Bab 5 Aksi Ares
Ruangan masih dipenuhi sisa-sisa energi dari ledakan sebelumnya, udara bergetar seakan merespons kekuatan yang baru saja dilepaskan oleh Lyra. Namun, alih-alih merasa takut atau panik, gadis itu justru merasakan sesuatu yang lain.
Kemarahan.
Muak.
"Aku bukan milikmu," desis Lyra, matanya menatap Ares dengan tajam. "Aku bukan boneka yang bisa kau kendalikan!"
Ares tidak langsung merespons. Ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap Lyra dengan ekspresi penuh perhitungan. Seperti seekor serigala yang menilai apakah mangsanya akan lari… atau melawan.
Lalu, tanpa peringatan, Lyra mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, cahaya kembali menyala dari tubuhnya. Kali ini lebih terang, lebih tajam.
Bukan putih dan merah muda seperti sebelumnya.
Tapi putih dan keemasan.
Ares menyipitkan mata. Cahaya itu… terasa berbeda.
Lyra merasakan kekuatan itu berdenyut dalam dirinya, seakan namanya berbisik di dalam pikirannya.
"Lux Mortalis."
Nama itu muncul begitu saja dalam benaknya, seolah-olah telah tertanam dalam darahnya sejak lahir. Dan begitu ia menyadarinya, cahaya itu semakin liar, semakin kuat, menjalar ke seluruh tubuhnya hingga membentuk aura yang nyaris seperti sayap cahaya di punggungnya.
Ares tidak sempat bereaksi lebih jauh. Dalam sekejap, Lyra menghilang dari tempatnya berdiri.
Dan muncul tepat di depan Ares.
"Apa—?"
BOOM!
Tinju Lyra, yang dibungkus cahaya keemasan, menghantam Ares dengan kekuatan yang luar biasa. Pria itu terdorong ke belakang, kakinya bergeser beberapa langkah sebelum akhirnya berhasil menahan diri. Tangannya terasa panas di tempat pukulan Lyra mendarat, bukan hanya karena kekuatan fisiknya, tetapi karena energi murni yang menyertainya.
Lyra melesat lagi. Kali ini lebih cepat.
Ares nyaris tidak punya waktu untuk berpikir sebelum cahaya itu kembali menyerangnya. Ia mengangkat lengannya, menangkis serangan Lyra, tetapi gadis itu terus bergerak, menghilang dan muncul dalam hitungan detik, kecepatannya hampir menyamai Ares sendiri.
"Menarik…" Ares bergumam di antara napasnya yang mulai berat.
Lyra muncul di belakangnya dalam sekejap, tangannya terangkat, cahaya Lux Mortalis menyelimuti telapak tangannya.
"Aku sudah muak!"
Ledakan cahaya meledak ke arah Ares.
Tapi kali ini, sang Raja Alpha tidak hanya bertahan.
Dengan kecepatan yang sama, ia berbalik dan mengangkat tangannya, menangkap serangan itu dengan telapak tangannya. Energi Lux Mortalis bertabrakan dengan aura gelap dari Ares, menciptakan gelombang tekanan yang menghancurkan kaca-kaca jendela di sekeliling mereka.
Ares menatap Lyra dengan intens. "Kau mulai memahami kekuatanmu, Little Mate."
Lyra menggertakkan giginya, dorongan emosinya masih meluap. "Jangan panggil aku seperti itu!"
Dengan gerakan cepat, ia kembali menyerang, tetapi kali ini Ares sudah siap. Dengan satu langkah ke depan, ia meraih pergelangan tangan Lyra sebelum gadis itu bisa menyerangnya lagi.
"Apa kau pikir aku akan membiarkanmu menang semudah itu?" suara Ares terdengar lebih rendah, nyaris seperti geraman.
Lyra terengah, berusaha menarik tangannya, tetapi genggaman Ares tidak goyah. Ia bisa merasakan kehangatan pria itu, sekaligus bahaya yang terpancar dari tatapannya.
"Berhenti melawan sesuatu yang sudah menjadi takdirmu," bisik Ares di dekat telinganya.
Lyra menatapnya penuh amarah. "Aku akan menentukan takdirku sendiri!"
Dan untuk pertama kalinya… Ares tertawa kecil.
"Kita lihat saja nanti."
Ares menatap Lyra dengan intens, sorot matanya tak terbaca, tapi ekspresi wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan gadis itu lepas darinya. Tubuh Lyra masih memancarkan cahaya keemasan dan putih, kekuatan Lux Mortalis yang baru saja bangkit dalam dirinya. Energinya liar, tidak terkendali, menggetarkan udara di sekitar mereka, membuat dinding-dinding batu di dalam ruangan itu berderak.
Tapi Ares tidak takut. Tidak pernah.
Ia bisa merasakan bahwa kekuatan Lyra muncul bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan karena dorongan emosinya—amarah, ketidaknyamanan, dan keengganannya menerima keadaan. Semakin ia melawan, semakin besar energi yang terpancar dari tubuhnya.
"Sudah cukup, Lyra," ujar Ares dengan suara dalam, tapi Lyra tidak mendengar.
Matanya masih penuh kemarahan, tubuhnya menegang, seolah bersiap untuk menyerang lagi.
Ares menghela napas pelan.
"Kalau begitu…"
Dalam sekejap, ia menarik Lyra lebih dekat, tangan kokohnya menahan tubuh gadis itu agar tidak bisa bergerak. Sebelum Lyra bisa melawan atau berkata apa pun, Ares menunduk dan menyatukan bibirnya dengan miliknya.
Lyra membelalakkan mata.
Tubuhnya menegang seketika, tetapi hanya untuk sesaat.
Begitu bibir Ares menyentuhnya, seluruh kekuatan yang liar di dalam dirinya seolah terserap begitu saja. Cahaya putih dan keemasan yang sebelumnya menyelimutinya mulai meredup, melemah, sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya.
Napasnya yang semula memburu kini melambat.
Kepalanya terasa ringan.
Jantungnya masih berdebar, tapi kali ini bukan karena kemarahan… melainkan sesuatu yang lain.
Ares melumat bibirnya dengan lembut, tapi tegas—menunjukkan dominasi sekaligus ketenangan yang seakan memaksa Lyra untuk kembali ke dalam kendali dirinya sendiri.
Ketika ia akhirnya melepaskan ciumannya, Lyra masih terdiam, tatapan matanya kosong seolah ia baru saja mengalami sesuatu yang sulit dijelaskan. Tubuhnya melemas, seakan semua kekuatan di dalam dirinya baru saja lenyap dalam hitungan detik.
Ares menatapnya lekat-lekat, matanya berkilat tajam.
"Nafasmu sudah lebih teratur sekarang," gumamnya, suaranya terdengar rendah dan penuh kemenangan.
Lyra masih terengah, kepalanya terasa berputar. Ia menatap Ares dengan sorot tidak percaya, wajahnya sedikit memerah karena campuran kemarahan dan kebingungan.
"Kau… Kau menciumku?" suaranya bergetar, antara syok dan marah.
Ares tersenyum tipis. "Dan berhasil menenangkanmu, bukan?"
Lyra mengangkat tangannya, berniat menampar pria itu, tapi Ares dengan mudah menangkap pergelangan tangannya di udara.
"Jangan berani-berani melakukannya lagi," desis Lyra, rahangnya mengeras.
Ares terkekeh rendah, mendekatkan wajahnya hingga napas mereka kembali bertaut.
"Jangan buat aku terpaksa mengulanginya," bisiknya penuh ancaman manis. "Atau… mungkin kau justru menginginkannya?"
Lyra tersentak, wajahnya semakin panas.
Sialan.
Kenapa ia merasa lebih lemah setelah ciuman itu? Kenapa tubuhnya bereaksi begitu kuat terhadapnya?
Dan yang lebih buruk lagi… kenapa dia tidak bisa menyangkal bahwa ciuman Ares memang berhasil menenangkan seluruh energinya?
Ares melepaskan genggamannya perlahan, membiarkan Lyra mundur.
"Tampaknya kekuatanmu bereaksi terhadap emosimu," ujar Ares akhirnya, ekspresinya kembali serius. "Ketidaknyamanan, kemarahan… itu yang memicunya. Dan jika kau tidak belajar mengendalikannya, kau bisa menghancurkan dirimu sendiri."
