Bab 2 : Pembicaraan Pagi
Sinar mentari pagi yang lembut menembus jendela dapur di rumah keluarga Samarchia. Aroma roti gandum panggang dan telur yang dimasak dengan mentega memenuhi seisi ruangan. Virginia dngan cekatan menata meja makan, sementara Richard yang sudah duduk di kursinya terlihat sedang membaca surat kabar Nord-Vitanien Zeitung miliknya.
“Antillia, sarapan sudah siap,” sahut Virginia dengan suara lembut, namun cukup terdengar hingga lantai atas.
Langkah kaki Antillia terdengar menuruni tangga. Berbeda dengan biasanya yang riang dan bersemangat, kali ini langkah kakinya terdengar berat dan lambat. Gadis itu masuk ke ruang makan dengan wajah yang pucat. Rambut panjangnya yang biasanya tergerai rapi, kini terlihat sedikit berantakan. Mata hijaunya yang biasanya bercahaya, kini tampak sayu.
“Selamat pagi,” ucapnya pelan seraya duduk di kursinya.
Virginia memperhatikan putrinya dengan saksama. “Antillia, kau tampak tak sehat. Kau baik-baik saja bukan?” tanya sang ibu.
Antillia hanya mengangguk lemah lalu mengambil secangkir teh herbal hangat yang sudah dituangkan oleh ibunya. “Aku baik-baik saja, bu.”
Richard melipat surat kabarnya dan menatap putrinya dengan khawatir. “Kau yakin? Wajahmu itu pucat sekali.”
“Serius kok, ayah. Aku baik-baik saja,” jawabnya yang berusaha tersenyum meskipun terlihat dipaksakan.
Virginia duduk di samping Antillia lalu menyentuh dahi putrinya. “Kau tidak demam, tapi kau tampak tidak sehat. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
Antillia menggeleng pelan. Pikirnya, ia tidak mungkin menceritakan mimpi buruknya itu, tentang desa yang tergusur dan penduduk yang disiksa, tentang kedua orang tuanya yang ditangkap dan digiring dengan kejam. Tidak mungkin ia mengungkapkan sesuatu yang mungkin bisa membuat kedua orang tuanya khawatir.
“Sebenarnya, aku hanya bermimpi aneh semalam,” jawabnya dengan singkat tanpa menceritakan detailnya.
Virginia yang mendengarnya langsung menghela napas. “Huh, ibu kira kau kenapa-napa, rupanya hanya bermimpi buruk ya.”
Sang ibu lalu mengelus rambut putrinya itu dengan lembut. “Kadang kala itu hanya cara otak kita memproses ketakutan dan kekhawatiran yang kita rasakan,” lanjutnya.
“Ibumu benar,” sambung Richard sambil mengoleskan mentega pada roti panggangnya.
“Tapi, ngomong-ngomong soal itu, sepertinya kita semua punya alasan untuk khawatir,” lanjut sang ayah.
Keduanya langsung menatap Richard dengan penasaran.
“Maksud ayah?”
Richard menghela napas panjang sebelum memberitahukan sesuatu pada mereka.
“Huh... Aku mendapat kabar dari kantor kemarin sore. Tuan Ulysses menurunkan jabatanku dari staff administrasi menjadi office boy.”
“Apa?” Virginia terkesiap hingga hampir menjatuhkan cangkir tehnya. “Bagaimana mungkin? Kau ‘kan salah satu karyawan terbaik di perusahaan tambang Ludenberg.”
Richard mengangkat bahu. Ekspresinya antara kecewa, namun juga bingung.
“Aku juga tidak mengerti. Tidak ada penjelasan resmi, hanya surat keputusan singkat yang ditandatangani langsung oleh Tuan Ulysses sendiri,” jelas sang ayah.
“Tapi itu tidak adil,” protes sang ibu. “Kau sudah bekerja di perusahaan pertambangan itu selama belasan tahun bukan, dan kinerjamu sangat bagus di sana.”
“Apa ini ada hubungannya dengan inspeksi tambang batu hitam minggu lalu?” tanya Antillia. Gadis itu teringat cerita ayahnya tentang kunjungan pejabat kerajaan pusat minggu kemarin.
