Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Sang Raja Dominan

Lyra menggeliat di atas bahu Ares, tangan dan kakinya bergerak liar, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman besi pria itu. Tapi semakin ia berontak, semakin erat pula lengan Ares menahan tubuhnya, membuatnya frustrasi.

"Turunkan aku sekarang juga, dasar Alpha gila!" teriaknya, tinjunya menghantam punggung pria itu dengan sekuat tenaga.

Ares hanya tertawa rendah, sama sekali tak terganggu. "Teruslah berteriak, Little Mate. Aku ingin tahu berapa lama kau bisa bertahan sebelum akhirnya menyerah."

Lyra merasakan panas menjalar ke wajahnya, bukan hanya karena marah, tapi juga karena bagaimana suara dalam pria itu seakan menghipnotisnya. Ia tidak boleh terpengaruh. Tidak boleh terjebak dalam daya tarik berbahaya yang dipancarkan pria ini.

Dengan gerakan cepat, ia meraih rambut Ares dan menariknya sekuat tenaga. "Katakan itu lagi setelah aku mencabuti rambutmu satu per satu!"

Ares mengerang pelan, bukan karena sakit, tapi lebih karena terkejut oleh keberanian Lyra. Dalam sekejap, ia berhenti berjalan, tubuh Lyra terhempas ke bawah saat Ares menjatuhkannya dengan kasar ke tanah.

"Akh!" Lyra meringis, kedua tangannya menahan tubuhnya agar tidak jatuh terlalu keras. Ia belum sempat bangkit ketika Ares sudah berjongkok di depannya, jemarinya yang besar mencengkeram dagunya, memaksanya menatap langsung ke dalam mata emas yang kini menyala penuh dengan ketidaksabaran.

"Kau benar-benar suka membuatku kehilangan kesabaran, hmm?" Suara Ares lebih dalam, lebih gelap, dan Lyra bisa merasakan kekuatan pria itu bergetar di udara, menekan dirinya.

Lyra menatapnya tajam, menolak untuk menunjukkan rasa takut meskipun jantungnya berdetak begitu kencang. "Aku tidak takut padamu."

Ares menyeringai, ibu jarinya mengusap dagu Lyra dengan gerakan yang seolah bertentangan dengan ancaman yang tersirat dalam sorot matanya. "Bukan itu yang dikatakan tubuhmu, Sayang."

Wajah Lyra memanas. Ia membuka mulut untuk membalas, tapi sebelum sempat, Ares sudah menariknya lebih dekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.

"Jangan salah paham, Lyra," gumam Ares, napasnya menyapu bibir Lyra, membuatnya menegang. "Aku bisa saja menguncimu sekarang, memaksamu tunduk seperti yang seharusnya kau lakukan sebagai pasanganku. Tapi aku ingin kau datang kepadaku dengan keinginanmu sendiri."

Lyra menelan ludah, tubuhnya membeku. Ada sesuatu dalam suara Ares yang membuatnya sulit berpikir jernih.

"Jangan bermimpi," katanya dengan suara bergetar. "Aku tidak akan pernah menyerah padamu."

Ares terkekeh pelan, ekspresinya penuh tantangan. "Kita lihat saja nanti."

Dan tanpa peringatan, ia meraih tangan Lyra, menariknya berdiri sebelum menyeretnya kembali ke arah yang ia mau—ke dunianya. Ke dalam kekuasaannya. Ke dalam perangkap yang tak akan pernah bisa Lyra hindari.

Udara malam terasa semakin dingin saat Ares menyeret Lyra melewati hutan yang gelap. Meskipun Lyra terus memberontak, cengkeraman pria itu tetap kokoh, seolah baja yang mustahil dilonggarkan. Setiap langkah yang mereka ambil semakin menjauhkannya dari kebebasan, membawa Lyra menuju tempat yang mungkin akan menjadi penjaranya selamanya.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah area terbuka yang luas. Lyra menahan napas saat matanya menangkap pemandangan megah di hadapannya.

Sebuah istana berdiri kokoh di tengah hutan, dengan dinding batu hitam yang menjulang tinggi, diterangi cahaya obor dan lampu kristal yang berpendar seperti bintang. Bangunan itu terlihat kuno namun megah, dengan pilar-pilar besar dan gerbang raksasa yang dijaga oleh beberapa pria bertubuh besar dengan mata yang bersinar keemasan seperti Ares.

"Selamat datang di istanamu, Little Mate," suara Ares terdengar ringan, tetapi ada nada kepemilikan yang membuat Lyra merinding.

Lyra menelan ludah, tubuhnya menegang saat gerbang perlahan terbuka dengan suara berderit yang berat. Ares menariknya masuk, melewati lorong panjang dengan lantai marmer dingin yang memantulkan cahaya lilin di sepanjang dinding.

Beberapa orang menundukkan kepala saat melihat Ares, memberikan hormat yang jelas menunjukkan siapa pria itu—bukan hanya seorang Alpha, tapi raja mereka.

"Dia manusia?" bisik salah satu penjaga, matanya menatap Lyra dengan ragu.

"Dia pasangan Raja," jawab seorang pria lain, suaranya penuh rasa hormat. "Takdir sudah memilihnya."

Lyra menggigit bibirnya. Takdir? Omong kosong macam apa itu?

Ares tidak memperlambat langkahnya. Dengan satu tarikan kuat, ia membawa Lyra menaiki tangga besar menuju lantai atas, melewati lebih banyak penjaga yang menatap mereka dengan rasa ingin tahu.

"Aku bisa jalan sendiri!" Lyra akhirnya melepaskan diri, menarik tangannya dengan kasar.

Ares menatapnya sejenak, lalu tersenyum miring. "Baiklah, kalau itu maumu."

Tanpa menunggu, ia melanjutkan langkahnya dengan santai, seolah yakin bahwa Lyra tidak punya pilihan selain mengikutinya.

Dan memang benar.

Dengan enggan, Lyra mengepalkan tangan dan berjalan di belakangnya, memperhatikan setiap sudut istana yang tampak seperti perpaduan antara kekuasaan dan kekejaman. Dindingnya dihiasi ukiran-ukiran kuno, beberapa menggambarkan pertempuran para serigala, yang lain menampilkan sosok laki-laki berjubah hitam dengan mata tajam—mirip dengan Ares.

"Ini kamarmu," kata Ares ketika mereka berhenti di depan sebuah pintu besar dari kayu ek yang diukir dengan lambang kawanan.

Lyra menatap pintu itu dengan curiga. "Dan di mana kamarmu?" tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

Ares menyeringai, menekan gagang pintu lalu mendorongnya hingga terbuka. Ruangan di baliknya luas, dengan tempat tidur besar berkanopi, jendela kaca yang menghadap ke hutan, serta perapian yang menyala dengan api oranye hangat.

Pria itu berbalik menghadapnya, satu alisnya terangkat. "Kau bertanya seolah aku akan membiarkan pasangan sejatiku tidur jauh dariku."

Darah Lyra berdesir. Ia mundur selangkah, menatap Ares dengan waspada. "Jangan berharap aku akan tunduk padamu hanya karena kau membawaku ke sini," katanya, suaranya penuh tekad.

Ares tidak marah. Sebaliknya, senyumnya semakin lebar, seperti seorang pemburu yang menikmati permainan kucing dan tikusnya.

"Aku tidak berharap kau tunduk," gumamnya, melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka hampir tak bersisa. "Aku hanya akan membuatmu sadar bahwa sejak saat ini… kau tidak punya tempat lain untuk pergi."

Lyra merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, bukan hanya karena ancaman dalam kata-kata pria itu, tetapi juga karena sesuatu yang lebih berbahaya—sesuatu yang ia takutkan akan tumbuh di dalam dirinya.

Lyra berdiri kaku di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menyembunyikan getaran yang merayap di jari-jarinya. Ia menatap Ares dengan tajam, menolak menunjukkan rasa gentar, meskipun aura pria itu menekan udara di sekelilingnya seperti badai yang siap meledak kapan saja.

"Aku tidak akan tinggal di sini," katanya, suaranya lebih tenang dari yang ia rasakan.

Ares menyandarkan bahunya pada bingkai pintu, matanya yang berwarna emas berkilat penuh ketertarikan. "Mau pergi ke mana? Hutan penuh dengan prajuritku. Tidak ada tempat yang aman untukmu di luar sana, Little Mate."

Lyra menggigit bibirnya, mengutuk fakta bahwa pria itu benar. Ia tidak tahu di mana dirinya berada. Satu-satunya jalan keluar adalah melalui gerbang istana, dan dengan penjagaan seketat tadi, kabur bukanlah pilihan yang mudah.

Ares melangkah masuk, mendekatinya perlahan, dan Lyra secara refleks mundur, hingga punggungnya menyentuh dinding dingin.

"Kenapa kau begitu keras kepala?" gumam Ares, jemarinya mengangkat dagu Lyra, memaksanya menatap langsung ke dalam mata keemasannya yang berbahaya. "Seharusnya kau bersyukur. Aku bisa saja membiarkan kawanan lain menangkapmu, tapi aku memilih menjadikanmu milikku."

Lyra menepis tangannya dengan kasar, dadanya naik turun menahan amarah. "Kau bicara seolah aku harus berterima kasih padamu karena menculikku!"

Ares terkekeh pelan, suaranya rendah dan penuh ironi. "Kau akan mengerti nanti."

"Aku tidak akan pernah tunduk padamu, Ares," desis Lyra.

Raja serigala itu hanya menatapnya sejenak, lalu sebuah senyum samar—yang lebih berbahaya daripada tatapan marah—terbentuk di bibirnya.

"Kita lihat saja," katanya, sebelum berbalik menuju pintu.

Namun, sebelum keluar, Ares menoleh sekali lagi, matanya berkilat tajam di bawah cahaya redup. "Tidurlah, Lyra. Mulai besok, kau akan belajar bagaimana menjadi ratu di sisiku."

Kemudian, pintu tertutup dengan suara lembut, meninggalkan Lyra sendirian dalam ruangan yang terasa lebih seperti penjara daripada kamar mewah.

Ia menghembuskan napas panjang, lalu melangkah menuju jendela, matanya menatap gelapnya hutan di kejauhan.

Tak peduli seberapa kuat Ares, seberapa besar kekuasaannya—ia harus mencari cara untuk kabur.

Karena satu hal yang pasti, Lyra tidak akan pernah membiarkan dirinya jatuh ke dalam perangkap pria itu. Tidak akan pernah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel