5. Terluka
"Saya mengerti kekhawatiran Bapak, Ibu," ucap Dokter Andi dengan suara tenang. "Setelah melakukan serangkaian tes dan pemeriksaan, saya bisa mengatakan bahwa kondisi anak Bapak Ibu baik-baik saja. Untungnya, lukanya tidak terlalu dalam. Untuk itu, tidak ada yang perlu Bapak dan Ibu khawatirkan," jelas dokter yang mengenakan jas putih panjang itu, diiringi dengan senyuman lembut yang seakan menghapus kecemasan yang sempat menggantung.
Mendengar penjelasan tersebut, barulah ketiganya bisa bernapas lega, seolah beban yang mengganjal di dada mereka sedikit terangkat. Namun, meski rasa cemas itu mereda, masih ada sedikit kekhawatiran yang terpancar di mata masing-masing, sebagai pertanda bahwa mereka belum sepenuhnya bisa mengusir bayang-bayang ketakutan yang sempat menghantui.
"Terima kasih banyak, Dok," ucap Nia dengan suara yang bergetar, matanya yang lelah tampak berkaca-kaca, seolah menahan emosi yang tak terungkapkan. "Bisa saya lihat anak saya, Dok?" tanyanya penuh harap, tatapannya penuh kekhawatiran meski ada sedikit rasa lega yang mulai muncul di wajahnya.
Dokter Andi mengangguk pelan, senyum tipis terlihat di wajahnya. "Silakan, kalau begitu saya pamit diri," ujarnya dengan lembut. "Kalau ada apa-apa, Bapak Ibu bisa panggil saya." Setelah itu, ia memberikan tanda sopan sebelum berjalan meninggalkan mereka, memberikan ruang bagi keluarga itu untuk bertemu dengan anak mereka.
Ketiganya pun segera memasuki ruangan, langkah mereka tergesa namun penuh hati-hati. Mereka menghampiri sosok Bagas yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Nia, Senjaya, dan anak perempuan mereka berdiri di samping ranjang, menatap sosok lemah itu dengan penuh kasih, hati mereka dipenuhi campuran rasa lega dan kekhawatiran.
"Bagas!" seru Nia dengan suara lembut, elusan tangannya mengusap perlahan rambut legam sang anak. Bulir bening air matanya kembali jatuh, membasahi kedua pelupuk matanya, seakan tak mampu menahan emosi yang tumpah begitu saja. Cinta dan kekhawatiran terjalin dalam setiap tetes air mata yang mengalir, mencerminkan betapa dalamnya rasa sayang yang dimilikinya untuk anaknya.
Senjaya berjalan perlahan mendekati istrinya, wajahnya penuh empati. Dengan lembut, ia mengelus lengan atas Nia, berusaha memberi kekuatan. "Sabar, Ma," ucapnya pelan, mencoba menenangkan istrinya yang masih terisak dalam kepedihan. Suara lembut itu seakan menjadi penopang di tengah kecemasan yang begitu besar, menyiratkan bahwa ia akan tetap ada di sampingnya.
"Ada apa dengan anak kita, Pak?" tanya Nia dengan suara terbata. Ia menggeleng pelan, merasa bingung dan terkejut. "Aku sangat mengenal Bagas. Dia tidak akan melakukan hal seperti ini, bahkan jika mendapat masalah besar sekalipun," lanjut Nia, suara penuh keyakinan meskipun kepanikan masih jelas terlihat di wajahnya. Hatinya penuh keraguan, tak percaya bahwa anaknya bisa melakukan hal tersebut.
Senjaya tak menjawab, bibirnya terkatup rapat, seolah kata-kata tak mampu keluar. Ia pun tahu bahwa pertanyaan istrinya itu tidak mudah untuk dijawab, dan mungkin tak ada jawaban yang bisa benar-benar melegakan hati mereka. Keheningan mengisi ruang di antara mereka, hanya suara detak jantung yang terdengar, menggambarkan betapa keduanya terperangkap dalam ketidakpastian yang tak terungkapkan.
Nia membalikkan badannya, menatap suaminya dengan sorot mata tajam yang penuh kecemasan. "Apa ini ada sangkut pautnya dengan Airah, Pak?" tanyanya dengan suara yang lebih tegas, seakan mencari kebenaran dalam tatapan mata Senjaya. Ia membidik mata suaminya dengan penuh harapan akan penjelasan, "Aku dengar mereka—" suara Nia tercekat, seolah kata-kata itu menahan beban yang berat, belum siap untuk diungkapkan.
"Ma!" tukas Senjaya cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran. "Tidak baik suudzon. Kita tunggu saja hingga Bagas siuman." Senjaya mencoba meredakan kegelisahan istrinya, berusaha menenangkan dengan kata-kata yang bijak meskipun hatinya sendiri penuh keraguan. Ia tahu bahwa saat ini yang mereka butuhkan adalah kesabaran dan keyakinan, meskipun bayang-bayang pertanyaan terus menghantui pikiran mereka.
"Jika benar perempuan itu yang menyakiti Bagas hingga membuatnya seperti ini..." Nia menggeleng lemah, suaranya hampir tidak terdengar, namun penuh dengan kepedihan. "Ibu tidak akan pernah memaafkannya." Kata-kata itu keluar dengan ketegasan yang terlontar begitu saja, meskipun ada rasa takut dan keraguan di baliknya. Nia membalikkan badannya, matanya kini terfokus pada sosok Bagas di atas ranjang rumah sakit. Tatapannya sendu, penuh kecemasan, namun tak sekalipun matanya berpaling dari anaknya, seolah berharap anaknya akan membuka mata dan kembali tersenyum seperti sebelumnya.
Waktu pun seakan berhenti di ruangan itu. Detik jam dinding terdengar begitu jelas, setiap dentingnya menambah cemas di hati ketiganya.
Tampak bibir pucat itu bergerak perlahan, bergumam memanggil nama seseorang, meski suaranya hampir tak terdengar. Wanita yang tidur dengan kepala bersandar pada lengan itu terbangun, terkejut mendengar gerakan tersebut.
"Mas!" seru Inayah, mengguncang pelan tubuh sang kakak.
"Airah!" Bagas terus bergumam, memanggil nama yang sama berulang kali. Suara itu terdengar lemah, namun penuh dengan rasa rindu dan keresahan.
Dalam mimpinya, Bagas melihat wanita yang ia rindukan itu tengah tersenyum, menatap ke arahnya dengan penuh kelembutan. Senyum itu, yang selalu berhasil membuat hatinya tenang, kini hadir kembali dalam bayangannya, seakan menjadi sumber kedamaian di tengah kekacauan yang ia alami.
"Airah!" Bagas memanggil dengan suara lembut, kelopak matanya yang masih tertutup perlahan mengeluarkan air mata. Tetesan itu jatuh, menandakan betapa dalam kerinduan yang ia rasakan terhadap sosok yang selalu hadir dalam pikirannya.
"Airah!" Lagi-lagi nama itu meluncur dari bibir Bagas, penuh harapan dan kerinduan. Namun, kelopak matanya masih saja tertutup rapat, seolah terperangkap dalam dunia mimpinya yang tak bisa ia tinggalkan.
"Pak! Bu!" Panggil Inayah, berulang kali, suaranya terdengar panik dan penuh kecemasan. Ia berusaha membangunkan orang tuanya dengan suara nyaringnya.
Mendengar nama mereka dipanggil berulang kali, kedua orang tua tersebut sontak terbangun dari pembaringan mereka. Mereka tercekat, terkejut oleh suara yang penuh kecemasan itu, dan segera berlari menuju sumber suara. Kecemasan yang sebelumnya terhimpun dalam hati mereka kini semakin memuncak.
"Bagas! Nak, ini Ibu," suara Nia terdengar lembut, namun penuh dengan kecemasan. Ia mengelus perlahan lengan atas Bagas, mencoba memberi kenyamanan meskipun anaknya masih terbaring tak sadarkan diri. Air matanya kembali menetes, membasahi pipinya dengan deras.
"Bagas!" Panggil Senjaya. "Bagas bangun, Nak!"
"Panggil dokter, Pak," titah Nia dengan suara tertekan, tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari sang anak. Bayangan ketakutan yang mendalam menyelimuti hatinya, membuat setiap detik terasa begitu berat. Matanya yang berkaca-kaca terus terpaku pada Bagas, berharap keajaiban datang.
"Airah!" Teriakan itu keluar dengan penuh kekuatan, dan mata tajam Bagas akhirnya terbuka lebar. Seketika, sang Ayah yang hendak menekan tombol untuk memanggil bantuan berhenti sejenak, terkejut mendengar suara anaknya.
