Bab 4 Kekuatan Lyra, Putih dan Pink
Lyra menatap Ares dengan sorot mata penuh kecurigaan, tubuhnya tetap tegang setelah insiden aneh barusan. Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena ketakutan terhadap pria di depannya, tetapi lebih kepada ketidakpastian tentang apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu apa yang dirasakan Ares, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang berubah—sesuatu yang membuat Lyra semakin tidak nyaman.
"Apa maksudmu dengan aku bukan manusia biasa?" Lyra bertanya lagi, suaranya lebih tajam kali ini.
Ares tidak langsung menjawab. Alih-alih, ia bergerak perlahan, mengitari Lyra seperti seekor predator yang tengah mengamati mangsanya. Sorot emas matanya berkilat penuh perhitungan, dan setiap langkahnya yang tenang seolah menyelubungi udara di sekitar mereka dengan tekanan yang semakin kuat.
"Katakan, Lyra…" Ares akhirnya bersuara, berhenti tepat di belakangnya. "Pernahkah kau mengalami sesuatu yang tidak bisa dijelaskan? Sesuatu yang tidak seharusnya mungkin bagi manusia biasa?"
Lyra membeku. Tentu saja ia pernah. Ada momen-momen dalam hidupnya di mana hal-hal aneh terjadi di sekitarnya—seperti saat ia jatuh dari pohon saat kecil, tetapi hanya mendapat luka ringan meski seharusnya ia bisa patah tulang. Atau saat ia merasa seperti ada sesuatu yang melindunginya setiap kali ia berada dalam bahaya. Tapi itu hanya kebetulan… bukan?
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawab Lyra akhirnya, meskipun suaranya tidak terdengar meyakinkan, bahkan bagi dirinya sendiri.
Ares tersenyum tipis, tetapi bukan senyum yang menyenangkan. Itu adalah senyum penuh kemenangan, seolah ia baru saja menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi di depan matanya.
"Kau memiliki darah suci," kata Ares akhirnya, dan Lyra merasakan napasnya tertahan.
Darah suci?
Lyra menggeleng cepat, mencoba menyangkal, tetapi Ares melangkah ke depannya lagi, kali ini menatapnya dari jarak yang terlalu dekat. "Aku bisa merasakannya, Lyra," katanya dengan suara yang lebih rendah, lebih intens. "Kekuatan itu… mengalir dalam dirimu. Kau mungkin tidak menyadarinya, tetapi tubuhmu bereaksi secara naluriah."
"Aku tidak peduli dengan omong kosongmu," balas Lyra dengan suara bergetar, lalu berbalik, berniat menjauh dari pria itu.
Namun, Ares bergerak lebih cepat. Dalam sekejap, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Lyra, menghentikannya dari pergi. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, Lyra bisa merasakan sesuatu yang menggetarkan dadanya—bukan hanya ketakutan, tetapi juga sesuatu yang lain.
"Kau ingin menyangkalnya?" suara Ares menjadi lebih lembut, tetapi masih berbahaya. "Baiklah. Mari kita buktikan."
Sebelum Lyra sempat memahami maksudnya, Ares tiba-tiba menariknya lebih dekat, begitu dekat hingga napas panasnya terasa di wajah Lyra. Kemudian, dengan gerakan cepat, Ares mengangkat tangannya dan menempatkannya tepat di atas dada Lyra, di atas jantungnya.
"Jangan sentuh aku—!"
Terlambat.
Saat telapak tangan Ares menyentuh kulit Lyra melalui kain tipis gaunnya, sesuatu meledak di antara mereka. Sebuah energi liar, tak terkendali, melesat keluar dari tubuh Lyra, mendorong Ares mundur dengan kekuatan yang cukup besar hingga pria itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Lyra terengah, matanya membelalak.
Ares menatapnya, bukan dengan amarah, tetapi dengan sesuatu yang lebih gelap… lebih dalam… lebih tertarik.
"Menarik," gumamnya, suaranya terdengar seperti seseorang yang baru saja menemukan harta karun. "Kau bahkan tidak perlu belajar mengendalikannya. Itu muncul begitu saja… sebuah pertahanan alami."
Lyra memegangi dadanya, napasnya memburu. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tetapi tubuhnya gemetar karena sensasi aneh yang masih tersisa.
Ares, di sisi lain, kembali mendekat, kali ini dengan senyum yang lebih penuh arti. "Kau tidak tahu apa yang kau miliki, Lyra. Tetapi aku akan membantumu mengetahuinya."
Lyra mundur, matanya menatap Ares dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan kebingungan.
"Aku tidak butuh bantuanmu," katanya lirih.
Ares terkekeh rendah. "Oh, kau butuh, Little Mate."
Matanya berkilat, penuh keyakinan.
"Dan kau akan segera menyadarinya."
Ares menghela napas panjang, menatap Lyra sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk mundur. Ia tahu kapan harus menekan dan kapan harus memberi ruang.
“Kau butuh waktu untuk mencerna semua ini,” katanya, suaranya tenang tapi tetap mengandung kekuatan.
Tanpa menunggu jawaban dari Lyra, Ares berbalik dan berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu dengan mudah, lalu melangkah keluar tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Begitu pintu tertutup, hanya suara langkah kakinya yang menggema di lorong panjang.
Ares berjalan dengan sikap santai, tapi pikirannya penuh dengan pertanyaan. Lyra… darah sucinya begitu kuat. Bahkan, ia hampir tidak bisa menyentuh gadis itu tanpa ditolak oleh kekuatannya. Itu bukan hal yang biasa. Bahkan di antara para keturunan darah suci yang langka, tidak ada yang memiliki reaksi pertahanan sekuat itu secara alami.
Saat tiba di kamarnya yang lain—ruangan yang lebih luas dengan dinding batu yang dipenuhi ukiran kuno—Ares bersandar di meja panjang di tengah ruangan. Ia memejamkan mata, mencoba mengendalikan pikirannya yang masih berputar cepat.
Sementara itu, di kamar yang ia tinggalkan, Lyra berdiri di tengah ruangan dengan napas tak beraturan. Tubuhnya masih terasa hangat setelah energi itu meledak dari dalam dirinya.
Tangannya mengepal.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganku?" bisiknya.
Ia menatap telapak tangannya, mengingat bagaimana cahaya itu muncul begitu saja ketika Ares menyentuhnya. Sesuatu dalam dirinya memberontak, seolah tidak ingin dikendalikan oleh siapa pun, bahkan oleh makhluk yang disebut Raja Alpha itu.
"Aku harus mengendalikannya…"
Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai berkonsentrasi. Matanya terpejam, pikirannya fokus pada sesuatu yang samar—sesuatu yang terasa seperti aliran energi di dalam dirinya.
Lalu, perlahan, keajaiban terjadi.
Dari telapak tangannya, sebuah cahaya mulai muncul. Cahaya itu pertama kali redup, hampir tak terlihat, tapi semakin lama semakin kuat. Warna putih bercampur merah muda bersinar terang, berputar-putar di sekitar tangannya seperti nyala api yang lembut, tetapi terasa luar biasa kuat.
Lyra membuka matanya, terkejut.
"Aku bisa… melakukannya," gumamnya, suaranya dipenuhi keterkejutan dan kekaguman sekaligus.
Tapi kegembiraannya hanya bertahan beberapa detik sebelum cahaya itu semakin liar, seakan kekuatan di dalam dirinya lepas kendali.
DOR!
Ledakan energi melesat keluar dari tubuhnya, menyapu seluruh ruangan. Tirai berkibar liar, perabotan berguncang hebat, dan lantai di bawah kakinya bergetar. Cahaya putih dan merah muda itu meledak dalam bentuk gelombang, menerangi seluruh ruangan dalam sekejap.
Di luar kamar, para penjaga yang berjaga langsung menoleh dengan mata terbelalak saat merasakan getaran kuat dari dalam. Beberapa dari mereka bahkan mundur selangkah, insting mereka memberitahu bahwa sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.
Ares, yang masih berdiri di kamarnya, tiba-tiba merasakan ledakan energi itu. Mata emasnya membelalak.
"Astaga…"
Ia langsung bergerak. Dalam sekejap, ia keluar dari kamarnya dan melangkah cepat menuju kamar Lyra.
Di dalam kamar, Lyra jatuh terduduk, napasnya memburu. Tubuhnya terasa lelah setelah ledakan tadi, tetapi matanya masih memancarkan cahaya redup. Ia menatap tangannya yang masih bergetar, jantungnya berdebar kencang.
Namun sebelum ia bisa mencerna lebih jauh, pintu kamar terbuka dengan keras.
Ares berdiri di ambang pintu, matanya menyala tajam, menatapnya dengan sorot yang tak bisa ditebak.
“Kau baru saja mengguncang seluruh istana,” katanya dengan suara rendah tapi penuh ketegasan.
Lyra menelan ludah, masih duduk di lantai, sementara cahaya redup di sekelilingnya perlahan memudar.
"Apa yang telah aku lakukan…?" bisiknya, suaranya terdengar gentar.
Ares menatapnya lama, sebelum akhirnya berujar dengan nada dalam yang hampir terdengar seperti gumaman.
"Kau lebih berbahaya dari yang kukira, Little Mate."
