

Chapter 7
"Kev, lo balik pake aplikasi online aja ya? Udah telat, nih. Gue izin cuma setengah hari sama orang kantor, tapi ini udah lewat setengah hari." Sahabatku langsung menatapku dengan puppy eyes-nya setelah ucapan itu terlontar dari mulutku. Sudut bibirnya tertarik ke bawah hingga membentuk ekspresi sedih.
Haduh, kenapa dia harus menampilkan ekspresi seperti itu di saat yang tak tepat begini, sih?
"Ay, please ..., temenin gue," pintanya, seperti biasa. Dia akan selalu seperti ini padaku, manja.
Aku melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangan sebelah kiri. Pukul satu siang. "Nggak bisa, Kev. Gue harus masuk kantor. Ini aja gue harus lembur karena udah telat."
Kevan menangkupkan tangan sebagai bentuk permohonan. "Please, Cyiiin, hati gue sakit banget sekarang. Lo nggak mau kan ada berita laki-laki ganteng nenggak baygon?" Aku mengembuskan napas kasar. Ancaman macam apa ini?
Kalau dia mau mengakhiri hidup kenapa juga harus memberitahuku segala? Lakukan saja sana. Memangnya dia pikir bunuh diri itu enak? Dia pikir setelah meninggal maka masalah akan selesai begitu saja?
Hanya masalah percintaan sampai kehilangan nyawa. Pintar sekali kalau sampai dia melakukan hal itu.
"Ya udah sana! Minum yang banyak!" pekikku kesal bersiap-siap masuk mobil.
"Bener ya? Nanti gue gentayangin lo. Gue ajak sekalian." Dia lantas membuka pintu mobilku dan mengambil botol baygon yang aku letakkan di bagian belakang. Sial! Kenapa dia harus tahu aku menyimpan benda itu di mobil, sih?
"Jangan macem-macem, deh," ucapku jengah. Aku tahu, lelaki di hadapanku yang sedang mengenakan tshirt abu-abu dan semakin membuat otot bisepnya terlihat jelas ini tidak akan pernah berani berbuat senekat itu, tapi tetap saja, aku tak menyukai ancamannya.
Kalau nanti ada setan lewat dan mengabulkan semua perkataannya, gimana? Aku juga kan yang susah. Aku juga yang akan diinterogasi polisi karena lelaki ini terlihat bersamaku untuk yang terakhir kali.
"Makanya temenin gue, Ay." Lagi, ia masih berusaha merayuku. Dia adalah tipe lelaki yang tak akan pernah menyerah jika keinginannya belum berhasil ia dapatkan.
Dia akan terus memaksa dan merayu sampai aku setuju untuk membantunya.
"Gue nggak bisa, Kev. Madam dari tadi udah nanyain gue, ada klien anaknya sakit. Gue harus nyiapin dokumennya." Dia memandangku penuh permohonan ketika aku bersandar pada badan mobil, di pelataran parkir Setiabudi One.
Tentu saja, pekerjaanku jauh lebih penting dari pada sekedar urusan percintaan. Kantor menggaji dan membuatku bisa tetap makan setiap bulannya. Sedangkan masalah cinta, itu adalah dinamika kehidupan, yang wajar dialami setiap manusia.
Lagipula aku tahu sosok Kevan, dia akan dengan mudah mendapatkan pengganti Luthfi setelah ini. Lihat saja, tak sampai satu minggu juga dia sudah punya pacar baru.
"Kalo lo nggak mau nemenin, gue masuk ke dalem lagi, nih. Ngajak Luthfi balikan."
Bulir-bulir air mata turun dari pelupuk matanya. Dengan tangan kiri ia berusaha menghapus jejak itu. Mata dan hidungnya memerah. Sorot kesedihan itu dapat dengan jelas terlihat dari mata monolidnya. Ada perasaan iba yang tiba-tiba menggedor-gedor relung hatiku. Rasanya tidak tega juga.
Aku membalikkan badan menghindari tatapannya. "Terserah lo!" sahutku seolah-olah tidak peduli sembari membuka pintu mobil dan bersiap-siap masuk ke dalam. Aku dilema karena tanggung jawab di kantor sudah menunggu sekarang.
"Ya udah." Langkah kakinya terdengar meninggalkanku. Aku menoleh menatap punggung yang mulai menjauh itu.
Aku mendesah. "Kev," panggilku pelan.
Aku menimbang-nimbang kembali. Tiba-tiba entah pikiran dari mana hingga aku bisa membayangkan Kevan akan melakukan hal nekat jika membiarkannya sendirian hari ini.
Sebetulnya masih ada temanku yang lain yang bisa menghandle pekerjaan ini. Namun masalahnya, dia juga sedang izin masuk setengah hari mengurusi ayahnya yang sedang sakit. Tadi aku sempat menghubungi, dia akan masuk hari ini setelah urusan ayahnya selesai. Semoga saja, ayahnya baik-baik saja sehingga rekan kerjaku itu bisa secepatnya datang ke kantor. Ya, semoga saja ....
Aku kembali menatap Kevan. Tak kuasa membiarkannya bersedih seperti ini. Teringat ketika putus cinta dulu, Kevanlah yang selalu ada untuk menemani. Membuatku tertawa dengan guyonan recehnya. Tapi kini, ketika dia membutuhkan kehadiranku, aku tak bersedia untuk menemani.
Sahabat macam apa aku kali ini yang membalas air susu dengan air tuba?
"Ayo! Gue temenin," ajakku kemudian. Dia tersenyum lebar ketika aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil menggunakan gerakan kepala.
Dia langsung tersenyum dengan lebarnya. Dan segera berlari masuk ke dalam mobilnya dengan bahagianya.
"Ay, kenapa percintaan gue begini banget ya, Beb? Apa gue nggak berhak bahagia? Kalo nggak diselingkuhin ya ditinggal nikah. Cowok emang jahat!" curhatnya ketika mobil sudah melaju ke suatu tempat yang aku belum tahu tujuannya.
Aku baru saja menghubungi kantor, meminta izin untuk tidak masuk dengan alasan sakit. Alasan klise yang seringkali dipakai para karyawan jika terdesak. Sesuatu yang tidak dibenarkan dan tak boleh dicontoh sebetulnya.
"Udah tahu jahat, kenapa lo masih suka?" tanyaku sibuk dengan kemudi, tanpa sedikit pun melihat ke arahnya.
"Gue kan cewek, Cyiiin. Masa disuruh pacaran sama cewek juga?" protesnya.
Jelas-jelas di KTP jenis kelaminnya laki-laki. Gimana cara dia bisa mengakui hal itu. Memangnya dia Lucinta Luna?
"Lo itu cowok Kev, punya sesuatu yang cowok juga punya. Inget itu!"
"Tapi gue cewek, Ay. Perasaan gue rapuh, gue mudah terluka." Aku menoleh pada Kevan ketika lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Dia mengucapkan itu sembari memegang dadanya. Bola mataku berputar ke atas. Ada perasaan geli dan malas yang sulit untuk kututupi.
"Terserah lo lah, Kev," komentarku kesel.
Lelaki ini masih terisak. Beberapa kali diambilnya lembar tissue yang ada di dalam mobilku, ia hapus air yang mengalir dari sudut matanya. "Masih aja nangis. Nyesel? Tadi aja di depan dia, lo sok nggak butuh. Eh, sekarang nangis-nangis," sambungku lagi mengingatkan lagi apa yang sudah dia lakukan tadi ketika bersama dengan Luthfi, siapa tahu saja dia lupa. Jadi, perlu aku ingatkan lagi.
Dari ekor mata, dapat terlihat dia sedang menatapku. "Namanya juga cewek, Cyyiiin. Lain di mulut, lain juga di hati. Lagipula ya, Neik, kalo nggak gitu, dese nggak bakalan ngelepas gue. Gue kan nggak mau jadi perusak rumah tangga orang. Sebagai sesama perempuan. Gue tahu perasaan Windy. Gw juga nggak maulah suatu saat dapet karmanya. Laki gue direbut perempuan lain. Itu sakit Ay, sakit!"
Dia mengucapkan itu sembari memegang dadanya. Seolah-olah sedang menghayati perannya sebagai seorang wanita saat ini.
Aku hanya diam mendengarkan. Biarkan sajalah cabe-cabean di depanku ini mengeluarkan uneg-uneg semau-maunya. Biarkan dia menikmati perannya sepuasnya, tapi cukup satu hari ini saja, jangan ada lagi hari kedua, ketiga dan seterusnya.
