Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 6

"Jadi, apa maksud kamu ngajak kita ketemu?" tanya Kevan to the point ketika dua sejoli yang dulu pernah dimabuk cinta ini pertemu untuk pertama kalinya, setelah perpisahan mereka beberapa bulan yang lalu.

Beberapa menit yang lalu, aku dan Kevan tiba di Tea Leaf and Coffee Bean Setiabudi, tempat Kevan dan Luthfi janjian untuk membicarakan permasalahan mereka.

Kevan melarangku memilih kursi di tempat lain, jadilah aku sekarang menjadi semacam kambing conge' ataupun obat nyamuk di antara mantan kekasih yang sedang bersitegang ini.

Luthfi, sosok yang berada di hadapan Kevan itu menatap mantan kekasihnya dengan lembut. Terlihat mereka berdua ini sebetulnya masih saling menyayangi.

Namun, keadaan yang membuat keduanya tak bisa bersatu.

"Sebetulnya aku lebih suka kita ketemu di tempat yang lebih privat," ujarnya.

Kevan mendesah. "Buat apa? Supaya kamu bisa ngerayu-rayu aku lagi?" Sahabatku itu menatap mantan pacarnya dengan tajam.

Aku membuang pandangan ke tempat lain. Semacam ada suara jangkrik tiba-tiba di tempat ini. Aku jadi salah tingkah sendiri duduk diantara mereka berdua.

Aku jadi merutuk dalam hati. Sahabatku itu memang sialan, memaksaku membantunya dan akhirnya aku jadi segan sendiri berada di situasi tak mengenakan macam begini.

"Yang, nggak gitu," jawab Luthfi cepat.

"Stop panggil aku begitu. Kita udah putus." Aku langsung menoleh ke arah Kevan, kaget mendengar Kevan berteriak seperti itu.

Luthfi memberi kode agar sahabatku itu berusaha merendahkan volume suaranya agar tidak didengar orang lain.

Beruntung tempat ini sedang tidak seramai biasanya, sehingga kedua lelaki dewasa yang pernah menjalin hubungan ini bisa lebih leluasa untuk bicara.

"Oke. Maaf. Aku nggak bermaksud boongin kamu. Aku pikir Mas Roshan udah cerita semua soal Windy." Mungkin perlu kuingatkan lagi, Mas Roshan ini sepupu Kevan, sekaligus teman Luthfi. Jadi karena Mas Roshanlan mereka berdua bisa saling mengenal seperti sekarang ini.

"Kamu nggak bisa, Luth, hidup hanya dengan pemikiran kamu. Aku pacaran bukan sama Mas Roshan, kenapa harus dia yang ngejelasin status kamu? Kenapa nggak kamu sendiri yang cerita kamu udah tunangan dan akan nikah?"

Sebetulnya apa yang dikatakan Kevan ini benar. Namun, aku memilih untuk diam. Sedikit pun tak mau ikut campur permasalahan yang terlalu rumit ini untuk dijalani.

Dengan tenang Luthfi mengambil cangkir Espresso Single Coffee-nya dan menyesap sedikit isinya.

Aku berusaha sibuk sendiri dengan ponselku. Membuka semua aplikasi sosial media yang kumiliki. Namun tetap saja. Aku tak benar-benar bisa fokus. Konsentrasiku terus menerus pada dua orang ini. Takut terjadi baku hantam di antara keduanya.

Sudah banyak cerita yang kulihat dari berita. Tentang hubungan seperti Kevan dan Mas Luthfi ini yang berakhir dengan kekerasan dan tindak kriminal lainnya. Aku hanya berharap, mereka tak termasuk di antara orang-orang itu. Cukup selesaikan dengan damai dan setelah itu jalani kehidupan masing-masing tanpa ada dendam.

"Aku takut kamu bakalan ninggalin aku kalo cerita," sahut Luthfi menjelaskan. Dibanding Kevan, Luthfi ini terlihat lebih laki-laki, karena memang dalam hubungan mereka, Kevanlah yang bertindak sebagai wanitanya.

Kevan yang lebih manja dan memberi perhatian yang lebih untuk kekasihnya itu. Sering sekali Kevan membuatkan makanan untuk Luthfi dan mengirimkannya di saat jam makan siang.

Bahkan, Kevan juga tak sungkan menyapu, mengepel, mencuci pakaian bahkan juga memasak makanan kesukaan Luthfi apabila jika sedang bertandang ke rumah lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu.

Percayalah, jika Kevan itu wanita, maka dia sudah sangat siap untuk dinikahi.

"Egois! Tanpa kamu cerita pun aku juga akan tetap ninggalin kamu." Aku menoleh menatap Kevan, lalu beralih menatap Luthfi yang nampak menatapku dengan pandangan segan.

"Kev, gue pindah tempat aja, deh. Kalian selesein berdua." Aku bersiap-siap bangkit dari duduk. Sumpah, aku sungkan di situasi seperti ini.

Namun dengan sigap tangan kiri Kevan mencekal lengan kananku. Mencoba menahan agar aku tidak meninggalkan dia berdua saja dengan Luthfi.

"Lo tetep di sini, Ay." Aku menoleh dan mendapati tatapan mengintimidasi dari manik matanya.

Kuurungkan niat untuk meninggalkannya. Aku kembali mendaratkan pantat di tempat semula dan memilih menekuri pure choco blended yang tadi sudah dipesan. Ini adalah salah satu situasi yang aku benci. Drama! Sinetron! Oh, iya, satu lagi, FTV!

Rasanya baru kemarin, aku melihat hubungan mereka baik-baik saja.

Kemana wajah bahagia Kevan ketika mendapat sebuket bunga mawar dari kekasih tercinta? Aku masih inget betul ketika sahabatku itu memposting satu foto tentang dirinya. Foto dengan kemeja pink sembari memeluk buket bunga pemberian Luthfi dengan caption. "Thanks my love." Senyum dan ekspresi itu, aku tahu dia sungguh-sungguh jatuh cinta kala itu.

Tapi sekarang, setelah berselang empat bulan lamanya, waktu sepertinya menjungkir-balikkan semuanya. Tak ada lagi kata-kata cinta di sini, dia seperti menguap bersamaan dengan kisah pelik diantara mereka. Ah, kenapa aku harus menjadi saksi dari kisah kasih itu ya, Gusti?

"Kev, kita masih bisa terus berhubungan. Cuma masalah status aja, tapi selebihnya nggak akan ada yang berubah. Aku nggak bisa, Kev, kehilangan kamu."

"Aku nggak bisa, Luth, nerima keadaan kamu yang akan jadi suami orang. Itu masalahnya. Dan kamu udah memilih kan? Kamu lebih memilih Windy daripada aku. Jadi stop ganggu hidupku lagi." Aku melirik Kevan sekilas.

Drama stasiun televisi ikan terbangkah ini?

"Kev, jangan bikin keadaanku jadi sulit," pinta Luthfi dengan suara mengiba.

"Siapa yang mempersulit? Aku justru mempermudah. Aku pilih mundur dan mengikhlaskan." Kevan berusaha tersenyum walaupun aku tahu hatinya sebetulnya sakit.

"Kev, aku terpaksa nikah sama Windy, kamu tahu 'kan? Kalo bukan karena keluargaku, aku nggak akan nikahin dia."

Setahuku; berdasarkan cerita Kevan padaku, hubungan Luthfi dan Windy berjalan sudah cukup lama, kurang lebih tiga tahun ini.

Namun itu semua semata-mata karena keinginan orang tua Luthfi. Entah hutang apa di masa lalu, orang tua Luthfi ingin membalas kebaikan orang tua Windy dengan menjodohkan anak mereka, mengingat calon mertua Luthfi sudah sangat menyukai dan menyayangi pria berkacamata bulat itu.

"Aku paham. Makanya aku memilih jalan ini. Semoga kamu berbahagia." Kevan bangkit dari duduknya dengan menggandeng pergelangan tanganku untuk diajaknya pergi. "Dan satu lagi, besok aku nggak akan dateng di acara kamu," sambungnya lagi.

Aku tersenyum canggung dan melambai pada Luthfi yang nampak terpekur dengan keputusan Kevan kali ini.

Pandanganku pun beralih pada Kevan yang berjalan di depan sembari menggandeng lenganku.

Ada gelabah dalam hatiku. Barusan kantor menghubungi berulangkali dan memintaku secepatnya datang. Ada pekerjaan penting yang sudah menunggu.

Namun melihat kondisi Kevan yang seperti ini, aku tak yakin lelaki ini akan membiarkanku masuk kerja hari ini.

Lalu, aku harus bagaimana? Mana yang harus aku pilih sekarang?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel