Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 9

Aku meremas surat yang baru saja kubaca. Baru sebagian, namun cukup memahami makna dibaliknya. Oke, ini bukan surat cinta biasa, bukan. Sama sekali jauh dari itu semua. Karena tidak ada pujian ataupun sanjungan di sana. Karena ini adalah surat ... PHK.

Tadi ketika membaca surat tersebut, mataku berhenti pada satu kalimat, 'Pemutusan Hubungan Kerja'. Kalimat yang sempat membuatku terpekur sesaat, memikirkan nominal di rekening apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa-masa tak berpenghasilan.

Ini salahku.

Aku izin tidak masuk kerja di waktu yang tak tepat. Ketika kantor sedang dalam keadaan darurat karena salah seorang klien besar mendadak mendaftarkan asuransi anaknya yang baru lahir. Bayi tersebut mengalami masalah sehingga harus menjalani operasi. Aku yang bertanggung jawab atas proses pendaftaran asuransinya, namun aku memilih tidak masuk kerja dan sulit dihubungi.

Aku juga salah karena terlalu berharap pada teman satu teamku yang lainnya. Seharusnya ia memang masuk setengah hari setelah mengurus ayahnya yang sakit. Namun naas, takdir berkata lain. Temanku tak bisa masuk kerja karena ayahnya ternyata meninggal dunia.

Satu team tak ada yang bisa dihubungi ketika keadaan kantor sedang mendesak. Kesalahan paling fatal jelas berada di pundakku karena sudah berbohong dan hampir saja mengorbankan nyawa seorang bayi tak berdosa.

Dan karena hal itulah, apapun keputusan yang kantor berikan aku akan terima. Tak sedikitpun menolak ataupun meminta pengertian. Sekali lagi, ini kesalahanku. Jadi sudah sepatutnya aku menerima resiko yang diberikan. Bisa dibilang, aku masih beruntung karena klien tersebut tak meminta ganti rugi.

Keesokan paginya, Kevan menawarkan diri untuk mengantarkan ke kantor. Dia ingin menjelaskan segala sesuatunya. Namun kutolak tawarannya. Aku ingin menyelesaikan masalah ini sendiri. Ini adalah tanggung jawabku. Kantor tidak akan menerima alasan yang tidak masuk akal seperti ini. Menemani sahabat. Alasan macam apa itu? Sungguh lucu. Aku tertawa geli.

Setibanya di kantor, security langsung menghadang. Tak mengizinkanku masuk ke dalam ruangan dan mengawal dengan ketat, membawaku ke ruang tamu. Aku seperti orang asing, bukan bagian dari perusahaan. Merasa ada sesuatu yang janggal, maka kuminta Kevan untuk datang menemani. Dukungan darinya sangat kuperlukan saat ini.

Dan hidupku di kantor benar-benar selesai, tidak ada kesempatan lagi, ketika bagian HRD menemuiku, membuat segala praduga yang sempat terlintas menjadi nyata.

"Ay, kenapa harus sampe kayak gini? Lo tau seberat apa tugas gue?" Avisa, sahabatku yang merupakan bagian dari Human Resources Departement berusaha menahan perasaannya di depanku.

Namun aku dapat merasakan perubahan dari sikapnya siang ini. Dia terlihat sendu dari awal aku memasuki ruangan ini. Jauh berbeda dari Avisa yang kukenal.

Ia adalah sahabat terbaikku, sejak aku diterima bekerja di tempat ini, empat tahun yang lalu. Berawal dari ketidaksukaannya padaku, karena menurutnya ketika pertama kali masuk, semua perhatian staff laki-laki langsung terfokus padaku. Entahlah, padahal aku merasa biasa saja.

Dari segi fashion, menurutku Avisa jauh lebih unggul. Semua barang yang dikenakannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala adalah merek ternama. Gucci, Hermes, dan Christian Louboutin adalah sebagian dari koleksinya. Wajar saja, Avisa ini anak pengusaha terkenal. Bukan hal yang sulit baginya untuk bisa mendapatkan itu semua.

"Sori Vis, ini salah gue." Aku menunduk. Tak sanggup menatap matanya. Dia adalah orang pertama yang sudah aku kecewakan hari ini.

"Kenapa lo lebih milih pergi sama Kevan dan mengabaikan tanggung jawab lo di sini. Bos marah besar tau nggak?"

Aku mengangkat kepala dan memandang Avisa. Ia menatapku dalam. Sorot matanya menampilkan dua hal, sedih dan kecewa.

"Gue mau bantu lo, Ay. Tapi nggak bisa. Ini di luar batas kemampuan gue," ucapnya lirih.

Ada rasa sakit yang kurasakan melihat raut wajahnya yang seperti ini. Aku tahu, dia berusaha menahan air matanya.

"Lo nggak usah bantu apa-apa, Vis. Jangan korbanin kerjaan lo demi gue."

"Lo segitu cintanya ya sama Kevan?" Tudingnya tanpa aling-aling sembari menatap Kevan yang sedang duduk di luar ruangan, dekat meja resepsionis.

Dari tempatku sekarang -yang merupakan ruangan kaca ini-, dapat terlihat lelaki itu nampak tidak tenang. Sesekali menatap ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja. "Ay, bener kan lo suka sama dia?" ulang Avisa dengan volume yang sedikit dinaikan.

"Hah?" Aku terperangah mendengar tudingan sahabatku ini.

Avisa tidak mengetahui tentang rahasia Kevan. Wajar jika ia berpikiran demikian. Kedekatanku dengan Kevan seringkali menimbulkan anggapan yang berbeda memang. Avisa hanyalah salah satu dari orang-orang itu.

"Iya. Lo segitu cintanya sama dia. Lo nggak pernah bisa nolak semua kemauan Kevan. Bahkan ketika lo sakit aja masih bisa nemenin dia ke Bandung. Sampe akhirnya harus diopname," rentet Avisa mengingatkanku pada kejadian satu bulan yang lalu. Aku memang menemani Kevan untuk urusan bisnisnya dan itu berhasil membuat typus ku kembali menyerang.

"Vis, lo tau kan, Kevan itu sahabat gue. Wajar gue ngelakuin itu."

"Bullshit, Ay, cowok sama cewek sahabatan untuk jangka waktu yang lama tanpa perasaan apa-apa."

Bersahabat dengan seseorang yang berbeda jenis kelamin memang seringkali akan menimbulkan sesuatu yang berbeda, rasa nyaman yang berubah menjadi sayang lalu naik levelnya menjadi suka atau bahkan cinta. Tapi hubunganku dengan Kevan ini jelas berbeda. Karena seperti yang kalian tahu. Dia gay.

Avisa berdiri, menyenderkan pinggulnya pada meja dan bersedekap memandangku. "Lo suka kan sama dia, Ay?" ujarnya kemudian.

Aku mendongak memandang Avisa. Dari sorot matanya ia berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya lewat pupil mataku.

"Untuk saat ini, hanya sebatas sahabat Vis."

"Nggak menutup kemungkinan untuk lebih?"

Hening.

Waktu terasa berhenti. Kami masih saling bersitatap, sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Avisa dengan tanda tanyanya. Dan aku dengan kebimbanganku untuk menjelaskan bagaimana bentuk hubunganku dengan Kevan.

"Gue nggak tahu," sahutku kemudian.

Terlalu banyak jawaban, maka akan semakin banyak pertanyaan. Jadi, aku memilih untuk diam saja. Itu lebih baik, biarkan orang lain sibuk dengan perkiraannya. Dan biarkan aku tetap konsisten pada janji yang pernah terucap, untuk menjaga rahasia Kevan dari seluruh dunia.

Kevan bukan hanya sahabat bagiku. Tapi lebih dari itu, dia menempati ruang spesial dalam hati, bukan sebagai pacar, tapi lebih dari itu, aku sulit mendeskripsikannya. Tapi kira-kira seperti ini, ia adalah seseorang yang ketika terluka, maka akulah orang pertama yang akan ikut merasakan lukanya. Sesayang itu? Iya sesayang itu aku pada Kevan.

Avisa sedikit maju, menunduk dan memelukku dengan sangat dalam. "Ay, jangan benci gue karena hal ini, gue terpaksa. Maafin gue."

Setelah pelukan itu berakhir, ia memberikanku surat sialan itu. Surat yang pada akhirnya membuatku resmi menjadi seorang pengangguran.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel