Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Perubahan

"Alhamdulillah," ucap Nia dengan suara penuh syukur, ia bergegas merengkuh Bagas ke dalam pelukan hangatnya. Dengan lembut, tangannya yang penuh kasih sayang mengelus punggung sang anak.

"Bu!" Bagas membalas pelukan Nia. Pelukan hangat seorang ibu membawanya ke dalam kehangatan dan rasa aman, seolah semua masalah dan kelelahan yang ia rasakan sebelumnya menguap begitu saja.

Meski Bagas tak bisa memungkiri, rasa sakit yang ia rasakan kini bukan lagi pada pergelangan tangannya, melainkan pada hatinya. Dada Bagas terasa sesak, seolah ada beban berat yang terus menindihnya, membuat setiap tarikan pasokan oksigen pun enggan masuk ke paru-parunya. Airah, nama wanita itu, terus menghantui pikirannya. Wajahnya, senyumnya, tawanya—semuanya masih begitu jelas terpatri dalam ingatannya, seperti bayangan yang tak bisa ia lepaskan.

"Maafkan Bagas, Bu, " katanya dengan suara bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia semakin erat memeluk tubuh sang ibu kala sakit itu lagi-lagi menyerang hatinya. Setidaknya dalam dekapan hangat ibunya ia bisa berbagi luka hatinya.

Memimpikan wanita yang sudah menjadi milik orang lain laksana sayat sembilu yang menggores luka batinnya semakin dalam.

Satu hal yang pasti, mampukah Bagas melupakan wanita yang telah memberinya begitu banyak kenangan indah? Hanya waktulah yang akan menjawab segalanya, memberikan ruang bagi hatinya untuk sembuh, atau bahkan mengukir luka baru yang tak pernah terhapus.

Sedangkan di sebuah kota yang jauh, di bawah langit yang sama, tampak sosok wanita yang sama tengah terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Di tangannya tergenggam seuntai tasbih, setiap butirnya berputar dengan penuh keikhlasan, bertasbih memuji Allah, seakan menyerahkan seluruh takdir hidupnya pada kehendak-Nya.

"Sudah siap, Airah?" tanya Adnan dengan seulas senyuman hangat yang selalu berhasil mencairkan suasana, seperti biasanya.

Airah mengangguk lemah, balas tersenyum ramah pada pria berperawakan atletis tersebut. "InsyaAllah, Mas," jawabnya dengan suara lembut, meskipun ada keraguan yang samar di balik senyumnya, seolah hatinya masih terjebak di antara harapan dan ketakutan yang belum sepenuhnya terungkap.

Brankar ABS itu pun didorong menuju salah satu ruang operasi. Airah menghela napas pelan saat tubuhnya sampai di depan kamar operasi, mencoba menenangkan dirinya meski perasaan cemas terus menggerogoti. Adnan kembali tersenyum lebar melihat hal tersebut, senyum yang seolah ingin memberi kekuatan. Pandangannya tak lekang dari wajah cemas wanita yang terbaring di atas brankar, seakan ingin memastikan bahwa dirinya akan selalu ada, mendampingi di setiap langkah penuh ketidakpastian yang dihadapi Airah.

"Jangan takut. Kamu pasti bisa melewati semua ini! Bismillah," ujar Adnan dengan keyakinan yang tulus, berusaha memberikan kekuatan lewat kata-kata yang sederhana namun penuh harapan. Matanya tetap menatap Airah dengan penuh perhatian, mencoba menghapus segala kecemasan yang menghantuinya, memberi semangat agar wanita itu bisa menghadapi segala yang akan datang dengan keberanian dan kepercayaan diri.

"Bismillah, doain Airah, Mas," ujar Airah dengan suara lirih, matanya sedikit terpejam, seolah memohon kekuatan yang lebih besar. Ia menggenggam tasbihnya lebih erat, berharap doa dan harapan dari kedua orang tuanya akan menjadi pelita di tengah kegelapan yang ia rasakan, memberikan ketenangan di hati yang penuh ketakutan.

"InsyaAllah, Mas selalu mendoakanmu," jawab Adnan dengan keyakinan yang dalam, suaranya penuh dengan ketulusan. Lagi-lagi ia tersenyum penuh kelembutan,

berusaha menyampaikan bahwa apapun yang terjadi, ia akan tetap ada untuknya, mendoakan agar segala hal berjalan dengan baik dan memberi kedamaian di hati Airah.

—--------

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, perlahan meninggalkan jejak-jejak kenangan yang semakin memudar di belakang. Setiap hari seperti kilatan cahaya yang melintas begitu cepat. Di tengah bisingnya hiruk-pikuk ibu kota, kehidupan berjalan dengan ritme yang tak pernah berhenti. Di sudut kota itu, tampak seorang pria yang berjalan dengan langkah lebar masuk ke sebuah tempat.

Bau alkohol, asap rokok langsung menyengat tercium saat pria itu melangkah masuk ke dalam. Diterangi hanya dengan lampu disko berbentuk bulat yang berkelip-kelip memutar di atas plafon, tampak puluhan orang yang tengah asik menari menikmati musik DJ yang diputar.

Bagas melangkah lebar membelah puluhan lautan manusia yang tengah asyik menari. Menaiki anak tangga. Berbelok, memasuki private room. Di depan sana sudah ada tiga orang sahabatnya yang tengah asyik menikmati jus mereka masing-masing.

Pria itu mengayunkan langkahnya, mendekat ke arah mereka, lalu duduk di double sofa.

"Lo yakin mau ikut balap motor itu lagi?"

Bagas menganggukkan kepalanya. Setelah lama ia vakum dari balap motor, kini ia kembali memutuskan untuk terjun ke dalam balapan liar itu.

"Lo udah memikirin matang-matang?"

Bagas menghembuskan napas pelan, mencoba menenangkan pikirannya. Ia menarik satu gelas, menuangkan jus jeruk ke dalamnya, lalu meneguknya hingga habis, meninggalkan gelas yang kosong sebagai tanda keputusan yang baru saja ia buat.

"I want to start my life over."

"Dengan menjadi berandalan lagi?” tukas pria berjaket denim, menatap tajam ke arah sahabatnya sambil menyilangkan tangan di dada.

Bagas tersenyum smirk. Ia berjalan pelan mendekat ke arah jendela bening di depannya. Menatap hampa langit yang membungkus malam. Tak ada sahutan apapun yang terdengar dalam ruangan kedap suara itu, kecuali suara detik jam yang berdetak pelan. Setiap tik-toknya terasa begitu jelas, seolah memperingatkan dirinya bahwa waktu akan terus berjalan maju ke depan, tak peduli apa yang telah terjadi pada dirinya di kehidupan sebelumnya.

"Jika menjadi seorang berandalan bisa membuat gue menjadi lebih baik," ujar Bagas, suaranya tegas namun penuh keyakinan. Ia membalikkan badan, menatap para sahabatnya dengan mata yang tajam dan senyum tipis yang tak sepenuhnya menunjukkan keceriaan, lebih kepada sebuah refleksi dari keputusan yang telah ia buat. "Kenapa nggak gue lakuin saja dari dulu?"

Dani, sahabatnya itu, menghela napas pelan. "Lakukan apapun yang lo mau, tapi perlu lo ingat bahwa setiap keputusan ada konsekuensinya," ujarnya dengan nada serius, menatap Bagas dalam-dalam. "Apa lo udah mikirin semuanya?"

Bagas mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah duduk kembali di tempatnya semula.

"Kalian nggak perlu khawatir," ujar Bagas dengan suara tenang, meskipun ada ketegangan yang tak terlihat di dalam dirinya. Ia mengeluarkan sebungkus nikotin dari saku jaketnya, lalu membuka kemasan itu dengan santai. Ketiga sahabatnya langsung terkejut, mata mereka terbelalak, melihat tindakan Bagas yang tiba-tiba itu.

"Sejak kapan lo merokok?" tanya Aziz heran, matanya penuh keingintahuan. Ia terkejut, karena setahunya Bagas sudah lama berhenti merokok, meninggalkan kebiasaan itu di masa lalu.

Lagi-lagi Bagas memilih bungkam. Sejak pria itu keluar dari rumah sakit, kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat.

Benar kata pepatah bijak, 'Hati yang terluka ibarat kaca yang pecah, meski di satukan kembali tetap terlihat goresan retaknya.’

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel