Pustaka
Bahasa Indonesia

Aku Menikahi Sahabatku Yang Seorang Gay

66.0K · Tamat
AnggiaFM
58
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Aya, bahwa dia akan menikah dengan sahabatnya sendiri karena lelaki itu gay. Namun, demi memenuhi keinginan ayah dari sahabatnya itu, ia terpaksa menikahi Kevan; laki-laki yang terlihat gagah jika di depan orang lain, namun berubah kemayu jika sedang bersama dirinya sajaPerjuangan yang harus dilalui Aya menjadi istri Kevan tidaklah mudah. Apakah pada akhirnya ia berhasil atau mungkin malah menyerah dan membiarkan Kevan tetap memilih jalannya sendiri?

GAYRomansaPernikahanLove after Marriage

Chapter 1

"Gue pengen cerita tentang bagian dalam hidup gue ke kalian. Pergumulan gue selama ini. Jujur ini enggak gampang." Sahabatku ini menggantung ucapannya. Ada rasa tak nyaman dari balik suara yang meragu. Sesuatu yang tertahan, tapi berusaha ia ungkapkan. "Kalian bakalan shock nggak ya?" Ia menghentikan aktivitasnya sebentar, mengambil air mineral dari lemari es.

Lelaki yang sedang berdiri tak jauh dari tempatku ini, lalu memandangi aku dan Lintang, sahabatku yang lain, secara bergantian. Ada kekhawatiran yang dapat aku tangkap dari sorot matanya. Khawatir jika ditinggalkan.

Sebetulnya aku tahu arah pembicaraan Kevan, nama lelaki ini. Tapi kubiarkan ia menyelesaikan kalimatnya sendiri. Tak perlu dipaksakan dan biarkan mengalir dengan sendirinya.

Ia melangkahkan kaki dan mengambil posisi duduk di antara aku dan Lintang. Aroma Bvlgari yang menempel pada tubuh lelaki ini menggelitik indra penciumanku.

Manik matanya mengatakan bahwa ini berat untuk diucapkan. Aku mengangguk, sebagai jawaban bahwa aku dan Lintang sudah siap mendengar penuturannya.

Pergerakan jarum jam begitu terasa lambat, hingga ....

"Gue gay," katanya pelan. Hening sebentar. Lalu, "Apa kalian masih mau terima gue?"

Ada rasa takut yang bercampur dengan kelegaan dari tatapannya; takut kehilangan sahabat yang sudah dimulai sejak masih kanak-kanak. Lega karena rahasia yang sudah tersimpan lama itu kini sudah sampai pada masanya. Masa untuk diungkapkan.

Aku tersenyum dan mengusap lengannya dengan tulus. Dia tak perlu khawatir. Karena bagiku dan Lintang, ini adalah rahasia lama yang baru sekarang terangkat ke permukaan.

Sudah lama aku dan Lintang menyadari ada yang berbeda dari diri Kevan. Kevan yang terlihat luwes dengan banyak wanita namun tak ada yang benar-benar dipacarinya. Kevan yang seringkali terlihat dekat dengan pria yang berbeda namun hanya diakui sebagai sahabat semata.

Kevan yang lebih paham jenis-jenis make up ketimbang aku dan Lintang yang seratus persen wanita.

Kevan yang gagah tapi diam-diam menyimpan rahasia.

Kami sudah tahu. Dan sudah menerimanya sejak dulu, tanpa perlu ia minta lagi.

Selama ini kami hanya menunggu, menunggu saat Kevan mengakui orientasi seksualnya berbeda. Bukan untuk menghina dan merendahkannya, tapi untuk memberikan kekuatan dan pelukan pengharapan.  

Karena hal itu yang diperlukan seorang sahabat bukan? Dukungan, bukan cacian.

Karena aku, Kevan dan Lintang bersahabat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Hampir dua puluh tahun kami bersama.

Sejak kami masih ingusan, belum mengenal apa itu cinta monyet, belum tahu rasanya ciuman pertama hingga akhirnya Lintang memiliki anak dua.

Ya, selama itu kami bersahabat. Jadi rasanya wajar, jika aku dan Lintang memiliki harapan yang besar untuk Kevan di masa yang akan datang. Bertemu dengan wanita baik, menikah, memiliki keturunan dan hidup bahagia selamanya.

Sahabatku ini memiliki pesona untuk dicintai. Wajah tampan, hidung mancung dengan tubuh yang tinggi menjulang.

Jangan lupakan juga penampilannya yang metroseksual, aroma tubuhnya yang wangi dan tatanan rambutnya yang masa kini, selalu berhasil membuat para gadis menoleh setiap kali berpapasan dengannya.

Tak sedikit kaum hawa yang menitip salam untuknya dan hanya dibalas dengan ucapan 'salam balik' saja. Kevan tak pernah merespon. Kalau pun ada yang direspon, tak pernah berakhir lama.

Satu bulan merupakan tenggat terlama bagi Kevan dekat dengan wanita. Lewat dari itu, maka lembaran baru siap dimulai kembali.

Ketika aku dan Lintang menanyakan alasan lelaki itu menyudahi acara pdktnya, dia selalu menjawab dengan berbagai macam alasan. Terlalu agresiflah, terlalu pasiflah, terlalu mandirilah, terlalu manjalah, terlalu bebaslah, terlalu posesiflah dan terlalu-terlalu lainnya yang membuat aku dan Lintang bingung sendiri, gadis mana yang sesuai dengan kriterianya.

Karena rasa-rasanya, semuanya salah di mata Kevan.

"Gue nyari yang kayak Rara." Begitu selalu yang diucapkannya. Rara itu cinta pertamanya ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Entahlah, aku tak pernah melihat mereka berpacaran. Hanya dekat layaknya sahabat. Namun Kevan selalu mengakui bahwa mereka pernah berpacaran dan Raralah cinta pertamanya selama ini. Satu-satunya sosok wanita yang ada di hatinya.

Selalu Rara dan Rara. Tak masalah jika memang dia mencintai Rara. Namun masalahnya, kemana aku dan Lintang harus mencari Rara, sedangkan sosok itu menghilang ketika masa-masa kelulusan. Rara pindah ke kota lain dan baru beberapa bulan yang lalu aku tahu kabarnya.

Gadis itu sudah menikah, memiliki satu putera, tinggal di apartemen daerah Kelapa Gading. Dan kehidupan rumah tangganya nampak bahagia. Jadi, jelas Kevan tak memiliki celah sedikit pun untuk masuk.

"Kev, jujur ya. Gue sama Lintang udah tahu hal ini dari lama. Tapi apa pun yang terjadi, lo tetap sahabat kami. Nggak ada yang berubah sedikit pun, Kev," ucapan Lintang membuatku tersadar kembali dari lamunan.

Aku menatapnya Kevan dan mengangguk,  untuk meyakinkan dia bahwa apa pun yang terjadi selalu ada cinta untuknya di hati kami.

Aku dan Lintang sama-sama maju dan memeluk Kevan berbarengan.

"Tenang aja. Lo tetep sahabat kami," cetusku tepat di telinganya sembari mengusap punggungnya.

"Iya. Walaupun lu nyebelin, sering nyinyir. Tapi nggak akan ada yang berubah. Kita akan tetep begini. Sahabatan ... " ucap Lintang. 

Dalam hati aku tertawa membenarkan ucapan Lintang. Walaupun tampilan fisik lelaki, tapi percayalah, sifat nyinyir Kevan itu melebihi wanita.

Kadang aku pusing sendiri jika sifatnya yang satu itu keluar. Bawelnya setengah mati. Namun, terkadang sifat nyinyirnya itu yang menghidupkan suasana.

Kevan itu humoris. Dia tahu bagaimana membuat orang lain tertawa. Dia pintar membuat orang lain nyaman jika sedang berbicara dengannya.

Aku dan Lintang sama-sama melepas pelukan. Dan kembali duduk di tempat semula.

"Thanks ya. Kalian emang sahabat terbaik gue," kata Kevan dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi kenapa lu baru bilang sekarang, sih, Kev? Lu takut kita nggak akan bisa nerima lo?" Kali ini suara Lintang yang terdengar.

Ada nada tak terima dari tutur katanya. Sebagai sahabat ia merasa tak dipercaya untuk menyimpan suatu rahasia.

Perasaan yang wajar, mengingat persahabatan yang terjalin sudah terlampau lama untuk diragukan kualitasnya.

"Dari kecil gue udah ngerasa beda, gue tahu cowok ganteng dari TK. Gue lebih tertarik ngeliat cowok daripada cewek. Susah buat gue dengan keadaan kayak gini. Karena nggak semua orang bisa nerima," sahut Kevan pelan. Lelaki ini lalu memandangiku dan Lintang bergantian. "Gue cuma punya kalian. Tolong jangan tinggalin gue," pintanya kemudian dengan sorot mata mengiba.

Dinding pertahanan Lintang runtuh sudah. Bulir-bulir air mata membasahi pipinya yang putih bak iklan handbody lotion kebanyakan. Di antara kami bertiga, Lintang adalah drama queen-nya. Dia akan mudah menangis untuk banyak hal, termasuk sekarang ini.