TIANG LISTRIK (revisi bab 3)
"apa wajahmu masih sakit?" tanya si pria tinggi, Aluna sampai mendongak keatas untuk menatap pria itu, rautnya nampak kesal setelah tau Bastian yang menghentikan langkahnya.
"Eughh lepaskan ..!!!" Mencoba menarik tangan di cengkraman kuat.
"Hey, tunggu dulu. Ayo kita ke rumah sakit obati lebam di pipimu" Tetap menahan pergelangan tangan Aluna.
"Gak usah sok-sokan perhatian kak, uuughh lepasin!"
"Ayolah, aku sangat bersalah jika tak mengobatimu. Atau aku panggilkan ambulans saja?"
Di pikirannya untuk apa sampai memanggil ambulans segala, apa mungkin itu alibi untuk menyakitinya lagi, gadis itu menunjukkan ketakutan pada pria yang masih mencengkeram erat lengannya.
Atau mungkin itu adalah ejekan halus pada dirinya yang masih kekanak-kanakan.
"Eugh..! lepaskan. Minggir" Aluna berhasil menarik lepas tangan di cengkramannya, sedikit linu di pergelangan karena cengkraman itu sangat kuat.
gegas Berlalu meninggalkan Bastian di tengah jalanan sekolah.
Ah baru kali ini ia di acuhkan oleh seorang wanita, tak terima dengan sikap acuh Aluna ia kembali mengejar. sedangkan orang yang di kejarnya malah mempercepat langkah kaki sampai berlari.
Wajah paniknya begitu kentara sembari berlari , sesekali menoleh Bastian di belakang yang mengejarnya.
"uughh.. ngapain sih ngejar aku terus? berasa di kejar kejar debt colector! ishh!"
Tiba-tiba gadis yang berlari kencang pandangannya sedang mengarah belakang, tidak sadar ada tiang listrik yang sudah berdiri di depan hidungnya.
Aluna tak bisa mengelakan tubuh kesamping untuk menghindar.
"Hey awas !!" Teriak Bastian
"Brakkk"
"ada tiang listrik!" lanjut Bastian pelan.
sayangnya gadis itu terlanjur menabrak tiang listrik tak berdosa, yang mana sama sekali tak terduga benda itu ada di depan mata ketika kembali menoleh ke depan.
"Siapa sih yang naruh tiang listrik sembarangan!"
Lagi-lagi kena apes, dahinya benjol tepat di tengahnya. Hidung mancung mulus mengkilap mengucurkan darah dari lubangnya.
"peuuh??"
Bastian sedikit terkekeh menahan geli di perut melihat kekonyolan si wanita yang terlalu ceroboh. mulutnya tak tahan ingin sekali mengeluarkan gelak tawa di waktu yang tak tepat ini. untunglah Bastian berhasil menyembunyikan tawanya.
"Eeuugghhh!!! Cukup!!"
Teriak si gadis dengan raut wajahnya yang sudak tak karuan, emosinya mulai tak terkendali. mengangkat telunjuk mengarah pada Bastian yang nampak khawatir atas insiden yang kembali terjadi.
Tangan kiri menyeka darah segar rembesan hidungnya.
"Jangan ikuti aku lagi! diamlah disitu !aku mohon kak, sudah cukup sial aku hari ini tolong jangan tambah lagi." Titah Aluna berapi-api.
Rasa bersalah Bastian bertambah parah, ia tak tahu apa yang harus di perbuat nya sekarang. Aluna telah menyalahkan semua yang di deritanya. meski kejadian barusan adalah kesalahannya sendiri.
"aku hanya ingin menebus semua kesalahanku. ayolah kita ke rumah sakit saja.!'' tawar Bastian.
"Aku bilang Cukup! Baiklah bila kakak ingin menebusnya ! tetap diam di sana biarkan aku pergi sendiri! "
Perintah Aluna tak bisa di ganggu gugat. Sungguh ia begitu muak dengan kejadian hari ini.
Bastian hanya terpaku di tempatnya, menyaksikan Aluna berlalu memegangi hidung dan kening benjol akibat ulahnya.
..
..
Dug dug dug, dug dug dug
Pukulan bertubi-tubi di lancarkan Bastian.
"Duugg..duugg" suara benturan tangan beradu mengenai samsak tinju.
Pukulan kerasnya kembali di lesakkan. Semakin kesal hatinya semakin keras pula pukulannya.
"Siapa gadis bodoh itu!, Bahkan aku tak tau namanya! eugh..!" lubuk hati bermonolog sembari menghabisi samsak.
Brakk
" tak penting juga siapa pun dia!. yang jelas berani sekali ia mengacuhkanku! .kau merendahkan ku gadis bodoh!"
Brakk
"Hah.. hhuhh hahh .dasar wanita tak tau diri! Aku sudah mempertaruhkan kehormatanku di depan banyak orang! tapi kau! Awas kau!"
Brakk
"sebentar lagi kau akan tau siapa aku sebenarnya. Euuggghh.." pungkasnya pada diri sendiri sembari memukul mundur samsak di depannya.
Sikap kasar dan keras hati selalu mendampingi hidupnya.
Sifat sombong, angkuh tak mau kalah dari siapa pun menjadi ciri khas yang selalu ia terapkan di setiap tingkah laku. Itulah Bastian.
Anak pemilik sekolah swasta sederhana yang menjadi tempat belajarnya.
Ada sebuah kisah yang melatarbelakangi ibunya menyekolahkan ia di sana. Bastian pernah mencicipi pendidikan di sekolah bertaraf internasional, maklum ia adalah anak pengusaha tajir melintir.
Namun sikap kasar dan egoisnya selalu menyertai.
Setelah sering kali membuat kegaduhan-kegaduhan lagi dan lagi, sering bertengkar, membully teman-temannya bahkan sampai menyiksa sampai harus di rawat intensif di rumah sakit. Pihak sekolah tak sanggup lagi untuk mempertahankan dirinya demi nama baik sekolah.
Berbekal catatan-catatan buruk yang ia miliki, tak ada lagi sekolah yang mau menerima dirinya sebagai murid.
Tak mau kehabisan akal orang tuanya sampai mengakui sisi sebuah sekolah swasta demi kelangsungan pendidikan sang anak.
Lanjut,
Aluna telungkup di atas ranjang berkain merah muda.
Mengenakan Kaos putih longgar panjang sampai menutupi setengah paha putihnya. Lebam di wajahnya masih terlihat namun ia tutupi rambutnya. Permukaan hidung di tutupi hansaplast.
Asyik bercengkrama dan sesekali cekikikan di temani boneka beruang kesayangan.
"Ayah aku sudah punya beberapa teman baru, mereka sangat baik sekali. Bahkan ada sampai mentraktirku. Orangnya lumayan tampan sih,, hihi"
Sedikit menoleh pintu kamar yang sedikit terbuka, berharap tak ada orang yang melihat tingkah konyolnya ini. Padahal orang -orang di rumahnya sudah tahu akan kebiasaan anehnya ini. Ia melanjutkan percakapan dengan si boneka.
Tanpa ia sadari Nathan sudah pulang ke rumah, mendengar pembicaraan "mereka".
"Ayah, tau gak? Pipi aku masih sakit." Memamerkan lebamnya pada si boneka, tangan boneka berbulu lembut itu ia gerakkan untuk mengusap lebamnya.
"Ssstt aw.. masih sakit ayah.!!, Aluna sangat benci orang itu, tapi Aluna juga takut kakak tau akan hal ini."
Deg.
Omongan yang keluar dari mulut adiknya terasa menyayat hati.
Sorot mata Nathan menajam mengira-ngira siapa orang yang berani menyakiti adik perempuan tersayangnya. ia akan menguliti orang itu hidup-hidup.
Perlahan Nathan menjauh dari ambang pintu kamar Aluna, berjalan ke arah kamarnya menaiki tangga.
..
Seperti pagi-pagi sebelumnya sang ibu berangkat kurang dari jam enam pagi takut terjebak macet.
Aluna masih belum beranjak dari tempat tidur masih asyik berselimut hangat tebal di atas kasur empuk, tetapi nafasnya agak cepat keringat di dahinya keluar sebesar biji jagung.
"Aluna, cepat bangun atau kau akan kesiangan !?" Panggil Nathan.
"Aluna.... Hadeuh apa yang terjadi, woy Aluna." Ia penasaran adiknya tak kunjung datang juga.
Padahal Kamarnya paling strategis dekat ke dapur dan ke ruang tengah masa panggilan Nathan dari dapur tak terdengarnya.
Pasti ada yang gak beres.
Bergegas menuju ke kamar Aluna,
Klek
Gagang pintu setengah memutar, pintu terbuka. Nathan mendapati adiknya tengah menggigil di balik balutan selimut. Benjolan di dahinya membiru begitu juga lebam di pipinya membengkak agak parah.
Ia tak kuasa menatap kondisi sang adik, menunduk berusaha memalingkan wajahnya yang tak kuasa meneteskan air mata.
Di gendongnya tubuh yang mulai beranjak dewasa di pangkuan kakaknya.
Panik, amat sangatlah panik. apa yang telah di lakukan orang itu hingga membuat sang adik harus di rawat. Dan kini telah dalam perjalanan ke rumah sakit.
Nathan menelpon ibu memberi tahu kondisi Aluna yang kini di rawat.
"Ngeet ngeeeet ngeett" getar telpon di atas meja kerja tanpa suara hanya getaran saja.
Melihat ke layar ponsel yang bergetar bercahaya, nama "kakak" muncul di layar ponsel.
"Tumben si kakak nelpon"
"Iya kak, ada apa?"
"Mah, Aluna demam tinggi sekarang kita ada di rumah sakit "
"Ya tuhan, kenapa sama adik kamu n
ak?, Baiklah Mama segera kesana"
Raut putih cantik mirip sang bungsu versi dewasa kini memerah, tegang mengkhawatirkan kondisi anak perempuannya.
