Chapter 5
Hari ini hari yang indah sebetulnya. Tapi berubah menyebalkan tatkala sahabatku itu tiba-tiba datang. Meminta bantuan di kala sebagian orang masih terlelap dengan tidurnya. Aku saja baru selesai mengenakan pakaian kerja, belum juga sarapan. Tiba-tiba dia sudah nongol saja di depan pintu kamar. Berbisik-bisik dengan mimik wajah menyebalkan.
"Cyiiin, temenin gue Cyiin, please gue mohon banget. Ini antara hidup dan mati gue. Luthfi besok nikah. Dan gue nggak ada kesempatan lagi selain hari ini." Haduh, permintaan macam apa sih ini? Masa mau bertemu mantan pacar saja dia minta ditemani, memangnya mau mengambil raport sekolah?
Aku tahu, Luthfi, mantan pacar Kevan ini memang akan melepas status menjadi suami, bagi wanita pilihan kedua orang tuanya. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa Kevan akan nekat menemui lelaki bertubuh tinggi itu untuk yang terakhir kali.
"Aduh, lo ngapain, sih, masih aja belom bisa move on dari mantan lo itu. Ngapain pake ketemu lagi? Kan lo tau, kalo lo itu-"
"Iya, makanya itu, Beb, gue minta lo temenin. Supaya ada yang ngingetin kalo gue mulai kebawa perasaan lagi. Gue sih udah move on sebenernya. Tapi dia ganggu-ganggu mulu," kata Kevan cepat memotong ucapanku sembari berjalan di belakangku yang mulai berjalan ke halaman rumah.
Aku mencebik. Move on dari mana ya? Jelas-jelas dia masih saja suka membuka sosial media mantannya itu. Mencari tahu apa yang dilakukan Luthfi setiap harinya setelah putus dari dirinya.
Jadi, move on macam apa yang dimaksudnya ini?
Dia memandangku dalam, memohon agar aku mau membantu kali ini, menyelesaikan sesuatu yang masih mengganjal dalam hati, mungkin.
Aku mengembuskan napas kasar. "Kadang gue nggak paham, deh, Kev sama pola pikir lo. Nyari penyakit. Udah tau dulu waktu putus, nangisnya kayak orang gila. Eh sekarang masih aja mau diulangin lagi." Ada jeda, aku diam sebentar. "Minta tolong yang laen aja, deh! Hari ini gue ada kerjaan. Nggak bisa gue tinggal," kataku akhirnya menyelesaikan kalimat.
Tadinya aku pikir, aku bisa membantunya. Namun setelah itu aku teringat ada pekerjaan yang menunggu di kantor. Jadi, mau tak mau aku harus masuk. Tak bisa membantu lelaki ini sama sekali.
Kevan berdiri kokoh di depan, mengunci jalanku yang tengah bersiap-siap masuk ke dalam mobil. Ku dorong dia agar mau menyingkir, tapi gagal. Tenaganya terlalu besar untuk kulawan.
"Ay, please. Bentar aja. Lo izin setengah hari. Begitu urusan kelar, lo langsung balik ke kantor." Lelaki ini berusaha bernegosiasi. Tapi apakah harus, demi urusan percintaan semata sampai mengorbankan pekerjaan seseorang?
"Duh, Kev. Gue banyak kerjaan." Aku memandangnya jengah.
Hubungan antara Kevan dan Luthfi ini awalnya baik-baik saja. Seperti pasangan pada umumnya yang selalu terlihat mesra dan bahagia. Namun, itu semua berubah ketika Luthfi secara tiba-tiba memberikan kabar mengejutkan, dia akan menikahi seorang wanita yang sudah dipacari selama tiga tahun lamanya.
Tentu saja, sahabatku ini terluka, merasa dibohongi oleh kekasihnya sendiri. Dia enggan untuk bertemu, memutus semua akses antara mereka. Namun ketika Luthfi memohon untuk bertemu dan berjanji, bahwa ini akan menjadi pertemuan terakhir kalinya, Kevan akhirnya menyerah.
Di usianya yang menginjak angka ke dua puluh delapan tahun, Kevan sudah menjadi pribadi yang jauh lebih terbuka dan terang-terangan mengenai orientasi seksualnya. Tepatnya sejak enam bulan yang lalu, sejak pengakuan itu ia ungkapkan; namun sikapnya yang terbuka itu hanya ia tunjukkan padaku dan Lintang saja, bahkan di second sosial medianya, hanya aku dan Lintang saja teman yang bukan dari kalangan mereka.
Dan jika di depan orang lain, Kevan akan berusaha keras menutupi jati diri dan tidak mengizinkan orang lain yang tak berkepentingan mengacak-acak ranah pribadinya.
Hal yang wajar, mengingat kaum seperti Kevan ini masih seringkali menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tak sedikit yang mencemooh dan menganggap hina. Dan begitulah cara Kevan melindungi diri. Bersikap normal selayaknya yang ia bisa. Menutupi segala perasaan demi nama baik keluarga.
"Ay, ini handphone kamu ketinggalan, Nduk." Itu bukan suara Kevan, melainkan suara Mama. Mama yang baru saja keluar dari dalam rumah itu menunjukkan handphone yang ada dalam genggaman tangannya. Aku melangkahkan kaki menghampiri Mama. Disusul Kevan yang ada di belakang.
"Oh iya, Aya lupa. Makasih ya, Ma." Mama mengangguk setelah menyerahkan benda persegi panjang itu padaku.
"Loh, ada Kevan? Kok nggak masuk tadi, Kev? Udah lama?" Sahabatku itu tersenyum, mendekati Mama dan mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkanku itu setelah mendapatkan pertanyaan demikian.
Sudah menjadi kebiasaan antara aku, Lintang dan juga Kevan, setiap kali bertemu orang tua masing-masing, harus mencium tangan seperti tadi. Budaya baik yang tak boleh dihilangkan.
"Baru dateng kok, Tan. Ini ada urusan sebentar sama Aya." Lelaki tinggi ini memamerkan cengirannya ketika aku membulatkan mata padanya.
Urusan apa? Aku merasa tidak memiliki urusan dengannya.
"Oh, gitu, ya udah Tante tinggal dulu. Takut masakannya gosong." Mama tersenyum pada Kevan, dan dibalas dengan amat sangat sok manis oleh lelaki di sebelahku ini. "Nduk, kamu hati-hati ya, nyetirnya," pesan Mama, aku mengangguk.
"Ay, please. Ini terakhir kalinya gue ketemu dia. Bantuin." Dia bersimpuh sembari memegang tanganku setelah Mama masuk ke dalam rumah. Aku menunduk dan menemukan sepasang mata penuh permohonan di sana.
"Kev, gue nggak bisa."
"Please, Ay. Gue pengen ngelepas dia tanpa penyesalan. Terakhir kali, Ay, please." Dia masih menatapku dalam.
Aku juga memandangnya lama. Mencoba berpikir, mana yang lebih aku dahulukan. Urusan pekerjaan atau percintaan sahabatku sejak masih kanak-kanak ini.
Rasanya lebih berat pekerjaan. Karena dari sanalah kehidupannya setiap bulannya terpenuhi. Tapi, aku juga tak tega membiarkan Kevan dilanda kegalauan seperti ini.
"Ya udah, ayo. Tapi gue nggak bisa lama," putusku akhirnya.
Sorot matanya berbinar, senyumnya melebar. Dia lalu merampas kunci mobilku dan berjalan lebih dulu mengambil alih kemudi. Aku mendesah pelan. Semoga ini keputusan yang benar.
Aku masih ingat pertama kali mereka berkenalan dulu. Kala itu, Kevan mencari seorang notaris yang bisa membantu mengurus jual beli ruko untuk usaha barunya. Lewat Mas Roshanlah -sepupu Kevan yang kebetulan juga sahabat Luthfi- mereka dipertemukan.
Pertemuan pertama berlangsung di kantor Mas Roshan. Kevan datang dengan mengajakku, seperti biasa.
"Kev, kenalin ini Luthfi," ucap mas Roshan memandang ke arah Kevan. Sahabatku itu bangkit dari duduknya, bersiap-bersiap mengulurkan tangan. "Luth, ini sepupu gue, Kevan." Luthfi tersenyum dan membalas uluran tangan Kevan.
Ada jeda, aku merasakan aliran lain dalam interaksi mereka. Ada sesuatu antara dua orang yang saling berjabat tangan itu.
Tatapan mata yang terasa lain dari biasanya. Dan senyum yang terpatri di wajah keduanya cukup menjelaskan, mereka saling tertarik di pertemuan pertama.