Lyra mengepalkan tangannya, merasa kesal karena kata-kata Ares benar.
"Tapi aku bisa mengendalikannya."
Ares mengangkat alis. "Benarkah?"
Lyra menatapnya tajam, meskipun di dalam hatinya, ia tahu Ares benar.
Ia butuh kendali.
Dan itu berarti… ia mungkin tidak punya pilihan selain menerima bantuan pria itu.
Ares menatap Lyra yang masih terengah, tubuhnya melemah setelah kehilangan kendali atas kekuatannya. Napas gadis itu tidak beraturan, tetapi bukan hanya karena kelelahan—melainkan karena efek dari ciuman yang baru saja ia terima.
Tanpa peringatan, Ares merendahkan tubuhnya dan dalam satu gerakan cepat, ia menyelipkan satu lengan di bawah lutut Lyra, sementara lengannya yang lain melingkari punggung gadis itu.
Lyra tersentak. "Apa yang kau—"
"Diam," potong Ares tegas, nada suaranya tidak memberi ruang untuk perlawanan.
Lyra ingin protes, tetapi tubuhnya terlalu lelah untuk meronta. Selain itu, ada sesuatu dalam sorot mata Ares yang membuatnya terpaku. Tatapan penuh kepemilikan, hasrat yang nyaris buas, tetapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks.
Ares membawanya melewati lorong-lorong panjang istana tanpa sedikit pun kesulitan. Para penjaga yang berpapasan dengan mereka menundukkan kepala dengan hormat, tetapi tidak satu pun berani menatap langsung ke arah Raja Alpha mereka—terutama ketika auranya memancarkan ketegasan mutlak seperti ini.
Lyra merasakan dada bidang Ares di bawahnya, merasakan kekuatan yang tersembunyi di balik tubuhnya yang kokoh.
"Aku bisa berjalan sendiri," gumam Lyra, meskipun suaranya terdengar kurang meyakinkan.
Ares hanya menoleh sekilas, sudut bibirnya melengkung dengan seringai tipis. "Terlambat untuk itu, Little Mate."
Beberapa detik kemudian, mereka tiba di depan sebuah pintu besar dengan ukiran emas yang megah. Dengan satu dorongan ringan dari kakinya, pintu itu terbuka, memperlihatkan kamar yang jauh lebih luas dan mewah daripada tempat sebelumnya.
Langit-langitnya tinggi dengan lampu kristal menggantung, sementara ranjang besar dengan tirai hitam berdiri megah di tengah ruangan. Cahaya dari lilin-lilin di sekitar ruangan berpendar lembut, menciptakan bayangan samar di dinding.
Ares membawa Lyra langsung ke ranjang dan dengan lembut membaringkannya di atas kasur yang empuk.
Lyra menelan ludah, merasa aneh dengan situasi ini. "Aku… aku tidak seharusnya di sini."
Ares tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya sejenak sebelum akhirnya berlutut di tepi ranjang, wajahnya begitu dekat hingga Lyra bisa merasakan napasnya yang hangat.
"Kau milikku, Lyra," suaranya dalam dan serak. "Dan aku akan memastikan kau tidak melupakan itu."
Tangannya terulur, menyentuh pipi Lyra, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya yang hangat.
Jantung Lyra berdebar begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri. Tubuhnya terasa panas, tetapi bukan karena ketidaknyamanan—melainkan sesuatu yang lain.
"Ares…" suara Lyra melemah, pikirannya mulai kabur.
Namun, Ares tidak memberinya kesempatan untuk berpikir lebih jauh.
Dalam satu gerakan cepat, ia menunduk dan mencium Lyra—bukan ciuman sekadar untuk menenangkan atau mengklaim, tetapi ciuman yang dalam, menuntut, dan memabukkan.
Lyra mengerang pelan, seluruh tubuhnya seakan mencair di bawah sentuhan pria itu. Tangannya secara refleks mencengkeram bahu Ares, sementara pikirannya semakin tenggelam dalam pusaran perasaan yang sulit ia kendalikan.
Ares tidak memberi ruang untuk keraguan atau perlawanan. Ia menginginkan Lyra—dan malam ini, ia akan memastikan bahwa gadis itu tahu persis siapa yang memiliki dirinya.
