Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 5

Sejak Sari bergabung, pekerjaan terasa lebih ringan. Pesanan dari butik di kota selesai tepat waktu, dan pelanggan mulai merekomendasikan Nayla ke orang lain. Nama “Nayla” mulai disebut-sebut di lingkungan sebagai penjahit yang rapi dan bisa dipercaya.

Suatu sore, Sari datang membawa brosur. “Nay, ini ada lomba desain busana tingkat kabupaten. Hadiahnya lumayan, dan pemenangnya dapat promosi gratis di media lokal.”

Nayla membaca brosur itu dengan hati berdebar. Lomba berarti tantangan baru—ia harus membuat desain yang berbeda dari biasanya, dan waktunya akan semakin padat.

Malamnya, ia membicarakan hal itu dengan Rafa.

“Kalau Ibu ikut lomba, Ibu akan lebih sibuk. Tapi kalau menang, usaha kita bisa lebih maju,” kata Nayla.

Rafa tersenyum polos. “Ibu ikut saja. Rafa bisa bantu yang Ibu bisa.”

Beberapa hari kemudian, Nayla mulai merancang busana untuk lomba. Ia memilih tema sederhana: “Kekuatan Perempuan”—terinspirasi dari perjalanannya sendiri. Setiap jahitan ia kerjakan dengan hati-hati, seolah sedang menulis kisahnya di atas kain.

Namun, di tengah persiapan, Arga kembali muncul. Kali ini ia datang bukan hanya untuk menjemput Rafa, tapi juga membawa tawaran.

“Aku dengar kamu mau ikut lomba. Kalau mau, aku bisa bantu biaya kain dan perlengkapannya,” ucapnya.

Nayla terdiam. Tawaran itu menggiurkan, tapi ia tahu menerima bantuan Arga berarti memberi celah masa lalu masuk lagi.

“Terima kasih, tapi aku mau berdiri di atas kakiku sendiri,” jawabnya mantap.

Arga hanya mengangguk, lalu pamit. Tapi tatapannya saat pergi membuat Nayla sadar—perjalanannya ke depan bukan hanya soal usaha, tapi juga soal menjaga batas dengan masa lalu yang masih sesekali mengetuk.

Pagi itu, udara terasa segar meski langit sedikit berawan. Nayla bangun lebih awal, memastikan semua perlengkapan lomba sudah siap: gaun yang ia rancang dengan tema “Kekuatan Perempuan”, alat jahit darurat, dan buku sketsa.

Rafa ikut bangun, meski matanya masih berat. “Bu, nanti kalau Ibu menang, kita makan bakso, ya,” katanya sambil tersenyum mengantuk.

Nayla tertawa kecil. “Menang atau nggak, kita tetap makan bakso.”

Di lokasi lomba, suasana ramai. Peserta dari berbagai daerah memamerkan karya mereka—ada yang penuh warna, ada yang elegan, ada pula yang unik dengan sentuhan tradisional. Nayla sempat merasa minder melihat karya orang lain, tapi ia mengingat kata-kata Sari sebelum berangkat:

> “Yang kamu bawa itu bukan cuma baju, Nay. Itu cerita hidup kamu.”

Saat gilirannya tiba, Nayla mempresentasikan gaunnya di depan juri. Ia menjelaskan bahwa desain itu terinspirasi dari perjalanan seorang perempuan yang berani keluar dari lingkaran yang mengekangnya, lalu membangun hidupnya sendiri. Setiap detail jahitan ia buat dengan tangan, sebagai simbol ketekunan dan kesabaran.

Para juri mengangguk, beberapa bahkan mencatat sesuatu. Nayla tidak tahu apakah itu pertanda baik, tapi ia merasa lega karena sudah memberikan yang terbaik.

Menjelang sore, pengumuman pemenang dibacakan. Nama Nayla disebut sebagai juara kedua. Tepuk tangan bergema, dan Rafa berlari memeluknya.

“Ibu hebat!” serunya.

Hadiah yang ia terima bukan hanya uang tunai, tapi juga kesempatan untuk memamerkan karyanya di butik milik salah satu juri. Tawaran itu membuat matanya berkaca-kaca—ini adalah langkah besar yang dulu bahkan tak pernah ia bayangkan.

Malam itu, di kontrakan kecilnya, Nayla duduk di teras bersama Rafa sambil makan bakso seperti janji mereka. Ia menatap langit malam yang cerah, merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.

Takdir memang bisa diubah, pikirnya. Asal kita berani mengambil langkah pertama.

Kerja sama dengan butik di kota resmi dimulai dua minggu setelah lomba. Pemilik butik, Bu Ratna, menginginkan koleksi khusus yang akan dipajang di etalase utama. Bagi Nayla, ini adalah kesempatan emas—tapi juga ujian besar.

Setiap pagi, ia mengantar Rafa ke sekolah, lalu langsung menuju ruang kerjanya yang kini terasa semakin sempit. Sari tetap membantunya, tapi beban pekerjaan meningkat. Ada target jumlah potong setiap minggu, dan kualitas harus sempurna.

Suatu sore, saat Nayla sedang memeriksa hasil jahitan, Rafa pulang dengan wajah murung.

“Bu, tadi di sekolah Rafa sendirian waktu istirahat. Teman-teman main bola, tapi Rafa nggak diajak,” katanya pelan.

Nayla menatap anaknya, merasa bersalah. “Maaf, Nak… Ibu akhir-akhir ini sibuk sekali.”

Rafa menggeleng. “Nggak apa-apa. Tapi Rafa kangen main sama Ibu sore-sore.”

Kata-kata itu menusuk hati Nayla. Ia sadar, dalam mengejar mimpi, ia tak boleh kehilangan momen berharga bersama anaknya.

Malam itu, ia memutuskan untuk mengatur ulang jadwal. Pekerjaan tetap penting, tapi Rafa adalah alasan ia berjuang sejak awal. Ia mulai membagi waktu: dua jam setiap sore khusus untuk Rafa, meski itu berarti ia harus menjahit hingga larut malam.

Bu Ratna sempat menawarkan untuk mempekerjakan satu penjahit tambahan agar beban Nayla berkurang. Awalnya Nayla ragu, takut kehilangan kendali atas kualitas. Tapi ia juga tahu, jika ingin berkembang, ia harus belajar mempercayai orang lain.

Di tengah semua itu, Arga kembali menghubungi, kali ini hanya untuk menanyakan kabar Rafa. Nada suaranya terdengar lebih tenang, tidak lagi memaksa. Nayla menjawab seperlunya, menjaga jarak yang ia tahu penting untuk dirinya.

Di teras kontrakan, sambil menatap Rafa yang tertawa bermain di halaman, Nayla tersenyum. Hidupnya kini seperti kain yang dulu robek—sudah dijahit kembali, dan meski bekasnya tetap ada, ia menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Kerja sama dengan butik Bu Ratna berjalan lancar di awal. Pesanan datang rutin, dan Nayla mulai bisa menabung lebih banyak. Namun, semakin besar pesanan, semakin besar pula tekanan.

Suatu pagi, Bu Ratna menghubungi lewat telepon.

“Nayla, bulan depan ada event fashion di kota. Aku mau koleksi kita tampil di sana. Tapi kita harus siapkan minimal dua puluh setel baru, desain berbeda, dalam waktu tiga minggu.”

Nayla terdiam. Dua puluh setel dalam tiga minggu berarti bekerja hampir tanpa henti. Ia menoleh ke Rafa yang sedang sarapan. Anak itu tersenyum, tidak tahu bahwa ibunya sedang menimbang keputusan besar.

Sore itu, Nayla membicarakan hal ini dengan Sari.

“Kita sanggup nggak, Ri?”

Sari menghela napas. “Kalau kerja siang malam, mungkin bisa. Tapi kamu siap nggak ninggalin waktu sama Rafa?”

Pertanyaan itu menghantam Nayla. Ia ingat janji pada dirinya sendiri untuk tidak mengorbankan kebersamaan dengan Rafa demi pekerjaan, seberapapun pentingnya.

Di tengah kebimbangan itu, Arga datang menjemput Rafa. Saat tahu soal tawaran Bu Ratna, ia berkata,

“Kalau kamu ambil, aku bisa bantu urus Rafa sementara. Biar kamu fokus.”

Nayla menatapnya lama. Tawaran itu terdengar praktis, tapi ia tahu menerima bantuan Arga berarti memberi ruang lebih banyak untuknya masuk ke kehidupan mereka.

“Aku akan pikirkan,” jawab Nayla singkat.

Malam itu, setelah Rafa tidur, Nayla duduk di meja jahitnya. Ia menatap kain-kain yang menunggu untuk dipotong, lalu menulis di buku catatannya:

> Mimpi besar butuh pengorbanan. Tapi aku harus pastikan, yang aku korbankan bukan hal yang tak tergantikan.

Di luar, hujan turun deras. Di dalam hati, Nayla tahu—keputusan yang akan ia ambil kali ini bisa mengubah arah hidupnya dan Rafa, entah ke depan atau justru mundur.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel