bab 3
Sejak pertemuan sore itu, Arga memang tidak lagi memaksa Nayla untuk pulang. Ia hanya sesekali datang menjemput Rafa untuk bermain, lalu mengantarnya kembali sebelum malam. Hubungan mereka kini sebatas orang tua yang berbagi tanggung jawab, tanpa ikatan hati.
Bagi Nayla, itu sudah cukup. Ia tidak ingin Rafa kehilangan sosok ayah, tapi ia juga tidak mau kembali ke rumah yang membuatnya kehilangan dirinya sendiri.
Hari-hari di kontrakan kecil itu tetap penuh perjuangan. Pagi, Nayla membantu di kios sayur milik teman Bu Rini. Siang, ia menjahit pesanan pelanggan. Malam, ia menemani Rafa belajar atau sekadar mendengarkan cerita anak itu tentang sekolah.
Suatu malam, saat mereka makan malam sederhana—nasi, sayur bening, dan tempe goreng—Rafa berkata,
“Bu, Rafa senang di sini. Walaupun rumahnya kecil, tapi Ibu selalu ada.”
Kalimat itu membuat Nayla terdiam, lalu tersenyum sambil mengusap kepala anaknya. “Itu yang paling penting, Nak. Kita saling ada.”
Beberapa minggu kemudian, Bu Rini memberi kabar bahwa ada pelatihan menjahit gratis dari sebuah LSM di kota. Nayla sempat ragu—perjalanan jauh, waktu yang harus dibagi, dan rasa takut mencoba hal baru. Tapi ia teringat kalimat yang pernah ia tulis di buku catatannya:
> Takdir ini bisa kuubah.
Ia memutuskan untuk ikut. Setiap Sabtu pagi, ia berangkat naik angkot, belajar teknik menjahit yang lebih modern, bahkan mulai mengenal mesin jahit listrik. Pelan-pelan, pesanan jahitannya bertambah, dan ia bisa menabung sedikit lebih banyak.
Suatu sore, saat menjemur pakaian, Nayla menatap langit yang mulai berwarna jingga. Ia sadar, hidupnya belum sepenuhnya mudah. Tapi kini, setiap langkah yang ia ambil adalah pilihannya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa… merdeka.
Musim hujan mulai datang. Atap seng kontrakan sering berisik saat hujan deras, tapi Nayla sudah terbiasa. Kini, suara itu justru menjadi pengingat bahwa ia sudah melewati badai yang lebih besar dalam hidupnya.
Pelatihan menjahit yang ia ikuti mulai membuahkan hasil. Nayla kini bisa membuat pola baju sendiri, bahkan menerima pesanan seragam sekolah dari beberapa orang tua di lingkungan sekitar. Pendapatannya perlahan meningkat, dan untuk pertama kalinya sejak ia pergi dari rumah Arga, ia bisa menabung tanpa rasa takut uang itu akan hilang.
Suatu sore, Rafa pulang sekolah sambil membawa kertas pengumuman lomba menggambar. “Bu, minggu depan ada lomba. Bu guru bilang Ibu boleh datang lihat,” katanya dengan mata berbinar.
Nayla tersenyum. “Tentu, Nak. Ibu akan ada di sana.”
Malam itu, saat ia sedang menjahit, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor Arga:
> “Aku cuma mau bilang, terima kasih sudah izinkan aku ketemu Rafa. Aku lihat kamu sekarang… lebih bahagia. Jaga dirimu.”
Nayla menatap layar ponsel lama, lalu meletakkannya tanpa membalas. Bukan karena benci, tapi karena ia tahu, beberapa pintu memang harus tetap tertutup agar langkah ke depan tidak goyah.
Beberapa minggu kemudian, Bu Rini mengajaknya bergabung dalam bazar kecil di balai desa. Nayla awalnya ragu, tapi ia mencoba. Di sana, ia menjual beberapa baju buatannya dan mendapat banyak pujian. Bahkan ada pelanggan yang memesan dalam jumlah besar untuk acara komunitas.
Saat berjalan pulang sore itu, Rafa menggandeng tangannya erat. “Bu, nanti kalau kita punya rumah sendiri, boleh ada halaman yang lebih luas? Biar aku bisa main bola sama teman-teman.”
Nayla tersenyum, menatap langit senja. “Boleh, Nak. Kita akan wujudkan itu. Pelan-pelan.”
Di dalam hati, ia tahu—perjalanannya masih panjang. Tapi kini, setiap langkah yang ia ambil adalah miliknya sendiri. Dan itu, bagi Nayla, adalah kemenangan yang tak ternilai.
Nama Nayla mulai dikenal di lingkungan sekitar. Orang-orang memanggilnya “Bu Nayla penjahit” dengan nada ramah. Pesanan jahitannya semakin banyak—mulai dari seragam sekolah, gamis sederhana, hingga baju pesta.
Setiap pagi, ia mengantar Rafa ke sekolah, lalu melanjutkan pekerjaan di rumah. Siang hari, ia membantu di kios sayur, dan sore kembali menjahit. Hidupnya padat, tapi ia merasa puas.
Suatu hari, seorang pelanggan baru datang—perempuan muda bernama Sinta, yang memesan kebaya untuk acara pernikahan kakaknya. Saat mengukur badan, Sinta berkata, “Bu Nayla, saya dengar Ibu pindah ke sini sendirian sama anak. Hebat, ya, bisa mandiri.”
Nayla tersenyum tipis. “Bukan hebat, cuma… terpaksa belajar kuat.”
Namun, kabar tentang keberhasilannya rupanya sampai juga ke telinga Arga. Beberapa minggu kemudian, Arga datang menjemput Rafa dan berkata, “Aku bangga lihat kamu sekarang. Tapi… aku juga takut kamu nggak butuh aku lagi.”
Nayla menatapnya tenang. “Aku memang nggak butuh kamu untuk bertahan hidup. Tapi Rafa tetap butuh ayahnya.”
Arga mengangguk, tapi tatapannya menyimpan rasa yang sulit dibaca. Nayla tahu, masa lalu itu belum benar-benar hilang—ia hanya memilih untuk tidak membiarkannya menguasai masa depannya.
Malam itu, setelah Rafa tidur, Nayla duduk di meja jahitnya. Di luar, hujan turun pelan. Ia menatap kain yang akan ia potong, lalu tersenyum kecil. Hidupnya kini seperti kain itu—pernah kusut, pernah robek, tapi di tangannya sendiri, ia bisa menjahitnya kembali menjadi sesuatu yang indah.
Musim hujan belum berakhir, tapi hidup Nayla mulai terasa lebih terang. Pesanan jahitannya semakin banyak, bahkan ia mulai menerima order dari luar kampung berkat rekomendasi pelanggan.
Suatu siang, saat ia sedang mengukur kain di meja kerja, teleponnya berdering. Nomor tak dikenal.
“Selamat siang, Bu Nayla? Saya Rani, dari komunitas UMKM kota. Kami dengar Ibu punya keterampilan menjahit yang bagus. Kami mau mengundang Ibu ikut pameran produk lokal bulan depan.”
Nayla terdiam sejenak. Pameran di kota berarti kesempatan besar—bisa memperluas jaringan, menambah pelanggan, bahkan mungkin membuka jalan untuk usaha yang lebih besar. Tapi itu juga berarti ia harus menyiapkan modal, stok barang, dan waktu ekstra.
Malamnya, ia membicarakan hal itu dengan Bu Rini. “Kalau ada kesempatan, ambil, Nay. Rezeki nggak datang dua kali dengan cara yang sama,” kata Bu Rini sambil menepuk bahunya.
Beberapa hari kemudian, Arga datang menjemput Rafa. Saat melihat Nayla sibuk memotong kain, ia bertanya, “Kamu mau ikut pameran? Aku dengar dari tetangga.”
Nayla mengangguk singkat. “Iya. Kesempatan bagus.”
Arga tersenyum tipis. “Kalau butuh modal, aku bisa bantu.”
Nayla menatapnya lama. Tawaran itu menggiurkan—modal adalah hal yang paling ia khawatirkan. Tapi ia juga tahu, menerima bantuan Arga bisa berarti membuka pintu yang sudah ia tutup rapat.
“Aku akan usahakan sendiri,” jawab Nayla akhirnya. “Kalau aku berhasil, aku mau itu karena kerja keras aku, bukan karena hutang budi.”
Arga mengangguk, meski matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dibaca. Rafa, yang tidak mengerti ketegangan di antara mereka, hanya tersenyum sambil memamerkan gambar yang ia buat di sekolah.
Malam itu, Nayla duduk di meja jahitnya, menatap tumpukan kain yang harus ia selesaikan. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Tapi ia juga tahu, setiap jahitan yang ia buat adalah langkah kecil menuju hidup yang benar-benar ia pilih sendiri.
