Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 2

Hujan turun sejak sore, membasahi jalanan dan membuat udara di dalam rumah terasa lembap. Lampu ruang tamu menyala redup, hanya ditemani suara tetesan air dari talang yang bocor. Nayla duduk di meja makan, menyelesaikan jahitan terakhir untuk pesanan pelanggan.

Pukul sembilan malam, suara motor berhenti di depan rumah. Nayla mengira Arga akan masuk seperti biasa—diam, langsung ke kamar, tanpa menoleh. Tapi kali ini berbeda. Arga masuk sambil membawa kantong plastik berisi martabak manis.

“Aku beli ini buat kamu sama Rafa,” katanya sambil meletakkan kantong di meja.

Nayla menatapnya sebentar. “Terima kasih.”

Mereka duduk berhadapan. Arga memotong martabak, lalu menatap Nayla lama.

“Kamu akhir-akhir ini beda. Dingin. Ada yang kamu sembunyikan?”

Nayla menunduk, mencoba menjaga nada suaranya tetap datar. “Nggak ada.”

Arga menghela napas, suaranya terdengar berat. “Kalau ada masalah, bilang. Jangan diam.”

Nayla ingin sekali mengatakan semuanya—tentang foto di kafe, tentang malam-malam sepi, tentang rasa lelah yang menumpuk. Tapi ia tahu, kata-kata itu hanya akan memicu pertengkaran yang tak ada ujungnya.

Setelah makan, Arga masuk kamar lebih dulu. Nayla membereskan meja, lalu berjalan ke kamar Rafa. Anak itu tertidur pulas, memeluk boneka dinosaurus kesayangannya. Nayla duduk di tepi ranjang, mengelus rambutnya.

Sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi kita akan pergi, bisiknya dalam hati.

Di luar, hujan kembali turun. Kali ini, Nayla merasa setiap tetesnya seperti menghitung mundur waktu menuju hari ia benar-benar melangkah keluar dari rumah ini.

Pagi itu, langit mendung. Udara terasa berat, seolah ikut menahan napas bersama Nayla. Ia baru saja pulang dari kontrakan Bu Rini, membawa tas belanja besar berisi beberapa baju Rafa, mainan kecil, dan selimut tipis. Semua itu ia pindahkan sedikit demi sedikit agar tidak mencolok.

Saat membuka pintu rumah, ia terkejut melihat Arga duduk di ruang tamu. Televisi menyala, tapi matanya tidak tertuju ke layar—melainkan ke Nayla.

“Dari mana?” suaranya datar, tapi nadanya mengandung selidik.

Nayla berusaha tenang. “Belanja di pasar.”

Arga melirik tas di tangannya. “Boleh lihat?”

Jantung Nayla berdegup kencang. Ia tahu, jika Arga melihat isi tas itu, rencananya bisa berantakan. Dengan cepat ia menjawab, “Nggak usah, cuma baju-baju Rafa yang mau dicuci di rumah Ibu.”

Arga tidak langsung membalas. Ia hanya menatap Nayla lama, seolah mencoba membaca pikirannya. “Akhir-akhir ini kamu sering keluar. Ada yang kamu sembunyikan?”

Nayla menunduk, pura-pura sibuk membuka resleting tas. “Nggak ada. Aku cuma butuh udara segar.”

Arga mengangguk pelan, tapi tatapannya tetap menusuk. “Kalau ada yang mau kamu omongin, bilang. Jangan bikin aku cari tahu sendiri.”

Nayla hanya tersenyum tipis, lalu berjalan ke kamar.

Di dalam kamar, ia menutup pintu dan bersandar di baliknya. Tangannya gemetar. Ia sadar, waktunya semakin sempit. Arga mulai curiga, dan jika ia menunggu terlalu lama, semua bisa gagal.

Malam itu, setelah Rafa tidur, Nayla membuka buku catatannya dan menulis satu kalimat:

> Lusa, aku pergi.

Ia menatap tulisan itu lama, lalu menutup buku dengan hati yang berdebar. Tidak ada jalan kembali.

Subuh itu, udara terasa berbeda. Bukan hanya dingin, tapi juga berat—seperti menandakan sesuatu akan terjadi. Nayla bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan sederhana untuk Rafa, lalu mulai memeriksa tas besar yang sudah ia sembunyikan di bawah ranjang.

Di dalamnya ada pakaian secukupnya, dokumen penting, dan sedikit uang tunai. Semua sudah siap. Hari ini, ia dan Rafa akan meninggalkan rumah itu.

Rafa masih terlelap ketika Nayla duduk di tepi ranjang, mengelus rambutnya. “Hari ini kita mulai hidup baru, Nak,” bisiknya pelan.

Namun, rencana itu terguncang ketika suara pintu kamar terbuka. Arga berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada tas besar di lantai.

“Kamu mau ke mana?” suaranya rendah, tapi tajam.

Nayla terdiam. Jantungnya berdegup kencang.

“Aku tanya, kamu mau ke mana?” Arga melangkah masuk, wajahnya tegang.

Nayla menarik napas panjang. “Aku mau pergi. Aku nggak bisa lagi hidup seperti ini.”

Arga mengerutkan kening. “Pergi? Sama anak? Kamu pikir gampang?”

“Gampang atau nggak, aku harus coba. Aku nggak mau Rafa tumbuh di rumah yang penuh dingin dan diam,” jawab Nayla, suaranya bergetar tapi tegas.

Arga terdiam beberapa detik, lalu berkata lirih, “Kalau aku berubah?”

Nayla menatapnya, matanya basah. “Kamu punya lima tahun untuk berubah. Sekarang, aku yang berubah.”

Tanpa menunggu jawaban, Nayla meraih tasnya. Rafa terbangun, mengucek mata, lalu memeluk ibunya. “Kita mau ke mana, Bu?”

“Kita mau pulang… ke tempat yang bikin kita bahagia,” jawab Nayla sambil tersenyum tipis.

Arga hanya berdiri di pintu, menatap mereka pergi. Hujan rintik mulai turun, membasahi langkah Nayla yang mantap meninggalkan rumah itu—dan masa lalunya.

Pagi pertama di kontrakan baru terasa asing. Dindingnya tipis, cat birunya mulai pudar, dan atap sengnya berderit pelan ketika angin lewat. Tapi bagi Nayla, tempat ini adalah kebebasan—meski sederhana, ia bisa bernapas tanpa rasa takut.

Rafa duduk di lantai, sibuk menyusun mainan yang mereka bawa. “Bu, rumah ini kecil, tapi enak. Ada halaman buat main bola,” katanya sambil tersenyum.

Nayla mengangguk, menahan haru. “Iya, Nak. Di sini kita bisa mulai lagi.”

Hari-hari pertama tidak mudah. Nayla harus membagi waktu antara mengurus Rafa, bekerja di toko roti milik Bu Rini, dan menjahit pesanan tetangga. Uang yang masuk pas-pasan, tapi cukup untuk makan dan membayar sewa.

Malam-malamnya sering diisi rasa lelah bercampur cemas. Ia khawatir Arga akan datang mencari, atau Rafa akan bertanya kenapa ayahnya tidak ikut. Tapi setiap kali melihat Rafa tertawa lepas di halaman, Nayla tahu ia sudah memilih jalan yang benar.

Suatu sore, saat menjemur pakaian, Bu Rini menghampiri. “Kalau butuh tambahan kerja, saya bisa kenalin ke teman yang punya kios sayur di pasar. Lumayan buat nambah penghasilan.”

Nayla tersenyum, merasa ada sedikit cahaya di tengah perjuangannya. “Terima kasih, Bu. Saya mau.”

Di dalam hati, ia mulai percaya bahwa meski awal ini rapuh, ia bisa membangunnya menjadi sesuatu yang kuat. Takdirnya kini ada di tangannya sendiri.

Sudah hampir tiga bulan Nayla dan Rafa tinggal di kontrakan kecil bercat biru itu. Hidup mereka memang sederhana, tapi jauh lebih tenang. Rafa mulai terbiasa dengan rutinitas baru, dan Nayla perlahan membangun penghasilan dari menjahit dan membantu di kios sayur milik teman Bu Rini.

Suatu sore, saat Nayla sedang menjemur pakaian, suara motor berhenti di depan pagar. Ia menoleh, dan darahnya seakan berhenti mengalir—Arga berdiri di sana, menatapnya.

“Nayla…” suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat Rafa yang sedang bermain bola di halaman menoleh.

“Papa!” seru Rafa, berlari menghampiri. Arga memeluk anaknya erat, lalu menatap Nayla dengan mata yang penuh sesuatu—entah penyesalan, entah kerinduan.

“Aku cuma mau lihat kalian,” kata Arga. “Aku… kangen.”

Nayla berdiri kaku. “Kita baik-baik saja di sini. Kamu nggak perlu khawatir.”

Arga menghela napas. “Aku tahu aku salah. Aku mau perbaiki semuanya. Pulanglah.”

Kata-kata itu membuat dada Nayla sesak. Ia menatap Rafa yang tersenyum bahagia di pelukan ayahnya, lalu kembali menatap Arga.

“Arga… pulang itu bukan cuma soal pindah rumah. Pulang itu soal hati. Dan hatiku… sudah nggak di sana lagi,” ucap Nayla, suaranya bergetar tapi tegas.

Arga terdiam. Rafa memandang bergantian antara ayah dan ibunya, belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi.

“Aku nggak mau Rafa kehilangan ayahnya,” lanjut Nayla, “tapi aku juga nggak mau kehilangan diriku sendiri.”

Arga menunduk, lalu mengangguk pelan. “Kalau itu maumu… aku akan hormati. Tapi izinkan aku tetap ada untuk Rafa.”

Nayla mengangguk. “Itu haknya.”

Arga pamit sore itu, meninggalkan jejak langkah yang berat di jalanan basah. Nayla berdiri di teras, memeluk Rafa, menyadari bahwa ujian terbesarnya bukan hanya meninggalkan masa lalu—tapi tetap teguh ketika masa lalu mencoba kembali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel