bab 6
Pagi itu, Nayla duduk di meja makan dengan secangkir teh yang mulai dingin. Di depannya, ada dua kertas: satu adalah kontrak kerja sama untuk event fashion dari Bu Ratna, satu lagi adalah jadwal harian Rafa yang ia tulis sendiri.
Ia menatap keduanya lama. Mengambil tawaran berarti melangkah lebih jauh dalam karier, tapi juga berarti waktu bersama Rafa akan terpangkas. Menolak berarti menjaga keseimbangan, tapi mungkin melewatkan kesempatan besar.
Siang harinya, Nayla memutuskan untuk berbicara langsung dengan Bu Ratna.
“Bu, saya mau ikut event itu, tapi saya punya syarat. Saya hanya bisa ambil setengah dari target pesanan yang Ibu minta. Saya ingin tetap punya waktu untuk anak saya,” ucap Nayla tegas.
Bu Ratna terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Saya suka orang yang tahu prioritasnya. Baik, kita sesuaikan. Tapi pastikan kualitas tetap terjaga.”
Napas Nayla terasa lebih lega. Ia tahu, ini bukan keputusan yang akan membuat semua orang senang, tapi setidaknya ia tidak mengorbankan hal yang paling berharga.
Beberapa hari kemudian, produksi dimulai. Nayla, Sari, dan satu penjahit tambahan yang direkomendasikan Bu Ratna bekerja bersama. Suasana ruang kerja lebih hidup, dan meski lelah, Nayla merasa langkah ini tepat.
Suatu sore, Rafa masuk ke ruang jahit sambil membawa dua gelas es teh.
“Bu, ini buat Ibu sama Tante Sari. Biar nggak haus,” katanya sambil tersenyum bangga.
Nayla menatap anaknya, merasa hangat di dada. Inilah alasan aku berjuang, pikirnya.
Malam itu, saat semua orang sudah pulang, Nayla duduk sendirian di ruang kerja. Ia menatap deretan baju yang hampir selesai, lalu menulis di buku catatannya:
> Kadang, mengubah takdir bukan soal berlari secepat mungkin. Tapi soal memilih langkah yang tepat, agar kita tidak kehilangan arah.
Hari event fashion akhirnya tiba. Sejak subuh, Nayla sudah bersiap. Koleksi yang ia buat bersama Sari dan penjahit tambahan dibungkus rapi, lalu diangkut ke lokasi acara di pusat kota.
Rafa ikut, mengenakan kemeja putih yang baru saja dijahit ibunya. “Biar Ibu bangga punya asisten keren,” katanya sambil tersenyum lebar.
Di lokasi, suasana begitu meriah. Lampu-lampu panggung menyala terang, musik mengalun, dan para model bersiap di belakang panggung. Koleksi Nayla mendapat giliran tampil di sesi sore. Saat melihat gaunnya dikenakan model dan berjalan di runway, Nayla merasakan campuran gugup dan bangga. Tepuk tangan penonton membuat matanya berkaca-kaca.
Beberapa pengunjung menghampiri stand-nya setelah pertunjukan, menanyakan harga dan memuji detail jahitan. Bahkan ada seorang pembeli dari luar kota yang meminta kartu nama dan menawarkan kerja sama.
Namun, di tengah kesibukan itu, ponsel Nayla bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
> “Bu Nayla, ini dari sekolah. Rafa jatuh saat bermain di area luar gedung. Tidak parah, tapi sebaiknya Ibu segera ke sini.”
Jantung Nayla langsung berdegup kencang. Ia menoleh mencari Rafa, tapi anak itu memang tadi sempat bermain di area anak-anak yang disediakan panitia. Tanpa pikir panjang, ia meninggalkan stand dan berlari menuju ruang medis kecil di sisi gedung.
Rafa duduk di kursi, lututnya tergores, tapi ia tersenyum saat melihat ibunya. “Bu, nggak apa-apa kok. Cuma jatuh sedikit.”
Nayla memeluknya erat. “Maaf, Nak… Ibu tadi sibuk.”
Rafa menggeleng. “Ibu nggak salah. Rafa senang lihat baju Ibu di panggung.”
Sore itu, Nayla kembali ke stand dengan Rafa di sisinya. Ia sadar, sebesar apapun panggung yang ia capai, tempat terpentingnya tetap di sisi anaknya.
Di perjalanan pulang, ia menatap Rafa yang tertidur di pangkuannya. Dalam hati, ia berjanji: Aku akan terus melangkah, tapi tak akan pernah meninggalkan yang paling berharga.
Seminggu setelah event fashion, telepon Nayla nyaris tak berhenti berdering. Ada pelanggan baru yang ingin memesan, ada butik kecil dari luar kota yang tertarik bekerja sama, bahkan seorang blogger fashion lokal mengunggah foto koleksi Nayla di media sosial.
Pesanan meningkat drastis. Sari sampai harus membawa mesin jahit tambahan dari rumahnya. Ruang kerja Nayla yang sempit kini penuh kain, benang, dan gantungan baju.
Namun, di tengah kesibukan itu, Nayla mulai merasa ada yang bergeser. Sore-sore yang biasanya ia habiskan bersama Rafa kini sering terlewat. Beberapa kali Rafa sudah tertidur ketika ia selesai bekerja.
Suatu malam, saat Nayla masih menjahit, Rafa keluar dari kamarnya sambil membawa selimut.
“Bu, boleh Rafa tidur di sini aja? Biar dekat sama Ibu,” katanya pelan.
Nayla menatap anaknya, lalu mematikan mesin jahit. “Boleh. Tapi malam ini Ibu nggak kerja. Kita cerita-cerita, ya.”
Mereka duduk di lantai, berbagi cerita tentang sekolah, teman-teman, dan mimpi Rafa yang ingin punya lapangan bola di dekat rumah. Nayla sadar, inilah momen yang tidak bisa dibeli dengan uang atau kesuksesan.
Keesokan harinya, Nayla membuat keputusan. Ia akan tetap menerima pesanan, tapi dengan batas yang jelas. Ia menolak beberapa tawaran besar yang mengharuskannya bekerja tanpa henti.
“Kalau aku kehilangan waktu sama Rafa, semua ini nggak ada artinya,” ucapnya pada Sari.
Sari mengangguk. “Kamu benar, Nay. Usaha bisa berkembang pelan-pelan, tapi anak nggak akan kecil selamanya.”
Malam itu, Nayla menulis di buku catatannya:
> Kesuksesan bukan hanya soal seberapa jauh aku melangkah, tapi juga seberapa banyak yang bisa kubawa bersamaku di perjalanan.
Di luar, angin malam berhembus lembut. Di dalam, Nayla merasa mantap—ia sudah menemukan ritme hidup yang ingin ia pertahankan.
Sejak memutuskan membatasi pesanan demi menjaga waktu bersama Rafa, Nayla merasa hidupnya lebih seimbang. Ia tetap sibuk, tapi tidak lagi kehilangan sore-sore berharga bersama anaknya.
Kerja sama dengan butik Bu Ratna masih berjalan, namun kini Nayla mulai memikirkan langkah berikutnya: membangun merek sendiri. Ia dan Sari duduk di teras kontrakan suatu sore, membicarakan ide nama, logo, dan konsep.
“Kalau kita punya merek sendiri, orang akan ingat karya kita, bukan cuma butik yang menjualnya,” kata Sari.
Nayla mengangguk. “Aku mau nama yang punya arti. Sesuatu yang mengingatkan aku kenapa aku mulai.”
Akhirnya, mereka sepakat memberi nama “RafaNay”—gabungan nama Rafa dan Nayla, simbol perjalanan mereka berdua.
Langkah berikutnya adalah mencari tempat kerja yang lebih layak. Ruang kontrakan sudah terlalu sempit untuk menampung kain, mesin, dan pekerja tambahan. Nayla mulai menabung lebih agresif, menyisihkan sebagian keuntungan setiap minggu.
Suatu hari, Bu Rini memberi kabar bahwa ada rumah kecil di ujung kampung yang disewakan murah. Halamannya cukup luas untuk dijadikan ruang kerja sekaligus tempat tinggal. Nayla mengunjungi rumah itu bersama Rafa.
“Bu, kalau kita pindah ke sini, aku bisa main bola di halaman,” kata Rafa sambil berlari-lari kecil.
Nayla tersenyum. “Iya, Nak. Dan Ibu bisa menjahit sambil lihat kamu main.”
Malam itu, Nayla menatap buku catatannya. Di halaman terakhir, ia menulis:
> Rumah bukan hanya tempat kita tinggal. Rumah adalah tempat kita tumbuh, bersama orang-orang yang kita cintai.
Ia tahu, perjalanan ini belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sedang membangun sesuatu yang kokoh—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Rafa.
