Pustaka
Bahasa Indonesia

Aku Ubah Takdirku Sendiri

61.0K · Tamat
Yayan Xfriends
50
Bab
365
View
9.0
Rating

Ringkasan

Di balik senyum yang selalu ia pamerkan, Nayla menyimpan luka yang tak pernah sembuh. Lima tahun pernikahannya dengan Arga hanya dipenuhi janji-janji yang tak pernah ditepati, cinta yang perlahan memudar, dan pengkhianatan yang ia pura-pura tak lihat demi mempertahankan rumah tangga. Namun, ketika sebuah kejadian membuatnya tersadar bahwa ia telah kehilangan dirinya sendiri, Nayla memutuskan untuk berhenti menjadi korban. Ia memilih jalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—meninggalkan semua kenyamanan semu, memulai hidup dari nol, dan menata kembali mimpi-mimpi yang dulu ia kubur demi cinta. Perjalanan Nayla bukan hanya tentang melepaskan, tapi juga tentang menemukan kembali harga diri, keberanian, dan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Di tengah badai, ia bertemu orang-orang yang mengajarkannya bahwa takdir bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja—ia bisa diubah, jika kita berani melangkah. Namun, ketika Arga kembali mengetuk pintu dengan penyesalan yang terlambat, Nayla dihadapkan pada pilihan terbesar dalam hidupnya: memaafkan dan kembali, atau melangkah maju tanpa menoleh ke belakang. Aku Ubah Takdirku Sendiri adalah kisah tentang luka yang membentuk kekuatan, cinta yang diuji oleh waktu, dan keberanian seorang perempuan untuk menulis ulang akhir ceritanya sendiri.

RomansaIstriDewasaPerceraianKeluargaMenyedihkanCeritaDrama

bab 1

Hujan sore itu turun tanpa kompromi, menampar-nampar genting rumah dengan suara yang memecah keheningan. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi sayur asem yang sudah dingin di meja makan.

Nayla duduk di kursi rotan dekat jendela, menatap layar ponselnya yang baru saja bergetar. Pesan dari Arga, suaminya, singkat seperti biasa:

> “Aku pulang larut. Jangan tunggu.”

Tidak ada penjelasan. Tidak ada tanya kabar.

Pesan itu sudah menjadi rutinitas, sama seperti dinginnya tatapan Arga setiap pagi.

Di sofa, Rafa—anak mereka yang baru berusia enam tahun—tertidur dengan seragam sekolah yang belum sempat diganti. Rambutnya sedikit basah karena kehujanan saat pulang sekolah, tapi Arga bahkan tidak tahu. Nayla menghela napas, lalu menyelimuti putranya dengan hati-hati.

Ia melirik jam dinding. Pukul delapan malam. Hujan belum juga reda. Di luar, suara motor sesekali melintas, tapi bukan suara motor Arga.

Saat ia membereskan piring, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan pesan, melainkan sebuah foto yang dikirim dari nomor tak dikenal.

Foto itu menampilkan Arga, duduk di sebuah kafe, tersenyum lebar. Di sebelahnya, seorang perempuan muda dengan rambut tergerai, menatapnya penuh arti.

Jantung Nayla berdegup kencang. Tangannya bergetar, tapi matanya tak bisa lepas dari layar. Ia tidak menangis. Tidak marah. Hanya… hampa.

Hujan di luar semakin deras, seolah ikut menenggelamkan suara hatinya yang selama ini ia bungkam.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Nayla mulai bertanya pada dirinya sendiri:

Apakah ini hidup yang ingin aku jalani selamanya?

Pagi itu, langit Jakarta masih kelabu sisa hujan semalam. Udara lembap memenuhi rumah, tapi yang lebih menyesakkan adalah suasana di dalam hati Nayla.

Arga pulang menjelang subuh, langkahnya berat, aroma parfum asing masih samar tercium. Nayla tidak bertanya. Ia hanya menatap punggung suaminya yang masuk kamar tanpa sepatah kata.

Di meja makan, sarapan sudah ia siapkan: nasi goreng sederhana dan teh hangat. Tapi kursi di seberang tetap kosong. Arga keluar rumah terburu-buru, hanya meninggalkan suara pintu yang dibanting.

Nayla duduk sendirian, menatap piring yang masih penuh. Tangannya meremas ujung taplak meja, mencoba menahan air mata. Ia teringat foto yang dikirim semalam—senyum Arga yang dulu hanya untuknya, kini milik orang lain.

Siang harinya, Nayla bekerja di rumah menjahit pesanan tetangga. Rafa pulang sekolah, langsung memeluknya.

“Bu, nanti Rafa boleh ikut lomba mewarnai di sekolah? Bu guru bilang minggu depan,” ucapnya penuh semangat.

Nayla tersenyum tipis. “Boleh, Nak. Ibu akan datang lihat Rafa.”

Di dalam hati, ia berjanji—apapun yang terjadi, Rafa tidak akan merasakan sepi yang ia rasakan.

Malam itu, saat Rafa tidur, Nayla duduk di meja kecil dekat jendela. Ia membuka buku catatan yang sudah lama ia tinggalkan. Di halaman pertama, ia menulis:

> “Aku harus berani. Hidup ini milikku. Takdir ini bisa kuubah.”

Tangannya bergetar, tapi hatinya mulai mantap. Ia tahu, suatu hari nanti, ia akan meninggalkan semua ini. Bukan untuk membalas, tapi untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Sejak malam ia menulis kalimat itu di buku catatan, Nayla mulai bergerak. Tidak tergesa-gesa, tapi pasti. Ia tahu, untuk keluar dari lingkaran ini, ia butuh rencana.

Setiap kali Arga pulang larut, Nayla memanfaatkan waktu itu untuk menjahit lebih banyak pesanan. Uang hasilnya ia simpan di kaleng biskuit bekas, yang ia sembunyikan di belakang tumpukan kain di lemari.

Ia juga mulai mencari informasi tentang kontrakan murah di sekitar sekolah Rafa. Alasannya sederhana—ia tidak ingin Rafa harus pindah sekolah dan kehilangan teman-temannya.

Suatu sore, saat menjemput Rafa, ia melihat papan kecil bertuliskan “Disewakan – Hubungi Bu Rini” di pagar rumah sederhana bercat biru. Rumah itu mungil, tapi halaman depannya cukup untuk Rafa bermain sepeda. Nayla mencatat nomor teleponnya di ponsel.

Malamnya, ia menatap Rafa yang tertidur pulas. Ada rasa takut yang menyelinap—takut tidak sanggup, takut menyesal. Tapi di sisi lain, ada rasa lega membayangkan hidup tanpa teror sunyi dan tatapan dingin Arga.

Beberapa hari kemudian, ia memberanikan diri menelepon Bu Rini. Suaranya bergetar saat bertanya tentang harga sewa. Ternyata, jumlahnya masih bisa ia jangkau jika ia terus menabung dua bulan lagi.

Sejak itu, setiap kali Arga mengirim pesan “Jangan tunggu”, Nayla justru merasa sedikit lebih kuat. Ia tahu, setiap malam yang ia lewati adalah satu langkah lebih dekat menuju kebebasan.

Sudah hampir dua bulan Nayla menjalani rencananya diam-diam. Tabungan di kaleng biskuit itu semakin berat, dan setiap malam ia menghitungnya seperti menghitung jarak menuju kebebasan.

Namun, perubahan sikapnya rupanya mulai menarik perhatian Arga.

Suatu malam, hujan baru saja reda ketika suara motor berhenti di depan rumah. Nayla yang sedang menjahit di ruang tamu terkejut—Arga pulang lebih awal dari biasanya.

“Lagi sibuk banget, ya?” tanya Arga sambil melirik tumpukan kain di meja.

“Lumayan, pesanan banyak,” jawab Nayla singkat, matanya tetap fokus pada jahitan.

Arga duduk di sofa, menatapnya lama. “Kamu akhir-akhir ini beda. Nggak pernah nanya aku pulang jam berapa, nggak pernah marah. Ada apa?”

Nayla berhenti menjahit, menatapnya sebentar. “Mungkin aku sudah berhenti berharap.”

Kalimat itu membuat Arga terdiam. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu kaku.

Malam itu, suasana rumah terasa dingin meski udara lembap sisa hujan. Arga beberapa kali mencoba mengajak bicara, tapi Nayla hanya menjawab seperlunya. Ia tahu, semakin dekat hari kepergiannya, semakin ia harus menjaga jarak—agar hatinya tidak goyah.

Keesokan harinya, Arga mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Ia pulang lebih awal, mengajak Rafa bermain, bahkan membelikan makanan favorit Nayla. Tapi bagi Nayla, semua itu terasa seperti tambalan di kain yang sudah robek parah—tidak akan pernah kembali seperti semula.

Di dalam hati, ia mulai menghitung hari.

Bukan lagi menunggu Arga pulang, tapi menunggu saat ia dan Rafa benar-benar melangkah keluar dari rumah itu.

Pagi itu, udara terasa pengap meski matahari belum terlalu tinggi. Nayla duduk di lantai kamar, membuka lemari pelan-pelan. Dari balik tumpukan kain, ia mengeluarkan kaleng biskuit bekas yang menjadi rahasianya selama ini.

Tangannya gemetar saat menghitung uang di dalamnya. Lembar demi lembar, koin demi koin—hasil dari menjahit hingga larut malam, dari sisa belanja yang ia sisihkan, dari keberanian kecil yang ia kumpulkan setiap hari. Jumlahnya belum banyak, tapi cukup untuk membayar uang muka kontrakan Bu Rini.

Hari-hari berikutnya, Nayla mulai memindahkan barang-barang kecil secara diam-diam. Buku-buku Rafa, beberapa pakaian, dan foto-foto lama yang ingin ia simpan. Semua ia masukkan ke dalam tas belanja besar agar tidak mencurigakan.

Setiap kali ia melewati rumah kontrakan bercat biru itu, hatinya berdegup. Ada rasa takut, tapi juga harapan. Bu Rini selalu menyambutnya dengan senyum hangat. “Pelan-pelan saja, Bu Nayla. Yang penting nanti pas pindah, semua sudah siap,” katanya.

Di rumah, Nayla semakin menjaga jarak dengan Arga. Ia tidak lagi menunggu di ruang tamu, tidak lagi bertanya kapan pulang. Arga mulai memperhatikan perubahan itu—kadang pulang lebih awal, kadang membawa makanan kesukaan Rafa. Tapi bagi Nayla, semua itu terasa seperti hujan di musim kemarau—datang terlambat, dan tak cukup untuk menyuburkan tanah yang sudah retak.

Malam-malamnya kini dihabiskan dengan menatap Rafa yang tertidur pulas. Dalam hati, ia berbisik, Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi kita akan pergi. Dan kali ini, Ibu akan pastikan kita tidak kembali.