan selalu ada di sampingmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Suara Rikka tampak serak mengatakannya. Ia pun tak kuasa menahan kesedihan melihat sang sahabat menderita.
Lewat pelukan dan ucapan hangat itu, Antillia tak bisa menyembunyikan kepedihannya lagi. Ia pun menangis keras di pelukan Rikka.
“Huaaa....”
“...”
Antillia akhirnya mengungkapkan semuanya. “Aku... aku sudah kehilangan semuanya... Desaku... orang tuaku... semuanyaaa...”
“...”
Rikka juga tak kuasa menahan tangis. Air matanya mengalir dari mata peraknya. Sungguh malang nasib sang sahabat.
***
Beberapa hari berlalu. Antillia kini sudah sedikit lebih baik. Ia tak lagi sering mengigau di saat tidur. Rikka yang mengetahui hal tersebut tersenyum tipis.
Gadis berambut perak itu masuk ke dalam kamar untuk berbagi biskuit dan susu bersama.
“Anne, aku bawa biskuit manis dan susu hangat. Ayo makan bareng.”
“Ah, okay.”
Antillia menjawabnya tanpa menoleh. Sorot mata hijaunya tampak fokus pada buku yang ia baca. Rikka tersenyum melihat sahabatnya kini bisa fokus kembali membaca. Ia pun menghampirinya. Namun saat ia membaca buku yang Antillia baca, dirinya sedikit terkejut.
“Eh, itu...”
Antillia rupanya sedang membaca buku tentang cara membuat senjata rakitan. Buku itu berisi cara membuat busur panah sederhana, bambu runcing, hingga bom molotov. Sontak hal itu membuat Rikka bertanya-tanya.
“Eh, buku apa itu?”
Mengetahui Rikka melihat buku yang ia baca, Antillia sontak menutup bukunya itu. Tampak dirinya tak ingin sang sahabat membacanya.
“Eh, tidak kok. Ini bukan buku apa-apa.”
Antillia berusaha mengelak, namun raut wajahnya yang panik tak bisa membohongi sang sahabat.
Rikka kembali bertanya dengan nada sedikit polos. “Kenapa kau langsung menutupnya? Sepertinya itu buku yang menarik.”
“Ti-tidak kok. Ini memang buku yang bagus, tapi ini hanya buku biasa kok, serius...”
Namun lagi-lagi Antillia kembali mengelak. Ia terlihat mengalihkan pandangannya dari Rikka. Cukup jelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikannya dari buku itu.
“Anne...”
Rikka hanya bisa terdiam melihat tingkah sang sahabat yang berusaha menyembunyikan sesuatu darinya. Namun tak lama berselang, kedua orang tuanya tiba-tiba masuk ke kamar.
“Rikka.”
“Eh, ayah? Ibu? Ada apa?”
Slovak dan Nederla menghampiri putrinya dengan ekspresi khawatir, seperti ingin mengabarkan suatu kabar buruk. Dan ternyata benar.
“Kita harus mengemasi barang-barang dari sini, dan bersiap untuk pergi,” kata sang ibu.
“Eh, memangnya kenapa?”
Sang ibu sedikit menghela napas. “Desa Selatan telah diambil alih oleh kerajaan pusat. Dan kita punya waktu tiga hari untuk mengosongkan tempat ini.
Hati Rikka tersentak mendengarnya. Kampung halamannya akan segera digusur seperti apa yang terjadi dengan Desa Utara, kampung halaman Antillia.
“Tapi, kenapa?” tanya Rikka.
“Kerajaan pusat menemukan ladang batu hitam yang sangat melimpah di dalam tanah desa ini, dan mereka akan segera menambangnya. Kita sudah tak bisa lagi tinggal di sini,” jelas sang ayah.
Rikka yang mendengar hal itu masih bertanya-tanya, terlebih banyak hal yang masih terbesit di benaknya.
“Tapi kalau begitu harusnya kita mendapatkan ganti rugi yang sepadan. Kenapa tidak ada pemberitahuan tentang hal itu sebelumnya jauh-jauh hari pada kita?”
Sang ayah hanya bisa menggelengkan kepala, lalu menepuk bahu putrinya.
“Rikka, tidak semua hal dalam kehidupan ini bisa kita kendalikan. Walaupun itu hal yang pahit sekalipun, karena kita belum punya kuasa untuk memperbaiki semua itu, kita harus mengalah,” jelas Slovak dengan ekspresi pasrah.
“Lagi pula, kita tidak mau pertumpahan darah seperti di Desa Utara terjadi di sini. Kami tidak mau anak-anak menjadi korban lagi. Ayah harap kau mengerti,” lanjutnya.
“Oh, baiklah.”
Rikka hanya bisa pasrah mendengar ucapan sang ayah. Meskipun itu seakan tak adil baginya, tapi apa yang dikatakan Slovak memang benar.
Namun Antillia berbeda. Mendengar hal tersebut, gadis berambut panjang itu menatap dengan tatapan kosong. Hatinya yang masih diliputi pilu akibat tragedi yang terjadi pada orang tuanya tak bisa menerima semua itu. Kabar tersebut membuat amarah dan dendamnya makin membara.
***
Pagi itu Desa Selatan juga akan terhapus selamanya dari peta Daerah Otonom Vitania. Seluruh wilayah perkampungan yang indah itu akan berubah menjadi pertambangan batu hitam. Sebelumnya pihak desa sudah membawa sengketa tanah ini ke jalur hukum, namun entah kenapa mereka bisa kalah di meja hijau.
Terlihat sekumpulan Kochi yang berseragam hitam dan bersenjata lengkap menghadang masyarakat agar tak menyerbu mesin-mesin besar yang menggusur rumah mereka. Sesuai perkataan Slovak, para warga Desa Selatan tak melakukan perlawanan demi menghindari pertumpahan darah seperti yang terjadi di Desa Utara.
Namun tetap saja, kehilangan rumah yang selama ini mereka tempati tanpa kompensasi sepadan merupakan hal yang sangat menyedihkan. Sejumlah ibu-ibu desa pun menangis meratapi tempat tinggal mereka yang sedang digusur.
“Rumahku!!”
Masyarakat hanya bisa meratapi dari balik barikade Kochi, termasuk Rikka dan Antillia yang menyaksikan peristiwa itu diantara para orang dewasa.
Namun di tengah peristiwa menyedihkan itu, pandangan mereka tiba-tiba tertuju pada seorang pria yang mengendarai sebuah alat berat untuk menggusur beberapa bangunan. Pria berambut putih sedikit acak-acakan itu malah terlihat senang dengan apa yang ia lakukan.
“Yahaha!! Bagus sekali. Ayo kita gusur semua ini. Pertambangan batu hitam akan jauh lebih menguntungkan Kerajaan Archipelahia!!”
Ujarannya itu memprovokasi sebagian besar warga yang menyaksikan penggusuran rumah mereka. Tetapi tak ada yang bisa mereka lakukan karena dihalangi oleh barikade Kochi.
Mendengar perkataan tersebut, Antillia yang sudah sangat sakit hati dengan apa yang terjadi pada desa dan keluarganya murka.
“You bastard. Semoga kau terbakar di Gehenna!!”
Rikka menoleh ke arah sang sahabat yang terlihat mengeluarkan sesuatu. “Anne, apa yang akan kau lakukan?”
Antillia mengeluarkan sesuatu dari balik kaosnya, dan ternyata itu adalah bom molotov.
“Anne, jangan lakukan...”
Rikka berusaha mencegah sahabatnya, akan tetapi Antillia tak menghiraukannya. Amarah dan dendam sudah terlanjur menyelimuti hatinya.
Gadis berambut panjang itu menyalakan sumbunya dan langsung berlari melewati para orang dewasa dan barikade Kochi.
“Matilah kau!!”
Antillia melempar botol dengan sumbu menyala tersebut dan tepat mengenai alat berat yang dikendarai pria itu.
BOOMM
Api yang cukup besar langsung tercipta dan membakar alat berat itu beserta pengendara yang ada di dalamnya.
“AAAA... PANAAASSSS....!!”
Semua orang yang menyaksikannya terkejut, termasuk para Kochi. Begitu melihat Antillia yang melemparkannya, para aparat berseragam hitam itu langsung berlari dan mengejar gadis tersebut.
“WOY!! APA YANG KAU LAKUKAN!!”
“CEPAT TANGKAP ANAK ITU!!”
BRUKK
Sebuah bogem mentah tepat mengenai pipi Antillia dan membuatnya terjatuh. Seorang Kochi yang lain juga menendang perutnya. Banyak dari mereka yang ingin menghajrnya, namun ditahan oleh Kochi yang lain.
Melihat seorang gadis remaja berusia belasan tahunan dipukuli oleh para Kochi membuat warga menjadi murka. Tapi tetap saja, mereka tak mampu melawan para Kochi yang bersenjata lengkap tersebut.
“Bawa dia!!” perintah salah satu Kochi.
Dengan mulut yang masih berlumuran darah, Antillia pun dibawa oleh mereka ke dalam sebuah kendaraan hitam.
“ANNE!!”
Rikka hanya bisa berteriak dari balik barikade. Itulah saat terakhir kedua sahabat itu bersama.
***