Richard menggelengkan kepala. “Aku tidak yakin. Tapi akhir-akhir ini, Tuan Ulysses selalu menyalahkanku atas segala hal. Laporan yang hilang, data yang keliru, bahkan pertemuan yang aku sendiri tidak tahu dilaksanakannya kapan.”
Ekspresi Virginia tampak sedikit geram mendengarnya. “Kenapa dia melakukan hal itu padamu?”
Sang ayah terdiam sejenak, seakan ragu untuk melanjutkan. Tapi dirinya tak punya alasan lain.
“Sebenarnya..., Tuan Ulysses itu merupakan seniorku saat aku masih bersekolah di Atlantia. Aku pernah satu sekolah dengannya,” jawabnya.
“Apa? Senior?” Antillia terkejut mendengarnya.
“Iya. Saat aku masih di kampung halamanku, aku bersekolah di tempat yang sama dengannya. Tapi entah kenapa dia selalu membully diriku. Entah karena dia lebih senior, lebih kaya, aku pun tidak tahu. Atau mungkin, dia iri karena aku sering mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Yah siapa tahu,” jelas sang ayah.
“Dan setelah lulus kuliah, aku pun memutuskan untuk pindah ke Archipelahia, ke Vitania ini untuk menjalani kehidupanku yang baru. Tapi ternyata aku masih bertemu dengannya di sini,” lanjutnya.
Virginia menggenggam tangan suaminya dengan erat. “Kenapa kau tidak pernah menceritakan ini sebelumnya padaku?”
“Itu masa lalu yang sebenarnya ingin kulupakan,” jawab Richard. “Tapi sayangnya, aku tetap bertemu dengannya di sini. Dan dia memiliki jabatan dan kuasa yang jauh lebih tinggi dariku.”
Mendengar hal itu terjadi pada ayahnya, Antillia mengepalkan tangannya di bawah meja. Amarahnya tampak memuncak. Bagaimana mungkin ayahnya yang merupakan pekerja keras yang baik hati masih diperlakukan tak adil seperti itu? Pikirnya.
Antillia pun bangkit dari kursinya dengan wajah memerah.
“Ini tak bisa dibiarkan. Ayah tenang saja. Suatu saat nanti aku pasti akan membalasnya.”
Melihat putrinya terbawa emosi, Richard berusaha menenangkannya.
“Tunggu dulu, Antillia. Janganlah bersikap seperti itu.”
“Tapi Ayah, dia berbuat tidak adil padamu,” Antillia bersikeras.
“Lantas kau ingin berbuat apa? Membalas kejahatan dengan kejahatan?”
Pertanyaan tegas sang ayah sontak membuat Antillia terdiam. Sang ayah pun mengusap-usap tangan putrinya.
“Dengarlah, Antillia. Kehidupan Hamu Kamina, umat manusia Kamina tak sesederhana itu. Kau tak bisa hanya melihat hitam di atas putih saja. Apalagi soal hal ini. Kau tak bisa membalas kejahatan seseorang dengan kejahatan yang sama. Itu hanya akan membuat semuanya menjadi lebih buruk,” jelas sang ayah.
“Ayah tahu, mungkin kau sedang kesal pada Tuan Ulysses karena memperlakukan ayah seperti ini. Tapi tidak perlu membalas dendam seperti itu. Ayah masih bisa bekerja walaupun jabatan ayah mungkin sedang di bawah sekarang. Tapi percayalah, semuanya pasti akan menjadi lebih baik,” lanjutnya.
Sang ayah berusaha menenangkan putrinya yang terbawa emosi itu. Tapi di sisi lain, hati Antillia tetap tak bisa dibohongi. Gadis itu masih merasa bahwa hal tersebut sungguh tak adil bagi ayahnya.
“Tapi-“
Belum selesai Antillia berucap, sang ibu menyela perkataannya.
“Tidak. Ayahmu benar, Antillia. Membalas kejahatan dengan kejahatan takkan menyelesaikan masalah. Justru hal itu akan menimbulkan masalah baru.”
Antillia terdiam seribu bahasa. Ia tidak mengerti kenapa kedua orang tuanya bisa begitu tenang menghadapi ketidakadilan itu. Sementara dalam hatinya, amarah pada Ulysses masih berkobar. Gadis itu masih tak bisa memaafkan apa yang telah sang bos lakukan pada ayahnya.
Namun seakan mengetahui pikiran putrinya yang masih diliputi amarah, Virginia pun mengalihkan perhatiannya.
“Daripada marah-marah seperti itu, bagaimana kalau kau pergi ke taman desa dan memetik beberapa bunga untuk hiasan rumah kita? Kebetulan sekarang ‘kan awal musim semi, bunga-bunga di sana pasti bermekaran dengan indah.”
Antillia ingin membantah, namun karena itu permintaan sang ibu, ia pun mengangguk. “Baiklah, bu.”
Gadis itu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah pintu. Namun sebelum keluar, dirinya sempat terdiam dan berujar pada sang ayah.
“Maafkan aku, ayah. Aku hanya ingin ayah diperlakukan dengan adil.”
Richard tersenyum lembut mendengarnya. “Ayah juga tahu, Antillia. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.”
Dengan berat hati, Antillia melangkah keluar dari rumahnya. Udara pagi Tolvanstadt yang biasanya menyegarkan, kini terasa berat di dadanya. Ia berjalan menyusuri jalan berbatu menuju taman desa. Pikirannya masih diliputi oleh amarah dan bingung.
Taman desa terletak di antara Desa Utara dan Desa Selatan, hanya berjarak beberapa menit dari rumahnya. Taman itu merupakan oase hijau yang dikelilingi oleh sejumlah pepohonan yang rindang, dengan hamparan rumput hijau dan beraneka ragam bunga yang bermekaran. Di musim semi seperti sekarang, taman tersebut tampak seperti lukisan dengan warna-warni bunga yang bermekaran. Ada mawar merah, anggrek ungu, bunga matahari, dan masih banyak lagi. Namun sayangnya bunga tulip biru khas Vitania Utara tampak tak terlihat sama sekali. Entah karena sudah dipetik orang-orang atau alasan yang lain.
Hari itu taman tampak sepi. Hanya ada beberapa burung kecil yang hinggap di dahan pohon dan berkicau riang seolah tak ada beban. Antillia berjalan perlahan di antara bunga-bunga, berusaha menenangkan pikirannya yang kalut karena pembicaraan tadi.
“Huh, sudahlah. Benar kata ayah, jangan terlalu dipikirkan,” ujarnya sambil menghela napas.
Gadis itu lalu berhenti di depan semak mawar merah yang sedang mekar dengan indahnya. Aroma manis dan lembut menguar dari kelopak-kelopak yang merekah sempurna. Antillia memetik satu tangkai mawar dengan hati-hati, menghindari durinya yang tajam.
Namun saat ia mendekatkan mawar itu ke hidungnya untuk mencium aromanya, bayangan dari mimpi buruknya semalam kembali terbesit di benaknya. Ia melihat mawar yang berlumuran darah, langit yang berubah warna menjadi merah, serta jeritan penduduk desa yang menggema. Antillia pun tersentak hingga menjatuhkan mawar yang ia pegang.
“Tidak, tidak. Itu hanya mimpi. Jangan terlalu dipikirkan, Antillia,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menepis bayangan mengerikan itu.
Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali fokus pada tujuannya. Dengan cekatan, ia memetik beberapa tangkai bunga lain, diantaranya bunga tulip, lavender, serta beberapa bunga krisan. Namun ia lebih banyak memetik bunga mawar kesukaannya dan sang ibu. Bunga-bunga itu akan menjadi hiasan yang cantik untuk rumahnya, dan mungkin bisa sedikit mencerahkan suasana hati kedua orang tuanya.
“Hmm... wangi sekali,”
Antillia kini bisa sedikit tersenyum dengan bunga-bunga itu. Ia pun hendak pulang ke rumah setelah bunga yang ia petik dirasa sudah cukup. Namun alih-alih langsung kembali ke rumah, kakinya seakan membawanya berjalan ke pantai yang terletak tak terlalu jauh dari taman. Pantai berpasir putih itu biasanya menjadi tempat beristirahat dan rekreasi gratis bagi penduduk sekitar.
