Chapter 8
Kevan yang minta ditemani itu ternyata tak memiliki tujuan sama sekali hendak kemana. Jadilah, aku menemaninya berputar-putar saja selama satu jam di sekitaran Jakarta.
Terkadang aku juga seperti ini. Ketika ada masalah lebih memilih berputar-putar mengendarai kendaraan meskipun tak jelas tujuannya kemana. Lalu, ketika sekiranya aku menemui kuliner yang enak untuk dinikmati, maka aku berhenti untuk makan.
"Kev, lo nggak laper apa dari tadi nangis mulu? Nggak mau makan apa?" tanyaku sembari menoleh padanya. Dia sedang sibuk membuang ingus dengan tissue. Iyuwh, joroknya!
"Orang kalo patah hati mana napsu, sih, Cyyiiin sama makanan?" sahutnya dengan suara parau.
"Gue buktinya! Kalo patah hati larinya ke makanan mulu. Makan aja yang banyak! Rugi amat gara-gara laki doang sampe nggak mau makan!" cibirku blak-blakan.
Buat apa sih, hanya karena urusan cinta sampai mogok makan segala? Memangnya kalau kita kurus dan terlihat menderita maka si Mantan akan merasa kasian? Cuih! Jangan harap!
Karena faktanya, mantan akan merasa jauh lebih bangga apabila kita terlihat tersakiti, terlunta-lunta karena kepergiannya.
Percayalah, balas dendam terbaik itu adalah dengan cara membuat mantan menyesal. Dengan cara apa? Tentunya dengan memperbaik diri. Memperbaiki penampilan. Semakin mengasah potensi yang dimiliki. Tunjukkan bahwa tanpa dia, kita jauh lebih bahagia.
"Kalo gue makan mulu nanti gue gendut, Cyiiin. Nanti nggak ada lagi cowok yang mau ngerebutin gue." Kalau ada gayung, mungkin sudah kugetok sejak tadi lelaki ini. Pola pikirnya itu loh, aku sampai tak habis pikir.
"Idih, sok iye banget lo! Udah nih, lo mau kemana? Masa gue cuma dijadiin supir doang. Dikasih makan juga nggak!" omelku apa adanya.
Jelas aku lapar. Tadi ketika ketemu Luthfi, aku hanya pesan minuman. Lalu sejak tadi, hanya berputar-putar tanpa tujuan yg jelas seperti ini memang dipikirnya tak membuat lapar apa?
"Oh, jadi lo laper? Bilang dong dari tadi," katanya. Menyebalkan kan?
"Makanya peka. Cewek itu biasanya peka!" sindirku teriak-teriak. Kevan hanya tertawa saja. Sial!
"Gue ada ide, nih!"
"Ide apaan?" tanyaku tak semangat karena memang sudah merasa lapar.
"Kita karokean aja, kuy? Gue mau tereak-tereak, nih, Cyiiin. Nanti lo pesen makanan aja di sana," ajak Kevan tiba-tiba. Maka, di sinilah kami sekarang. Di Inul Vista, Kelapa Gading.
Setibanya di room yang sudah ditunjuk karyawan tempat karaoke tersebut, sahabatku itu mulai sibuk memilih lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Dan semua yang ia pilih adalah lagu galau! Duh!
Video penyanyi wanita asal Inggris mulai memenuhi layar berukuran 32 inch itu. Lagu mengalun.
Kevan mulai bernyanyi, ketika memasuki reff, volume suaranya semakin dinaikkan. Aku ikut melantunkan lirik yang ada di layar.
But don't you remember? - Tiba-tiba aku teringat ketika Kevan dan Luthfi baru berkenalan. Senyum Kevan merekah.
Don't you remember? - Ketika untuk pertama kalinya mereka mengobrol lewat chat. Lagi-lagi senyum itu ada di wajah sahabatku. Senyum yang sama setiap kali ia sedang jatuh cinta.
The reason you loved me before. - Ketika mereka berpacaran. Senyum yang jauh lebih lebar ada di sana, di wajah lelaki yang kusayangi itu.
Baby, please remember me one more. - Ketika Kevan memposting foto dirinya sedang membawa sebuket bunga pemberian Luthfi. Sembari merangkul lengan kekasihnya, ada senyum manja yang ia torehkan. Dan senyum itu tak kulihat lagi sekarang. Menguap entah kemana.
When was the last time you thought of me? - Ketika untuk pertama kalinya mereka mengalami percecokan karena Luthfi sulit dihubungi. Sorot mata bahagia itu meredup.
Or have you completely erased me from your memory? - Ketika pertengkaran demi pertengkaran terjadi lagi. Karena hal yang sama. Sahabatku sulit menghubungi kekasihnya. Pada saat itu bulir air mata turun untuk pertama kalinya.
I often think about where I went wrong - Ketika Luthfi tak mau disalahkan, Kevan berpikir bahwa ini mungkin salahnya, terlalu over protektif. Sedikit pun tak memberi ruang.
The more I do, the less I know. - Ketika Kevan mulai mencari tahu semua sosial media Luthfi, untuk memastikan bahwa kekasihnya itu tidak seperti yang ia pikirkan. Semakin Kevan mencari tahu, justru ia tidak mendapatkan apa-apa. Karena sosok Luthfi yang anti sosial media itu.
But I know I have a fickle heart and bitterness. - Ketika Kevan semakin gelisah karena tak menemukan apa yang ia cari.
And a wandering eye, and a heavines in my head. - Dan kegelisahan itu pun berubah semakin besar. Menjadi rasa tak percaya.
Gave you the space so you could breathe. - Hingga akhirnya ia tahu, kekasihnya bertunangan dengan seorang wanita dan akan menikah. Kevan mulai menjaga jarak. Membiarkan kekasihnya itu meneruskan hidupnya, seolah-olah Kevan tak pernah hadir di sana.
I kept my distance so you would be free. - Semua menjauh dan tak ada komunikasi lagi di antara keduanya. Karena Kevan menutup semua akses sehingga Luthfi sulit menghubungi.
And hope that you find the missing piece. - Di antara kesedihannya, Kevan berharap Luthfi menemukan kebahagiaannya. Meskipun kebahagiaannya bersama orang lain, bukan dirinya.
To bring you back to me. - Sekuat apapun Kevan mencoba, selalu ada harapan suatu saat Luthfi akan kembali lagi. Walaupun dalam mimpi sekali pun.
When will I see you again? - Berharap mereka bertemu lagi. Walaupun itu hanya sebatas harapannya semata.
Lagu milik Adele itu pun usai. Terkadang aku geli melihat Kevan jika bersama pacar-pacarnya. Namun jika dia sedang patah hati begini, tetap saja aku tidak tega.
"Kev, gue ke kamar mandi bentar ya?" Aku meminta izin. Kevan mengangguk.
Maka kulangkahkan kaki ke toilet sebentar. Ada sesuatu yang mendesak dan minta dikeluarkan pada saat itu. Semacam hajat kecil, sebut saja demikian.
Setelah selesai aku mencuci tangan di wastafel. Bunyi telepon masuk mengganggu aktivitasku. Kurogoh isi dalam tas namun tak kunjung menemukan telpon pintar itu.
Kejadiannya begitu cepat ketika tanpa sengaja aku menjatuhkan benda tersebut dan membiarkannya berenang di dalam wastafel yang krannya belum kututup dengan rapat.
Mataku membulat dengan mulut yang sulit terkatup. Handphone gue! Rasa panik menyergap. Kuambil benda pipih tersebut yang kondisinya langsung basah dan gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Fix, handphoneku rusak!
Tahu kan bahwa handphone adalah barang penting di era sekarang? Tahu kan bahwa manusia seringkali lebih memilih menahan laparnya daripada tidak bisa bergaul di sosial media? Itulah yang terjadi denganku. Demi benda maha penting itu, aku langsung mengajak Kevan menuju ke counter handphone terdekat demi menyelamatkan segala data yang ada di benda kecil tersebut.
Handphone ku terpaksa harus di rawat inap, karena kondisinya membutuhkan waktu untuk perbaikan.
Bunyi notifikasi whatsapp masuk ke dalam ponsel Kevan. Matanya memicing sebentar membaca isinya. Lalu ia menoleh padaku. "Ay, Avisa nyariin tuh. Penting katanya."
Sahabatku itu memberikan handphone-nya. Aku langsung menekan beberapa digit nomor Avisa, teman sekantorku. Begitu telepon tersambung, pada saat itulah aku tahu masalah besar akan menghampiri.
