
Ringkasan
Pernah denger bahwa berbohong adalah awal dari malapetaka? Ya, karena ketika ego lebih tinggi bisa membuat sebuah hubungan yang awalnya indah mengubah segalanya. "Aku hamil, sudah satu bulan dan pria itu adalah Ayah dari bayi ini." Ketika kalimat itu keluar dari bibir wanita yang ia cintai adalah awal yang mengubah pria tersebut.
1. Keputusan
Di sudut kelas, Airah duduk diam. Matanya menatap keluar jendela, fokus pada awan gelap yang bergulung di langit. Tapi pikirannya tak ada di sana. Ia melayang jauh, memikirkan sesuatu yang terasa begitu rumit.
"Harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" Pikirnya sambil memainkan ujung pulpen di tangannya.
Wajah yang biasanya ceria kini terlihat muram. Bibirnya terkatup rapat, dan napas berat terus dihembuskannya. Ada banyak hal yang menghantui kepalanya, tapi satu hal yang jelas: dia harus segera mengambil keputusan.
Ponselnya bergetar di atas meja.
[ Aku sudah di luar ]
Pesan singkat itu cukup untuk membuyarkan lamunannya. Tanpa pikir panjang, Airah mulai membereskan buku-bukunya, memasukkannya ke dalam ransel. Ia tahu, apa yang terjadi hari ini takkan mudah.
Ketika keluar dari kelas, langkahnya terhenti. Di depan sana, sekelompok pria sedang bercanda di koridor. Salah satu dari mereka adalah Bagas. Jaket hitam yang dipakainya terlalu familiar, sama seperti senyuman yang sekarang menyapa orang-orang di sekitarnya.
Airah menelan ludah. Ia tahu harus segera pergi sebelum Bagas menyadarinya. Dengan langkah cepat, ia memilih jalan memutar, meskipun itu berarti harus melewati beberapa gedung fakultas. Cepak? Tentu saja dia harus melakukan hal yang sama setiap hari, menghindar.
Bukan tanpa alasan mengapa Airah melakukan hal tersebut. Bertemu dengan Bagas hanya akan menggoyahkan keputusan yang sudah Airah buat. Namun, takdir sepertinya sedang tak berpihak padanya.
“Airah!” Suara itu terdengar jelas di belakangnya.
Ia berpura-pura tak mendengar, mempercepat langkahnya. Tapi bagaimanapun ia mencoba, langkah kakinya tetap tak secepat keinginan untuk pergi. Dan benar saja, sebelum sempat keluar dari gerbang kampus, Bagas sudah mengejarnya. Tangannya mencekal pergelangan tangan Airah, hingga berhasil menghentikan langkahnya.
“Kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini selalu menghindar dari aku,” tanyanya, nadanya penuh kebingungan. “Aku punya salah sama kamu?”
Airah menunduk. Rasanya sulit sekali untuk bicara. Tapi ia tahu, ini adalah saatnya. “Maaf, Gas. Aku ingin kita putus.”
Bagas terdiam. Matanya membelalak, menatap Airah dengan tatapan tak percaya. “Putus? Kenapa? Aku nggak ngerti.”
Airah menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku mencintai orang lain.”
Bagas tertawa kecil, tapi nada suaranya terdengar pahit. “Aku nggak percaya. Kamu bukan orang seperti itu, Airah. Kamu nggak mungkin….” Bagas berulang kali menggelengkan kepalanya.
“Aku nggak mau bohong lagi, Gas. Aku serius. Aku mencintai laki-laki lain. Aku bermain serong di belakangmu.”
Percakapan itu terhenti ketika suara langkah berat mendekat. Seorang pria muncul dari arah gerbang kampus. Jaket kulitnya terlihat mencolok, dan sorot matanya tajam.
“Airah.” Panggil pria itu.
Bagas memutar badan, menatap pria itu dengan alis yang terangkat. “Siapa lo?” tanyanya dengan nada menantang.
Pria itu tersenyum kecil, lalu dengan santai ia berjalan ke arah mereka. Tangannya menarik Airah ke sisinya, merangkul bahunya. Membuat Airah menoleh menatap punggung tangan Adnan di bahunya.
“Aku calon suaminya,” jawab pria itu, tenang tapi tegas.
Bagas tertawa sinis. “Calon suami? Lo pikir gue bakal percaya omong kosong itu?” Tangannya terulur ingin menarik Airah dari tubuh Adnan, namun, ditepis kasar oleh pria tersebut, yang membuat amarah seketika membuncah dalam diri Bagas.
Pria itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia mengangkat tangan kiri Airah, memperlihatkan cincin di jari manisnya. “Minggu depan, kami akan menikah. Jadi lebih baik kamu berhenti ganggu dia.”
Bagas terdiam. Wajahnya berubah. Matanya menatap cincin itu lama, seolah-olah mencoba mencari bukti bahwa ini hanyalah kebohongan. Tapi nyatanya, ia tak menemukan apa pun untuk menyangkal.
Adnan, pria itu, menarik tangan Airah dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Airah sendiri tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya membiarkan dirinya mengikuti langkah Adnan, sementara hati kecilnya terasa semakin kacau.
—--------
Puluhan pesan dan panggilan dari Bagas terus masuk ke ponsel Airah, tapi tak satu pun yang ia balas. Keputusannya sudah bulat. Hubungan ini harus diakhiri. Terlalu banyak hal yang salah dan tak seharusnya terjadi.
Namun, hatinya tak berhenti berdebat dengan logika. Rasanya seperti ada perang batin yang terus berlangsung. Untuk menenangkan diri, Airah mengambil wudhu. Air dingin yang membasuh wajahnya sedikit membantu mengurai emosi yang menumpuk. Ia lalu membuka mushaf yang ada di meja, berharap menemukan ketenangan dalam ayat-ayat suci.
Jemarinya perlahan membuka halaman demi halaman, hingga tatapannya berhenti pada sebuah ayat yang terasa begitu menusuk.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi mukena yang ia kenakan. Isaknya pecah, menggema di keheningan malam. Kalimat suci itu seakan berbicara langsung padanya, menyentuh luka terdalam yang tak pernah ia akui, bahkan pada dirinya sendiri.
"Apakah ini cara-Mu menegurku?" bisiknya lirih di antara tangis. Dosa-dosa yang selama ini ia pendam seperti kilat berkelebat di benaknya, menambah beban di dadanya. Dibalik sesaknya rasa bersalah, ia juga merasakan kehangatan... seakan Allah masih memberinya kesempatan untuk kembali.
Suara notifikasi dari ponsel mengalihkan perhatiannya. Ia mencoba mengabaikannya, tapi pesan itu datang terus-menerus, seolah memaksa untuk dibaca.
[Aku ada di luar.]
[Airah, aku nggak akan pergi sebelum kamu keluar.]
[Jangan pernah berpikir kamu bisa mengakhiri ini sendirian.]
Ketukan pintu terdengar tiba-tiba, membuatnya terlonjak. Dengan napas yang masih berat, Airah meletakkan ponselnya dan membuka pintu.
“Belum tidur, Nak?” tanya sang ibu, berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut.
Airah memaksakan senyum. “Belum, Bu.”
Ibunya menghela napas panjang. “Apa nggak sebaiknya kamu temui dia? Kalau terus seperti ini, kamu sendiri yang capek, Nak.”
Airah menggeleng. “Nggak ada lagi yang perlu dibahas, Bu.”
Sang ibu meraih kedua tangan Airah, menggenggamnya erat. “Ibu tahu ini berat untukmu. Ibu—”
“Bu...” potong Airah, suaranya bergetar. Ia menarik tangan ibunya pelan, lalu menghapus air mata yang jatuh di pipi wanita yang telah melahirkannya itu.
“Aku akan temui dia,” ucap Airah akhirnya.
Sang ibu mengangguk, tersenyum kecil. “Bicaralah baik-baik, Nak. Selesaikan dengan baik-baik.”
Airah mengangguk. Ia mengganti mukena dengan jilbab, lalu keluar rumah dengan langkah berat.
Di luar, ia melihat Bagas berdiri di samping mobilnya. Wajah pria itu terlihat lelah, tapi matanya langsung menyala begitu melihat Airah mendekat.
“Airah!” panggilnya. Tanpa ragu, Bagas melangkah cepat ke arahnya, lalu menarik Airah ke dalam pelukan.
“Aku rindu,” bisiknya lirih.
Airah berusaha menahan gejolak yang terasa seperti badai di hatinya. Ia juga rindu. Tapi ia tahu, pelukan ini mungkin yang terakhir.
Bagas melepaskan pelukannya dan menatap Airah dalam. Mata pria itu sembab, seperti habis menangis.
“Aku punya sesuatu untukmu,” katanya, lalu berlari ke arah mobilnya.
Tak lama, ia kembali dengan sebuah kotak kecil di tangannya. Wajahnya tampak lebih cerah.
“Besok anniversary kita yang keempat. Aku nggak mau melewatkan momen ini, Ra. Aku—”
“Bagas...” Airah memotong kalimatnya. Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Mari akhiri semuanya.”