Angin laut bertiup lembut, membawa aroma garam dan kesegaran yang khas. Antillia berjalan-jalan di bibir pantai. Untuk sesaat, ia melupakan kemarahannya, mimpi buruknya, dan segala kekhawatirannya. Yang ada hanyalah suara deburan ombak, kicauan burung laut, dan hembusan angin yang menenangkan.
Namun tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya. Seorang gadis berambut perak pendek tampak berlari mengejar sesuatu yang tertiup angin. Antillia menyipitkan matanya dan melihat bahwa itu adalah bunga tulip biru khas Vitania Utara yang dicari-cari banyak orang.
“Ahh... Bungaku...” teriak gadis itu, suaranya terdengar panik.
Tanpa pikir panjang, Antillia berlari mendekati gadis itu, berusaha menangkap bunga tulip yang terus tertiup angin itu. Dengan gerakan cepat, ia melompat dan berhasil menangkap tangkai bunga itu tepat sebelum terjatuh ke air laut.
“Yes, dapat.”
Namun sayangnya, angin pantai yang kencang meniup bunga itu dari genggamannya. Tulip biru itu melayang tinggi, terombang-ambing oleh angin sebelum akhirnya jatuh ke tengah laut dan hilang ditelan ombak.
“Ups...”
“Ahh..., bunganya hilang.”
Gadis berambut perak itu berhenti berlari dan hanya menatap ke arah laut dengan wajah sedih. Ia lalu duduk di atas pasir, menekuk lututnya, lalu menghela napas panjang.
Antillia tampak sedikit ragu sebelum mendekati gadis itu. “Hehe, Sorry. Aku tak bisa mendapatkannya.
Gadis berambut perak itu tak meresponsnya dan hanya termenung akibat kehilangan bunga itu. Antillia yang melihat kesedihannya berusaha menghiburnya dengan memberikan sepucuk mawar merah yang sempat ia petik tadi di taman.
“Eh tunggu. Aku juga punya bunga yang indah. Kamu ambil ini saja,” kata Antillia sambil memberikan bunganya. “Nah, ambil.”
“Tapi, ini ‘kan punyamu.”
“Sudahlah, No problem. Aku bisa mendapatkannya lagi di taman.”
Lewat pemberian Antillia, gadis berambut perak itu akhirnya bisa sedikit tersenyum.
“Terima kasih.”
“Your welcome,” jawab Antillia sambil sedikit menyelipkan bahasa Atlantia.
Mereka berdua terdiam sejenak, hanya suara deburan ombak yang mengisi keheningan di antara mereka. Antillia sebenarnya ingin sekali berkenalan dan berbincang lebih lama dengan gadis misterius ini, namun saat ia melihat ke atas langit, ia baru menyadari bahwa hari sudah siang. Dirinya harus kembali menyerahkan bunga-bunga yang ia petik pada ibunya di rumah.
“Ah iya, aku lupa. Aku harus pulang dulu sekarang. Bye,”
“Eh, tunggu... uh...”
Antillia tanpa basa-basi langsung meninggalkan gadis berambut perak itu sendirian di sana. Ia bergegas menuju rumahnya. Namun setelah beberapa saat, langkahnya tiba-tiba terhenti. Antillia kembali menoleh ke arah pantai, akan tetapi gadis berambut perak itu sudah tidak ada di sana.
“Dia sudah pergi rupanya.”
Ada sesuatu yang menarik dari gadis berambut perak itu, pikir Antillia. Sesuatu hal yang misterius namun sangat familiar di saat yang sama. Entah kenapa Antillia merasa bahwa gadis itu memiliki sesuatu hal yang sama dengannya.
“Gadis yang menarik,” gumamnya.
Ia pun kembali berjalan ke rumah. Namun di lubuk hatinya, ia masih penasaran dengan gadis misterius itu. Mungkin suatu saat nanti, dia akan kembali ke pantai itu untuk bertemu lagi dengannya.
***
