Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 4

Sejak menerima undangan pameran UMKM, hari-hari Nayla terasa lebih sibuk dari biasanya. Ia harus menyiapkan stok baju, memperbaiki beberapa model lama, dan memikirkan desain baru yang bisa menarik perhatian pengunjung.

Setiap malam, suara mesin jahit menjadi teman setianya. Rafa sering duduk di sampingnya, menggambar atau sekadar bercerita tentang sekolah.

“Bu, nanti kalau baju Ibu laku semua, kita bisa beli sepeda baru?” tanyanya polos.

Nayla tersenyum. “Bisa, Nak. Tapi yang paling penting, Ibu mau kita bisa hidup lebih baik.”

Persiapan itu tidak selalu mulus. Beberapa kali, Nayla kehabisan kain di tengah proses menjahit. Modal yang terbatas membuatnya harus pintar-pintar mengatur pengeluaran. Ia bahkan sempat berpikir untuk membatalkan keikutsertaan, tapi setiap kali melihat Rafa, ia kembali menguatkan hati.

Suatu sore, Bu Rini datang membawa kabar. “Nay, aku sudah bicara sama pengurus pameran. Mereka kasih diskon biaya sewa stand untuk kamu. Katanya, mereka kagum sama semangat kamu.”

Nayla hampir tak percaya. “Serius, Bu?”

Bu Rini mengangguk. “Jangan sia-siakan kesempatan ini.”

Malam sebelum pameran, Nayla duduk di ruang tamu kontrakan kecilnya. Semua baju sudah rapi di gantungan, kartu nama sederhana sudah ia cetak. Di luar, hujan turun pelan. Ia menatap hasil kerjanya dengan perasaan campur aduk—takut gagal, tapi juga bangga karena sudah sampai sejauh ini.

Di dalam hati, ia berbisik, Besok, aku akan buktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa.

Pagi itu, udara masih dingin ketika Nayla bangun. Ia menatap tumpukan baju yang sudah rapi di dalam kardus dan gantungan. Semua hasil kerja kerasnya selama berminggu-minggu.

Rafa ikut bangun lebih awal. “Bu, aku ikut bantu bawa, ya?” katanya sambil tersenyum lebar.

Nayla mengangguk. “Boleh, tapi yang ringan saja.”

Mereka berangkat ke balai kota menggunakan mobil bak terbuka milik Bu Rini. Sepanjang perjalanan, Nayla memandangi langit yang mulai cerah. Di dalam hatinya, ada rasa gugup yang sulit dijelaskan—takut dagangannya tidak laku, takut orang meremehkan, tapi juga ada semangat yang membuncah.

Di lokasi pameran, stand-stand sudah mulai ramai. Ada penjual makanan, kerajinan tangan, dan berbagai produk lokal. Stand Nayla berada di sudut, dekat pintu masuk. Ia menata baju-bajunya dengan hati-hati, menggantungnya sesuai warna dan model.

Beberapa pengunjung mulai mampir. Ada yang hanya melihat-lihat, ada yang memuji jahitannya, dan beberapa langsung membeli. Setiap senyuman pelanggan membuat rasa lelah Nayla terbayar.

Menjelang siang, seorang perempuan paruh baya dengan penampilan rapi menghampiri. Ia memperhatikan detail jahitan Nayla dengan seksama.

“Ibu yang buat semua ini?” tanyanya.

“Iya, Bu. Saya jahit sendiri,” jawab Nayla.

Perempuan itu tersenyum. “Saya pemilik butik kecil di kota. Kalau Ibu mau, saya tertarik memesan dalam jumlah banyak untuk koleksi musim depan.”

Nayla tertegun. Tawaran itu seperti pintu besar yang tiba-tiba terbuka di hadapannya. Ia mengangguk pelan, mencoba menahan rasa haru. “Terima kasih, Bu. Saya mau.”

Sore harinya, saat pameran hampir selesai, Rafa berlari memeluknya. “Bu, semua baju Ibu hampir habis! Hebat!”

Nayla memeluk anaknya erat. “Ini semua karena kita berani mencoba, Nak.”

Di perjalanan pulang, ia menatap senja yang mulai turun. Untuk pertama kalinya, ia merasa masa depannya benar-benar mulai terbentuk—bukan lagi sekadar bertahan, tapi melangkah maju.

