4. Frustasi
Di sebuah kamar yang gelap dan berantakan, tampak seorang pria yang duduk terdiam, punggungnya bersandar lemah pada tepi ranjang. Sekelilingnya dipenuhi botol-botol alkohol yang berserakan, sebagian telah kosong, sementara satu botol terakhir masih tersisa, tergenggam erat di tangannya. Bau alkohol yang menusuk dan asap rokok yang membekas di udara, berpadu dengan aroma keputusasaan yang begitu pekat, menciptakan atmosfer yang menyedihkan. Setiap sudut ruangan seolah menyaksikan kehancurannya, meresapi kesendirian yang tak bisa lagi disembunyikan.
Matanya yang bengkak dan merah menatap kosong ke dinding yang tak bergerak, seolah dunia di sekitarnya telah berhenti. Kini, segala harapan dan impian yang pernah ia bangun runtuh dalam sekejap, hancur bersama dengan pengkhianatan wanita yang ia cintai. Hamil? Bibir tipis itu berdesis penuh kebencian, seakan setiap kata itu hanya semakin mengiris luka di dalam hatinya. Setiap tegukan yang ia telan tak lagi memberi ketenangan, hanya semakin memperdalam rasa frustasi dan keputusasaannya. Bagas terjebak dengan pikirannya sendiri, di mana alkohol dan rokok menjadi satu-satunya pelarian dari rasa sakit hatinya.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah juga, mengalir deras di pipinya yang memerah, seolah tak mampu lagi menahan derita yang menggerogoti hati. Botol alkohol yang ia pegang semakin erat digenggam, seakan itu satu-satunya hal yang dapat memberikan rasa kontrol atas kekacauan dalam dirinya.
“Brengsek!” Hingga amarahnya berhasil ia luapkan dengan melempar botol tersebut ke arah dinding. Tangannya yang kasar bergerak meraih pecahan botol, menatapnya hampa dengan seulas senyum miringnya, alam bawah sadarnya berputar pada pengkhianatan yang telah dilakukan wanita yang ia cintai. Dia tidak sanggup jika mengingat bagaimana wanita itu bisa mengandung anak dari pria lain.
"Arrrgggggg!" Ia berteriak lantang, suara frustasinya menggema di ruang yang sunyi, seolah melepaskan seluruh amarah yang terpendam. Cacian dan kata-kata kasar terus meluncur dari bibirnya, keluar begitu saja tanpa kendali, mencerminkan betapa dalamnya rasa sakit yang menghimpit dirinya.
“Bagas!” Terdengar panggilan diiringi ketukan dari luar pintu kamar.
“Bagas, buka pintunya!”
“Bagas, Ibu mohon buka pintunya, Nak.”
“Mas! Buka pintunya.”
Telinga Bagas seakan tuli, tak lagi peduli pada seruan namanya yang menggema. Ia terbenam dalam jurang keheningan, mencari sesuatu—apapun itu—yang bisa membantunya melarikan diri. Ia ingin melupakan segalanya, menenangkan hatinya yang koyak oleh luka yang tak kunjung sembuh.
Dari balik pintu kamar itu, baik ayah, ibu maupun saudara perempuannya dapat mendengar suara tawa seseorang. Bukan, bukan tawa bahagia tapi tawa frustasi mendekati gila.
“Pak! Ambilkan kunci cadangan!” perintah pria paruh baya itu dengan nada tegas kepada pelayannya.
Tak butuh waktu lama, pria yang menerima perintah itu segera kembali dengan membawa benda yang diminta oleh majikannya.
Begitu pintu terbuka, betapa terkejutnya mereka melihat kamar tersebut, benda-benda yang biasanya tersusun rapi kini berhamburan dan berserakan di mana-mana. Kamar itu kini tampak seperti medan perang yang ditinggalkan tanpa perawatan. Botol-botol serta puntung rokok ada dimana-mana, sungguh pemandangan yang menyakitkan mata. Se-frustasi apa sebenarnya pria itu?
“Bagas!”
Mata Ibu paruh baya itu seketika membulat, bergegas ia mendekat ke arah pria yang tengah bersandar di samping ranjang. Sontak saja wajahnya tiba-tiba memucat, seolah-olah semua darah mengalir keluar dari wajahnya dalam sekejap. Mulutnya terbuka sedikit, namun tidak ada suara yang mampu ia ucapkan. Udara di sekitarnya mendadak sulit dihirup.
Tangan lembutnya bergetar saat menyentuh wajah sang anak dengan penuh kehati-hatian. "Bagas..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi pipinya, seakan mencerminkan kepedihan yang tak mampu terlukis dengan kata-kata.
“Pak!” Jeritan Nia—ibu Bagas—menggema memenuhi ruangan, membuat semua orang yang berada di sekitar seketika panik. Mereka lekas berlari mendekat.
Mereka semua tak kalah syok, mendadak terdiam membeku di tempat.
Senjaya—ayah Bagas—bergegas menghampiri putranya. Dengan penuh kepanikan, ia melingkarkan tangannya di punggung Bagas, mencoba memberikan penopang yang dibutuhkan. Wajahnya dipenuhi kecemasan mendalam yang sulit disembunyikan. “Cepat siapkan mobil! Kita ke rumah sakit sekarang!” perintahnya tegas, sembari mendongak menatap pelayan yang masih terpaku dengan wajah penuh keterkejutan, memandang ke arah Bagas tanpa bergerak.
“Apa kamu mendengarku?” suara Senjaya meninggi, memecah keheningan yang mencekam. Tatapannya tajam, mencoba menyadarkan pelayan yang masih terpaku dalam keterkejutan.
“B–baik, Pak.” Pria tua itu segera bergegas, mengikuti perintah sang Tuan tanpa banyak kata. Tak lama setelah itu, mobil yang mereka tumpangi melaju cepat, dan akhirnya tiba di salah satu rumah sakit, di mana suasana cemas semakin mengintensifkan ketegangan di antara mereka.
Rasa takut, cemas dan khawatir menghantui kedua orang tua serta anak perempuan mereka. Menunggu dengan cemas informasi dari dokter yang menangani anak laki-laki mereka. Waktu seolah-olah berhenti, setiap detik terasa seperti selamanya. Mata ketiganya terus menatap pintu yang tertutup rapat, berharap ada kabar baik yang segera datang.
Senjaya menggenggam lembut tangan sang istri, merasakan getaran ketakutan yang begitu jelas. Jari-jemari Nia terasa dingin dan gemetaran, seolah-olah menahan beban kecemasan yang luar biasa. Senjaya tahu betul, bahwa saat ini istrinya diliputi rasa takut yang mendalam, sama seperti dirinya. Mereka berdua, terperangkap dalam ketidakpastian, saling memberi kekuatan melalui genggaman tangan yang semakin erat.
Air mata Nia lagi-lagi luruh berjatuhan, mengaliri pipinya. Setiap suara langkah kaki yang mendekat membuat jantungnya berdegup kencang, berharap itu adalah dokter yang membawa kabar baik tentang anak mereka.
“Insya Allah, semuanya baik-baik saja, Ma.” Nia menoleh mendapati wajah teduh suaminya. Meskipun Senjaya berusaha menyembunyikan kecemasannya. Namun, wajah tampan meski telah dimakan usia itu tak bisa berbohong dengan kerutan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.
Nia mengangguk. Di dalam hati mereka, tak hentinya doa-doa keselamatan terus terucap, memohon kepada sang Maha Pemberi Keselamatan, Allah Azza Wa Jalla. Mereka saling menguatkan, meskipun ketakutan begitu nyata dan menghantui setiap pikiran masing-masing.
Lebih dari setengah jam menunggu dengan cemas, akhirnya pintu bercat coklat susu di depan mereka terbuka juga. Tiga orang yang sebelumnya duduk gelisah di kursi panjang depan ruangan itu segera berdiri dan menghampiri sosok pria berbadan gempal yang keluar, menandakan bahwa akhirnya ada kabar yang datang. Ketegangan terasa memuncak, setiap langkah pria itu seakan membawa harapan baru yang penuh ketidakpastian.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir kedua orang tua itu, wajah mereka penuh kecemasan yang tak terbendung. Suara mereka bergetar, menunggu jawaban yang akan menentukan arah harapan mereka. Dalam keheningan itu, setiap detik terasa begitu berat, menunggu kepastian yang datang dari sosok dokter yang berdiri di depan mereka.
