2. Kejujuran Yang Menyakitkan
Pagi menjelang siang, ketika sinar matahari mulai menembus celah-celah dedaunan, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di atas tanah, mengiringi daun-daun tabebuya yang mulai berguguran. Seorang wanita tampak tengah duduk pada tepi jendela, tubuhnya ia sandarkan pada kusen dingin. Rambutnya yang panjang bergelombang terurai sedikit berantakan, seolah mencerminkan kekacauan dalam pikirannya.
Perdebatannya dengan sang mantan pujaan hati tadi malam membuat rasa bersalah bersemayam dalam dadanya.
"Jika kamu ingin mengakhiri hubungan ini, silahkan kamu akhiri sendiri,” ucap tegas Bagas malam itu. Wajah putihnya terlihat memerah, urat-urat di lehernya menegang seolah siap meledak. “Tapi ingat! Aku tidak akan pernah mau mengakhiri hubungan ini apa pun yang terjadi!”
"Bahkan jika aku sudah menikah? Bahkan jika aku sudah menjadi istri orang lain, Gas?" Kilat air mata yang ia tahan tadi, akhirnya tumpah juga.
"Arrrggg!" Bagas meremas rambutnya dengan frustasi. Ia merasa kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa, seolah-olah emosinya kini menguasai dirinya sepenuhnya.
"Beri aku alasan kenapa kamu ingin menikah dengan pria itu?" tanya Bagas dengan nada penuh amarah, meskipun setiap kata terasa begitu sakit untuk diucapkan. Bagas menelan salivanya dengan paksa, berusaha menahan emosi yang memuncak. "Aku bahkan tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Ayah dan Ibumu. Jangan buat aku semakin gila dengan keputusan tiba-tibamu ini." Tatapan mata Bagas penuh harapan yang hampir putus asa, seolah meminta jawaban yang tak kunjung datang. Tangan kekarnya menggenggam erat tangan kekasihnya, seakan takut tangan lembut itu akan terlepas dari genggamannya.
"Kamu sudah berjanji akan menungguku," kata Bagas dengan tatapan sendu kepada sang pujaan hati. Air mata kembali mengalir deras dari matanya, menambah kesan rapuh pada wajah tampan yang kini tampak berantakan. "Bahkan jika perlu, malam ini juga aku akan melamarmu. Kita menikah, sayang," lanjutnya, mencoba tersenyum meskipun hatinya dipenuhi gelombang rasa sakit yang terus-menerus menghantam. Satu hal yang pasti, dia sangat takut kehilangan wanita yang kini ada di depannya ini.
"Tidak bisa, Bagas!" jawab Airah dengan tegas, namun suaranya serak, seiring gelengan kepalanya yang perlahan. Ia menunduk, menatap sandal jelly-nya yang basah oleh air mata yang tak terbendung. Airah tak berani lagi menatap mata Bagas, karena setiap kali bertemu pandang dengan pria itu, hatinya terasa seperti dicabik-cabik, dihantam oleh rasa sakit yang tak bisa diungkapkan.
"Kalau begitu, aku juga tidak bisa melepasmu," ujar Bagas dengan tegas, melepaskan genggaman tangannya dari tangan kekasihnya. "Kalau perlu, aku akan menculikmu malam ini juga!" Matanya berkilat penuh dengan amarah yang membara, diselimuti kepedihan yang begitu mendalam. "Persetan, jika aku harus masuk penjara sekalipun."
"Aku mohon, mengertilah, Bagas!" Suaranya bergetar, namun dipenuhi dengan keteguhan yang tak terbantahkan, seolah memohon agar kekasihnya bisa memahami penderitaan yang ia rasakan.
"Kamulah yang harus mengerti, Airah!" teriak Bagas dengan suara yang menggema, menggetarkan suasana di sekitar mereka. Untuk pertama kalinya, ia meninggikan suaranya, menandakan betapa hebatnya emosi yang sedang meluap. Mata yang biasanya menatap Airah penuh kelembutan kini menyala penuh kemarahan, seolah-olah mencerminkan semua perasaan yang tak terungkapkan dalam dirinya.
"Jika aku memberitahumu alasannya, apakah kamu akan mengakhiri hubungan ini?" tanyanya dengan pasrah, seolah sudah menyerah pada segala kemungkinan yang bisa terjadi.
"TIDAK!" tegasnya sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak akan pernah melakukannya." Bagas mondar-mandir, tampak frustasi, dan sesekali ia meremas rambutnya dengan kuat, seolah berusaha menahan amarah dan kebingungannya.
Airah meneguk paksa salivanya, jantungnya berdebar kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Dengan tangan yang bergetar, ia menarik tangan Bagas dan meletakkannya di perutnya yang masih terlihat rata, seolah ingin menunjukkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.
"Ada sosok yang butuh Ayah di sini," kata Airah, menatap Bagas dengan intens. Namun, di dalam hatinya, ada kata maaf yang begitu besar namun tak mampu terucap dari bibirnya. Airah merasa seperti seorang aktris yang tengah memainkan peran dalam drama yang penuh dengan kepalsuan, terperangkap dalam dilema yang tak bisa ia ungkapkan secara jujur.
"Apa maksudmu?" tanya Bagas, keningnya berkerut seiring dengan rasa bingung yang muncul. Ia membalas tatapan Airah dengan intensitas yang tak kalah tajam, seakan berusaha mencari jawaban di balik mata wanita itu.
"Aku hamil dan pria itu adalah Ayah dari bayi ini," kata Airah dengan suara serak, seakan setiap kata yang keluar dari bibirnya membawa beban yang sangat berat.
Bagas menepis tangan Airah dengan kasar, lalu terkekeh geli, seakan sulit menerima kenyataan yang baru saja didengarnya. "Apa kamu pikir aku akan percaya?" ujarnya, matanya penuh keraguan.
"Apa kamu ingin bukti? Aku punya bukti untuk itu?"
Bagas tertawa hambar, sesekali menjambak rambutnya dengan frustasi, membuat Airah merasa iba sekaligus takut. Ketegangan yang tercipta di antara mereka semakin terasa, seolah tak ada jalan keluar dari perasaan yang membebani keduanya.
"Bagas," ucap Airah dengan suara gemetar, merasa ketakutan saat pria itu memegang kedua bahunya dengan kuat. Bagas menatapnya tajam, membuatnya meringis kesakitan saat remasan kuat itu menghimpit bahunya.
"Bagas, kamu menyakitiku," suaranya terdengar parau, berusaha melepaskan tangan Bagas yang mencengkeram bahunya. Namun, usahanya sia-sia; pria itu terlalu kuat mencengkramnya.
Rahang pria itu terkatup rapat, matanya yang tajam memancarkan rasa sakit hati yang mendalam. Dengan suara yang serak, ia berkata, "Rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan, Airah," seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah teriakan dari luka yang terus mengoyak hatinya.
"Bagas," rintih Airah, sambil menatap mata Bagas dengan tatapan sendu, seolah-olah bayangan rasa bersalah menggantung berat di setiap pandangannya, tak mampu dilepaskan dari dalam hatinya.
"Kenapa? Kenapa kau menodainya, hah?" bentak Bagas, suaranya penuh amarah. Emosi yang selama ini ia tahan akhirnya meledak, menguasai dirinya seperti gelombang yang tak terkendali.
Airah terisak. Mulutnya keluh hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Dia tahu, dia salah, tapi wanita itu juga tak bisa melakukan apa pun untuk saat ini.
"LEPASKAN TANGANMU DARINYA!" Airah menoleh saat mendengar suara seseorang, namun pria di depannya tetap tidak bergerak. Bagas masih menatapnya dengan tatapan penuh kemarahan dan kesedihan yang begitu mendalam, seolah kata-kata itu tak mampu meruntuhkan dinding emosi yang menghalangi dirinya.
Adnan dengan cepat melepas cengkraman tangan Bagas di bahu Airah, membuat wanita itu menghela napas lega, seolah bebannya akhirnya sedikit terangkat setelah sejenak terperangkap dalam ketegangan yang memuncak.
"Kamu tidak apa-apa, Ra?" tanya Adnan dengan khawatir, memegang bahu wanita itu dengan lembut.
Hanya anggukan lemah yang mampu Airah berikan.
"Pasangan yang serasi," ujar Bagas dengan nada sinis. Baik Airah maupun Adnan serentak menoleh, mendapati Bagas yang tengah memperhatikan mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
Bagas tersenyum miris sembari menyeka air matanya. "Semoga pernikahan kalian lancar. Dan Airah…" Ia menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit untuk diartikan, "Semoga persalinannya juga lancar," tambahnya, dengan suara yang tersekat dan hati yang tampak penuh luka.
"Bagas?" Adnan menghentikan langkahnya, tangan yang hampir terulur terhenti di udara. Ia menggelengkan kepala perlahan."Biarkan saja. Dia butuh waktu untuk menerima semua ini.”