Sejak pameran UMKM itu, hidup Nayla berubah lebih cepat dari yang ia bayangkan. Pesanan dari butik di kota mulai berdatangan. Jumlahnya tidak main-main—puluhan potong baju dengan tenggat waktu yang ketat.

Awalnya, Nayla merasa bangga. Tapi setelah beberapa hari, ia mulai merasakan tekanan. Mesin jahitnya yang sudah tua sering macet, tangannya pegal karena bekerja hingga larut malam, dan waktu bersama Rafa semakin berkurang.

Suatu malam, Rafa mendekatinya sambil membawa buku gambar.

“Bu, lihat gambar Rafa. Tadi di sekolah disuruh gambar keluarga,” katanya sambil tersenyum.

Nayla melihat gambar itu—ada dirinya, Rafa, dan Arga. Hatinya tercekat.

“Kok ada Papa?” tanyanya lembut.

Rafa mengangkat bahu. “Soalnya Papa kan tetap keluarga. Bu guru bilang keluarga itu nggak harus tinggal serumah.”

Nayla terdiam. Kata-kata sederhana itu seperti mengingatkannya bahwa meski ia sudah memilih jalannya sendiri, Rafa tetap punya ikatan dengan masa lalu yang ia tinggalkan.

Beberapa hari kemudian, Arga datang mengantar Rafa pulang. Ia melihat Nayla sedang menjahit sambil menahan rasa lelah.

“Kamu butuh bantuan?” tanyanya.

Nayla menggeleng. “Aku bisa sendiri.”

Arga menatapnya serius. “Aku tahu kamu bisa. Tapi kadang, menerima bantuan bukan berarti lemah.”

Kalimat itu membuat Nayla berpikir. Ia memang ingin mandiri, tapi ia juga sadar, membangun masa depan tidak selalu harus dilakukan sendirian.

Malam itu, ia duduk di meja jahit sambil menatap daftar pesanan. Di luar, hujan turun deras. Di dalam hatinya, ia tahu—tantangan ini bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk menguji seberapa jauh ia siap melangkah.

Sejak menerima pesanan besar dari butik di kota, Nayla sadar ia tidak bisa lagi bekerja sendirian. Waktu terasa semakin sempit, sementara permintaan terus bertambah.

Suatu pagi, ia memberanikan diri berbicara pada Bu Rini.

“Bu, saya butuh bantuan. Kalau ada tetangga yang bisa menjahit, mungkin saya bisa ajak kerja sama.”

Bu Rini tersenyum. “Kebetulan, ada Sari. Dia dulu kerja di konveksi, tapi sekarang di rumah saja. Mau saya kenalkan?”

Keesokan harinya, Sari datang. Perempuan itu ramah, cekatan, dan cepat mengerti pola yang Nayla buat. Dalam waktu singkat, mereka bekerja seperti tim yang sudah lama terbentuk.

Dengan adanya bantuan, Nayla bisa membagi waktu lebih baik. Ia mulai punya waktu sore untuk menemani Rafa bermain di halaman atau membantunya mengerjakan PR. Rafa terlihat lebih bahagia, dan itu membuat Nayla merasa semua perjuangannya terbayar.

Namun, perubahan ini juga membawa tantangan baru. Pesanan yang semakin banyak membuat Nayla harus memikirkan modal tambahan untuk membeli kain dalam jumlah besar. Ia sempat teringat tawaran Arga, tapi hatinya masih ragu.

Suatu malam, saat mereka sedang merapikan hasil jahitan, Sari berkata,

“Nay, kalau kita serius, usaha ini bisa berkembang. Kita bisa bikin merek sendiri.”

Nayla terdiam. Kata-kata itu seperti menyalakan api kecil di dalam dirinya. Ia memang ingin maju, tapi langkah itu berarti keluar dari zona aman yang baru saja ia bangun.

Malam itu, setelah Sari pulang, Nayla duduk di meja jahitnya. Ia menatap kain yang belum dipotong, lalu menulis di buku catatannya:

> Bukan hanya bertahan. Aku harus tumbuh.

Di luar, hujan turun pelan. Tapi di dalam hatinya, Nayla merasa sedang memasuki musim baru—musim di mana ia bukan lagi sekadar mengubah takdir, tapi mulai menulisnya dengan tangannya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel