Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 10

Setibanya di rumah, aku langsung menghitung kembali segala tagihan yang kumiliki. Mencocokkannya dengan nominal uang yang ada di rekening. Memastikan sampai kapan uang di tabungan dapat menjamin hidupku hingga ke depan.

Kepalaku berdenyut. Hanya cukup untuk tiga bulan. Mencari pekerjaan sedang sulit sekarang, apakah aku bisa berlomba dengan waktu yang ada?

"Gimana, Ay, tabungan lo cukup buat kapan?" Sahabatku itu mendaratkan pantatnya di sofa setelah tadi dia pergi ke dapur untuk mengambil minum.

Dia melihat-lihat rincian tagihan yang sudah kusalin. Matanya fokus membaca satu persatu catatan beserta angka yang tercetak di sana. Cicilan mobil, tagihan kartu kredit, tagihan wifi beserta tv cable, bahkan pulsa untuk satu bulan juga tak luput dari hitunganku.

"Tiga bulan aja, nih. Gue harus gercep, Kev."

"Udah, ini urusan gue. Hidup lo gue tanggung sampe lo dapet kerjaan baru. Ini kan salah gue sampe lo dipecat gini," cerocos Kevan berisik.

Dia mungkin lupa jika ucapannya barusan bisa saja didengar ibuku nantinya.

"Heh, pelan-in suara lo. Ntar emak gue denger," bisikku memberikan kode padanya.

Lelaki itu menutup mulut dengan sebelah tangan. Dia juga tak ingin Mama tahu kalau aku sudah tak bekerja lagi sekarang. Merasa takut Mama akan memarahinya karena sudah membuat statusku menjadi pengangguran sekarang.

Apalagi jika sampai Mama tahu alasanku menemani lelaki ini hanya karena urusan cinta semata. Habislah sudah sahabatku ini digoreng oleh ibuku.

Karena mencari pekerjaan itu sedang susah namun malah disia-siakan hanya untuk hal remeh seperti itu.

Aku yakin, semua perempuan yang sudah menjadi ibu pasti memiliki pola pikir yang sama. Mereka lebih mementingkan dapur tetap ngebul daripada urusan cinta yang gitu-gitu aja. Dari dulu polanya kan cuma ... pendekatan - pacaran - putus -ketemu orang baru lagi - pendekatan lagi -pacaran lagi - putus lagi. Gitu aja terus.

Sedangkan memiliki pekerjaan itu merupakan keharusan agar tetap bisa bertahan hidup. Sesuatu yang penting daripada sekedar pacaran.

"Eh iya, maaf-maaf," kata Kevan emudian sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan ada Mama atau tidak di dekat kami.

"Ay, Mama ke rumah Budhe sebentar ya sama Bik Onah. Hari ini kamu nggak kemana-mana tho, Nduk?" Suara Mama tiba-tiba terdengar. Kevan terlonjak kaget. Aku tertawa.

Aku menoleh ke arah Mama dan mendapati beliau yang nampak sibuk memasukkan makanan dari tupperware ke dalam dua kantung plastik ukuran besar. Seperti biasa, Mama dan Budhe seringkali saling mengirimi makanan apabila ada waktu untuk berkunjung.

"Aku di rumah aja kok Ma sama Kevan."

"Oh ya udah, Mama jalan dulu ya. Itu Mama udah masak kesukaan kamu. Ajak Kevan makan ya." Mama terlihat terburu-buru hendak berjalan keluar rumah dengan dua kantung plastik berisi makanan di tangan.

"Dia mah nggak usah diajak juga biasanya ngambil sendiri," sahutku cuek. Memang faktanya begitu, mau apalagi?

Kevan memajukan bibirnya ketika aku mengucapkan hal tersebut.

"Ya nggak apa-apa. Kevan kan udah seperti anak Mama sendiri." Seringkali seperti itu, Kevan selalu saja mudah mengambil hati semua orang termasuk orang tuaku dan orang tua Lintang. Karena di mata mereka, sahabatku itu terkenal lucu dan pintar bersosialisasi.

Namanya juga mantan marketing. Wajar jika dia mudah bergaul dengan semua kalangan. Tak peduli usia, jenis kelamin hingga statusnya.

"Nambah boleh, Tan?" tanya Kevan seperti biasa, tak tahu malu.

"Ya boleh. Dibungkus juga boleh. Itu Tante ninggalin banyak kok untuk kalian berdua." Mama walaupun sedang sibuk bersiap-siap namun masih saja sabar menanggapi ucapan Kevan yang tak penting ini.

"Aduh, Tante baik banget."

"Kan anak Tante bukan cuma dua. Ada kamu sama Lintang juga. Kalian udah Tante anggep seperti anak sendiri."

"Tuh, dengerin! Anak sendiri!" ucap Kevan mempertegas kalimat ibuku.

Aku mencebik. Merasa tidak terima Mama mengadopsi anak lagi. Cukup aku saja yang menjadi anak semata wayangnya. Jangan ada tambahan lagi, apalagi yang bentuknya seperti Kevan ini, terlalu menyebalkan untuk dijadikan saudara.

Tak bisa kubayangkan memiliki saudara kandung seperti Kevan. Bisa-bisa aku kurus kering mendengar nyinyirannya setiap hari.

"Sini, aku bantuin Tan. Mana Tan yang mau dibantuin bawa?" Kevan mulai berjalan menghampiri Mama, menawarkan bantuan.

Lalu lelaki ini mulai sibuk membawa tupperware dan beberapa kotak lainnya, entah apa isinya, untuk dimasukkan ke dalam mobil.

Aku mengikuti Kevan dan Mama ke depan dan memperhatikan aktivitas mereka.

Lumayan juga punya saudara laki-laki, bisa dimanfaatin ngangkatin barang berat begitu, batinku dalam hati.

"Tante jalan dulu ya, Kev. Ay, kamu jaga rumah baik-baik ya," pamit Mama menoleh pada Kevan dan aku secara bergantian.

"Iya, Tante. Ati-ati ya." Kevan mencium punggung tangan Mama dan setelah Mama dan Bik Onah pergi, kami pun masuk ke dalam rumah, duduk di sofa ruang keluarga sembari menonton televisi.

"Cyiin, lo pake uang gue aja ya. Gue tanggung jawab, Cyiiinn sama hidup lo selama belom dapet kerjaan." Suara kemayu itu datang lagi setelah menyadari kondisi mulai aman.

Begitulah Kevan, dia akan menjadi dirinya sendiri hanya ketika sedang bersamaku dan Lintang. Di luar itu, ia akan menutupi jati dirinya dengan gestur laki-laki dan suara beratnya.

Sahabatku ini mengeluarkan dompet dari dalam kantong celananya. Ada banyak sekali kartu yang dimilikinya. Aku tak heran, sesuatu yang wajar mengingat Kevan salah satu pengusaha yang namanya patut diperhitungkan sekarang.

Kevan mengambil salah satu kartu ATMnya dan mengulurkan kartu ajaib itu padaku.

"Nih! Pake ya," ucapnya dengan senyum tulus.

Aku mendorong tangannya, menolak dengan halus. "Nggak lah, gue mau usaha dulu aja cari-cari kerjaan. Tenang, Kev, gue masih bisa cari jalan lain kok nanti. Lagipula gue kan dapet uang pesangon. Cukuplah itu dipake sementara. Mungkin gue akan buka usaha kecil-kecilan kalo dua bulan masih aja belum dapet kerjaan."

Bukannya menolak niat baik yang Kevan berikan. Namun selama aku masih bisa berusaha sendiri. Itu jauh lebih baik kan? Lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah, itu prinsipku.

Aku tak terbiasa merasa hutang budi pada seseorang, apalagi itu sahabatku sendiri. Mungkin suatu saat, aku akan memerlukan bantuannya. Namun tidak saat ini. Aku mau berusaha sendiri dulu.

"Oke deh. Tapi kalo beneran lo butuh sesuatu, jangan segan untuk bilang ya, Cyiin. Gue bertanggung jawab atas hidup lo sekarang. Karena ini salah eyke kan, Neik." Dia tersenyum ketika kuanggukan kepala menanggapi niat baiknya.

Semoga saja aku secepatnya mendapatkan pekerjaan. Karena membuat kedua orang tua bersedih merupakan salah satu hal yang paling aku hindari dan aku tak tahu bisa bertahan berapa lama hidup dalam kebohongan seperti ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel