Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3.Maaf

Air mata Airah mengalir deras di pipinya, mengingat betapa dalamnya amarah dan kekecewaan pria yang namanya masih tertanam erat dalam lubuk hatinya. Ia berusaha menahan isak tangis, namun rasa bersalah yang menggerogoti hatinya terlalu kuat untuk dibiarkan begitu saja.

"Airah, kamu baik-baik saja, Nak?" Sintia bergegas menghampiri sang anak, wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat melihat Airah yang tengah terisak.

Airah menggeleng. Menenggelamkan kepalanya dalam dekapan wanita yang sudah melahirkannya itu. Menumpahkan segala kepedihan yang tengah ia rasakan. Ada rasa sesak yang tengah bersarang dalam sanubari yang ingin dia keluarkan dalam dekapan hangat Ibunya.

"Yang sabar, ya Nak, InsyaAllah ini adalah jalan terbaik untuk kalian."

Oh Allah, tidak bisakah dia mengulang waktu? Dia ingin bersama dengan pria itu, pria yang saat ini masih sangat dia cintai.

Sintia merenggangkan pelukannya. Menangkup kedua pipi sang buah hati sembari menghapus air mata pada pipi Airah dengan ibu jarinya.

"Apa kamu sudah mengambil cuti untuk semester nanti?”

Airah mengangguk pelan.

Meskipun tidak sepenuhnya mengambil cuti, dia masih bisa melanjutkan kuliah dengan alasan tertentu yang diterima para dosen. Mereka mengizinkannya untuk mengikuti kuliah secara daring. Mungkin terdengar sulit, tetapi bagi Airah, pendidikan adalah prioritas utama. Lagipula, kampusnya sudah menyediakan program kuliah sistem daring, sehingga mendapatkan persetujuan dari dosen bukanlah hal yang terlalu sulit.

"Ya sudah, sekarang mulai packing. InsyaAllah, besok kita berangkat," ujar Sintia dengan senyum lembut seorang ibu.

Airah mengangguk, meskipun hatinya masih diliputi perasaan berat. Dia mulai mengemas barang-barang yang diperlukan, namun pikirannya terus terbang kembali pada kenangan yang belum bisa ia lepaskan. Airah menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum melanjutkan packing-nya. Setiap langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya, seolah-olah setiap barang yang ia kemas membawa beban yang lebih besar daripada sekadar barang fisik.

Hari yang telah dijanjikan pun akhirnya tiba. Dengan perlahan, Airah menyelesaikan persiapannya. Ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang masih dihiasi jejak-jejak kelelahan, namun juga ada tekad yang terpancar dari matanya. Semua barang yang telah ia kemas sudah teratur rapi, meskipun hatinya dipenuhi rasa cemas dan ragu, ia tahu bahwa saatnya untuk melangkah sudah tiba. Dengan satu tarikan napas dalam, ia mengenakan jaketnya, siap untuk menghadapi perjalanan yang telah menantinya.

Di ruang tunggu bandara, Adnan berdiri,

matanya sesekali melirik ke arah pintu kedatangan, menunggu kedatangan Airah beserta orang tuanya.

Adnan tersenyum lebar dan melambaikan tangan saat melihat orang yang ia tunggu akhirnya tiba.

Airah tampak acuh tak acuh dengan obrolan kedua orang tuanya, kepalanya sesekali menoleh ke belakang seakan ada sesuatu yang tengah mengganggunya.

“Mari!”

Airah mengulas senyum paksa, menarik langka beratnya, mengikuti langkah ke tiga orang di depannya.

Airah berdiri di tepi jendela bandara, menatap hampa ke arah badan pesawat yang akan membawanya jauh, beberapa menit sebelum pesawat itu lepas landas. Matanya kosong, seakan seluruh dunia di sekitarnya menghilang, hanya menyisakan perasaan berat yang menggantung di dadanya. Setiap detik terasa begitu panjang, dan meskipun ia tahu perjalanan ini adalah bagian dari takdir, hatinya masih terikat pada segala kenangan yang belum bisa ia lepaskan.

"Airah!" Panggilan itu membuyarkan lamunannya. Dengan langkah cepat, ia bergegas menghampiri sang ibu yang telah menunggunya di depan garbarata pesawat. Airah menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum memasuki pesawat, meskipun hatinya masih dipenuhi kegelisahan yang sulit dijelaskan.

Dengan mengucap basmalah, ia melangkahkan kakinya, setiap langkahnya penuh dengan doa dan harapan. Dalam hatinya, ia memohon agar perjalanan ini diberkahi, dan segala yang ia hadapi nantinya dipermudah.

Airah menoleh saat merasakan sentuhan lembut pada punggung tangannya.

"Ibu yakin kamu pasti bisa," ucap Sintia pelan, senyumnya merekah meski matanya berkaca-kaca, menahan rasa sedih yang tak bisa dijelaskan.” Ibu akan selalu ada di sampingmu apapun yang terjadi."

Airah diam, membalas senyuman ibunya dengan lembut, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. Ia menolehkan kembali kepalanya ke arah jendela pesawat, menatap hamparan awan putih yang perlahan melintasi. Di balik kesunyian, pikirannya berkecamuk, namun entah mengapa, ada sedikit ketenangan yang ia rasakan saat memandang ke luar, seolah langit dan awan itu memberikan ruang untuknya berpikir dan meresapi segala yang telah terjadi.

Namun ketenangan itu tak berangsur lama ketika wajah seseorang tiba-tiba saja terlintas dalam pelupuk matanya.

"Bagas!" Ia berucap lirih, suara yang hampir tenggelam dalam isak tangis. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah ruah, membasahi pipinya, seperti aliran sungai yang tak bisa dihentikan. Rasa sakit yang begitu mendalam kembali menghantam hatinya, seolah kenangan tentang pria itu kembali mencengkeramnya, membawa kepedihan yang tak kunjung padam.

"Airah, kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Sintia cemas, melihat wajah sang anak yang kini pucat, matanya sembab akibat air mata yang tak berhenti keluar dari lakrimal-nya. Sintia meraih tangan Airah dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. "Yang mana yang sakit, Nak?" tanyanya lagi dengan suara yang dipenuhi kekhawatiran.

Airah menggelengkan kepala, suaranya tercekat di tenggorokan, tak mampu mengungkapkan rasa yang begitu dalam. Dengan gemetar, ia menunjuk dadanya, tempat di mana rasa sakit itu menghujam, seolah-olah ada sesuatu yang robek di dalam sana. "Rasanya sakit, Bu….Di sini,” ujar Airah, suaranya hampir tak terdengar.

Sintia ikut merasakan sakit yang dirasakan Airah, hatinya seolah hancur melihat anaknya dalam keadaan seperti itu. Pelan, ia mendekap tubuh sang anak, memberikan kehangatan dan rasa aman yang ia bisa. "Ibu di sini, Nak," bisiknya lembut, memeluknya erat seakan ingin menghapus segala rasa sakit yang menggerogoti hati Airah. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Ibu akan selalu ada untukmu."

Airah menganggukkan kepala dalam pelukan ibunya, dan perlahan rasa sakit yang mengganggunya mulai mereda. Ketegangan di dadanya digantikan dengan rasa nyaman dan hangat dari pelukan sang ibu. Suara detak jantung ibunya yang lembut membuatnya merasa aman, seakan semua beban yang ia rasakan seketika terasa lebih ringan.

Sintia melepaskan pelukannya, lalu dengan lembut menghapus jejak air mata di pipi Airah. "Kita sama-sama, berdoa, ya?" ucapnya dengan suara penuh kasih sayang. "Memohon pertolongan pada Allah agar diberikan kemudahan dan ketenangan hati. Ibu yakin, dengan doa, semuanya akan baik-baik saja."

Airah menganggukkan kepala, meskipun masih ada sisa-sisa kesedihan yang terasa di dalam hatinya. Namun, kata-kata ibunya memberi sedikit ketenangan. Ia merasakan kedamaian yang datang bersama doa, berharap agar Allah memberikan kekuatan untuk menjalani semua yang sedang ia hadapi.

"Bagas, maafkan aku!" Airah berbisik dalam hati, seakan mengharap kata-kata itu bisa menyampaikan semua penyesalan yang ia rasakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel