Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Darah Suci

Suasana di aula utama istana dipenuhi ketegangan. Meja panjang dari kayu hitam di tengah ruangan dikelilingi oleh para Beta, Gamma, dan tetua kawanan yang wajahnya menyiratkan ketidakpuasan. Lilin-lilin besar yang menyala di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan yang bergerak gelap di dinding batu.

Ares duduk di singgasananya, kaki kirinya terangkat santai ke atas sandaran tangan kursi. Tatapannya tenang, tetapi aura kekuasaannya memenuhi ruangan, membungkam siapa pun yang ingin membantahnya terlalu keras.

Namun, Beta Kael memberanikan diri berbicara lebih dulu. "Raja, ini kegilaan. Kau membawa manusia ke istana, dan lebih buruk lagi—kau menyebutnya pasanganmu?"

Beberapa yang lain mengangguk setuju. Gamma Lior, pria dengan tubuh kekar dan bekas luka di pipinya, mencondongkan tubuh ke depan. "Takdir tidak mungkin sekejam itu, Ares. Pasanganmu seharusnya seseorang dari kaum kita, bukan manusia yang bahkan tak memiliki darah serigala dalam dirinya!"

Ares menatap mereka satu per satu, matanya yang keemasan berkilat berbahaya. "Takdir telah berbicara. Atau kalian ingin menantang keputusan yang lebih besar dari kita semua?"

Hening sejenak, sebelum salah satu tetua, Elder Rolan, berbicara dengan suara serak namun penuh otoritas. "Bukan takdir yang kami ragukan, Raja. Tapi keselamatan kita."

Ares mendesah, kepalanya sedikit miring. "Keselamatan?"

Rolan mengangguk. "Manusia rapuh. Mereka bisa dihancurkan hanya dengan satu serangan. Bagaimana kau akan melindungi pasanganmu dari ancaman yang mengintai setiap saat? Apa yang akan terjadi jika kawanan lain melihat kelemahan ini dan memanfaatkannya?"

Kael menimpali, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Dan bagaimana dengan reaksi kaum kita sendiri? Banyak yang sudah mulai berbisik, mempertanyakan kepemimpinanmu."

Ares mengangkat satu alis. "Mereka yang mempertanyakan posisiku dipersilakan untuk mencobaku," katanya dingin.

Ruangan langsung sunyi. Semua orang tahu bahwa menantang Raja Alpha bukan hanya sebuah risiko, tetapi juga sebuah hukuman mati.

Lior mengepalkan tangan di atas meja. "Ares, kami tidak ingin memberontak. Kami hanya ingin memastikan kawanan ini tetap kuat."

Ares akhirnya menurunkan kakinya, bersandar ke depan, tatapannya tajam seperti mata serigala yang mengincar mangsanya. "Kau ingin memastikan kawanan ini tetap kuat?" suaranya lebih rendah, hampir seperti geraman. "Maka percayalah padaku."

Beberapa Beta saling bertukar pandang, tetapi tak ada yang berani membalas.

Elder Rolan menghela napas panjang. "Dan apa rencanamu untuk perempuan itu, Raja? Apa kau benar-benar yakin dia bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sini?"

Ares tersenyum tipis. "Lyra adalah pasangan yang ditakdirkan untukku. Cepat atau lambat, dia akan menyadari tempatnya di sini."

Kael menggelengkan kepala, suaranya lebih lembut, tetapi masih penuh ketidaksetujuan. "Dan jika tidak?"

Ares berdiri dari singgasananya, berjalan perlahan di sepanjang meja, auranya menekan semua yang ada di ruangan. "Maka aku akan memastikan dia tidak punya pilihan lain."

Tak ada yang berbicara setelah itu. Hanya keheningan yang menggantung di udara, sementara sang raja serigala menunjukkan dengan jelas bahwa keputusannya tak akan bisa digoyahkan.

Malam semakin larut, tetapi perdebatan di aula itu masih menggantung di udara, tak terselesaikan. Setelah semua orang meninggalkan ruangan, Ares tetap berdiri di dekat meja panjang, tangannya bertumpu di permukaan kayu yang terasa dingin. Sorot matanya kosong, tetapi di dalam pikirannya, badai berkecamuk.

Takdir telah memberinya pasangan, tetapi yang dipilihkan untuknya bukanlah sosok yang bisa dengan mudah tunduk. Lyra adalah manusia—rapuh, keras kepala, dan yang lebih buruk, ia menolak mengakui hubungan mereka.

Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Beta Kael kembali, kali ini tanpa ekspresi ketidaksenangan yang tadi memenuhi wajahnya. Ia menatap Ares dengan lebih dalam, seolah mencari sesuatu.

"Kau benar-benar yakin akan keputusan ini, Ares?" tanyanya pelan.

Ares menghela napas, matanya menatap cahaya obor yang bergetar. "Aku tidak punya pilihan lain, Kael."

"Semua Alpha lain akan melihat ini sebagai kelemahan," kata Kael lagi, suaranya tak lagi penuh konfrontasi, tetapi lebih kepada kekhawatiran yang tulus. "Mereka akan berpikir kau telah kehilangan kendali."

Ares tertawa kecil, getir. "Mereka sudah lama berpikir begitu. Aku tak peduli dengan pendapat mereka."

Kael terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Tapi kau peduli dengan pendapat Lyra, bukan?"

Ares menegang, tetapi ia tidak membantah.

Kael melangkah lebih dekat, menurunkan suaranya. "Dia bukan seperti kita, Ares. Jika kau ingin dia menerima takdir ini, kau harus memberinya alasan untuk tetap tinggal, bukan hanya memberinya tembok tinggi dan pasukan penjaga."

Ares mendengus, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang memahami maksud Kael.

"Dia akan tetap di sini," kata Ares akhirnya. "Mau dia mau atau tidak."

Kael menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk. "Kau mungkin bisa menahannya di sini, Ares. Tapi menahannya bukan berarti membuatnya menerimamu."

Setelah itu, Kael pergi, meninggalkan Ares dengan pikirannya sendiri.

Sementara itu, di dalam kamar yang telah disediakan untuknya, Lyra berdiri di depan jendela, menatap gelapnya malam di luar. Jarinya perlahan menggenggam tirai, matanya mencari jalan keluar.

Ia tidak bisa tinggal di sini.

Tidak peduli seberapa megah istana ini, seberapa kuat Ares, atau seberapa keras pria itu mencoba mengikatnya dengan apa yang disebut takdir—ia akan pergi.

Sebelum ia kehilangan dirinya sendiri.

Ares melangkah perlahan di lorong panjang menuju kamarnya, pikirannya masih dipenuhi percakapan dengan Kael. Sorot matanya tajam, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang terusik—sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

Pintu kamarnya terbuka dengan sendirinya begitu ia mendekat, seolah merespons kehadirannya. Di dalam, Lyra masih berdiri di dekat jendela, wajahnya diterangi cahaya bulan yang masuk dari balik tirai yang sedikit tersingkap.

"Aku tidak akan tidur di ranjang yang sama denganmu," katanya tajam begitu menyadari kehadiran Ares.

Ares hanya mengangkat alis, lalu dengan santai melepas mantel hitamnya dan melemparkannya ke kursi. "Kau bisa tidur di mana pun yang kau mau, Little Mate. Aku tidak peduli."

Lyra menatapnya dengan penuh kewaspadaan, seolah mengukur apakah kata-kata itu benar atau hanya jebakan. Tapi Ares tidak memberi perhatian lebih. Ia hanya berjalan mendekat, menghentikan langkahnya beberapa inci dari Lyra, membuat gadis itu sedikit mundur tanpa sadar.

Namun, sebelum Ares bisa berkata lebih jauh, sesuatu terjadi.

Udara di sekitar Lyra tiba-tiba berubah. Sebuah kilatan energi tak kasat mata bergetar di ruangan, membuat Ares berhenti sejenak, alisnya berkerut dalam.

Matanya menyipit, memperhatikan lebih saksama. Aura itu… bukan aura biasa. Itu bukan hanya energi manusia.

"Menarik," gumamnya.

Lyra menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"

Ares tidak menjawab. Sebagai Alpha King, ia memiliki insting yang lebih tajam dibandingkan serigala mana pun. Dan saat ini, instingnya berteriak bahwa ada sesuatu dalam diri Lyra—sesuatu yang lebih besar dari yang ia kira.

Tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya, telapak tangannya hampir menyentuh Lyra. Tapi sebelum kulit mereka bertemu, sesuatu yang tak terlihat mendorongnya mundur. Sebuah kekuatan tak kasat mata melesat di antara mereka, memancarkan gelombang pelindung yang membuat Ares mundur selangkah.

Matanya melebar.

Darah suci.

Itu satu-satunya penjelasan.

Ares menatap Lyra dengan cara yang berbeda sekarang. Gadis itu bukan hanya manusia biasa. Kekuatan yang baru saja ia rasakan adalah kekuatan suci—sesuatu yang langka dan sangat dihormati di antara kaum supernatural.

"Apa kau tahu siapa dirimu sebenarnya, Lyra?" Ares bertanya, suaranya lebih lembut tetapi penuh ketertarikan.

Lyra mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

Ares tersenyum tipis. "Kau bukan hanya manusia biasa."

Lyra menegang. "Apa maksudmu?"

Ares menatapnya dalam-dalam, senyum misterius masih menghiasi bibirnya. "Kita akan segera mengetahuinya."

Seketika, keinginannya untuk memiliki Lyra semakin kuat.

Bukan hanya sebagai pasangan.

Tapi sebagai sosok yang mungkin memiliki takdir lebih besar dari yang mereka kira.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel