Chapter 4
Di usianya yang menginjak delapan belas tahun. Kevan memutuskan untuk pergi dari rumah. Tanpa pekerjaan, tanpa sepeser uang pun di tangan, ia meninggalkan rumah, zona nyamannya selama ini.
Karena keputusan gegabahnya, ia pernah dua hari tidak makan, hanya minum air sebanyak yang ia bisa. Satu hal sederhana yang bisa dilakukan, bertahan hidup ditengah-tengah segala kekurangan.
"Kalo cuma untuk makan aja, lo bisa ke rumah gue atau Lintang, Kev. Lo nggak perlu kelaperan kayak gini."
Sahabatku ini makan dengan begitu lahap ketika aku dan Lintang mendatangi kostannya.
Aroma nasi padang memenuhi ruangan ini; menu yang Lintang bawa untuk makan siang Kevan.
Kulayangkan pandangan ke ruangan kost Kevan. Begitu sederhana. Hanya berukuran sekitar dua kali empat meter, terdiri dari satu dipan kecil saja. Jangankan televisi dan AC, kipas angin pun tak ada di sini.
Pikiranku menerawang, membayangkan bagaimana ia bertahan hidup di tengah segala kekurangan.
"Yang penting masih ada tempat berteduh." Kevan tersenyum. Bersyukur karena masih memiliki tempat untuk pulang, terhindar dari panas dan hujan.
"Gue nggak mau nyusahin lo berdua," sambungnya lagi, membuatku kembali dari lamunan.
Mulutnya masih sibuk mengunyah dengan sangat nikmat. Aku bahagia melihat ia makan dengan lahap. Makan yang banyak ya. Kev. Sedih rasanya melihatnya seperti ini.
"Nyusahin apaan sih? Di rumah gue, beras sama telor juga banyak. Gue ikhlas." Lintang mengucapkan itu dengan mata sendu dan bibir yang kehilangan senyum. Sama sepertiku, ia juga bersedih.
"Gue sanggup nahan laper. Tenang aja. Gue nggak mau ngerepotin lo berdua." Sahabatku selalu seperti ini, mengatakan ia baik-baik saja walaupun kenyataannya tidak.
Ada sifat dalam dirinya yang tak mau menjadi beban bagi orang lain. Pada akhirnya sifat yang demikianlah yang membuat ia menjadi semakin susah.
"Lo ngomong apa sih, Kev? Kalo mikirnya kayak gitu apa gunanya kita sahabatan? Lo turun berapa kilo, sih? Kurus banget." Lintang memandangi wajah Kevan. Lelaki berhidung mancung itu terlihat tirus, dengan tulang pipi yang mulai menonjol.
"Gue nggak nimbang. Tapi emang kurusan. Celana pada kedodoran semua." Dia tertawa sembari mengambil botol air mineral, menegaknya hingga tandas.
"Tuh, kan, pantes lo kurusan. Besok-besok, lo telpon gue atau Aya kalo kurang duit ya. Nggak usah ngerasa malu."
"Nggak usah khawatir. Besok gue mulai kerja kok jadi SPB (Sales Promotion Boy). Lumayan buat sehari-hari." Lalu ia mulai asik menggigit Donut Jco nya setelah tadi menghabiskan sebungkus nasi padang.
Kalau boleh aku sedikit bercerita, dari Sales Promotion Boy lah sahabatku itu mengawali kariernya. Dia juga mulai meningkatkan kemampuan dengan mengikuti berbagai macam training di bidang marketing pada waktu itu.
"Gue harus ikut banyak training supaya kemampuan gue nambah. Karena gue nggak mungkin kuliah," tuturnya dengan tatapan sendu, tanpa senyum sedikit pun.
Kondisinya yang sedang bermasalah dengan orang tua angkat, membuat ia mengubur dalam-dalam mimpi untuk bisa menginjakkan kaki di bangku kuliah. Mimpi yang dulunya ia bentangkan setinggi-tingginya namun terpaksa redup karena keadaan.
Usaha Kevan mengikuti berbagai macam training itu pun membuahkan hasil. Di usia ke dua puluh empat tahun, ia berhasil menjadi Departement Head Trainer Eksekutif. Satu-satunya orang yang bisa berada pada posisi itu dengan pendidikan yang hanya setamat Sekolah Menengah Atas saja.
"Gue pengin suatu saat bisa tinggal di apartemen, naik turun mobil dengan supir pribadi yang nemenin. Dengan gaya metroseksual yang bikin gue jadi makin keren."
Itu adalah sebagian mimpi yang pernah diucapkannya dulu, ketika aku dan dia sedang duduk-duduk di bawah pohon mangga depan rumahku. Kami berdua pernah ada di masa itu, membentangkan mimpi setinggi-tingginya, berharap angin menerbangkan mimpi kami untuk disampaikannya kepada pemilik semesta.
"Karena mimpi itu gratis, maka bermimpilah. Dan kejar mimpi itu sampai Tuhan memanggilmu pulang," ujarnya menambahi.
Bagi Kevan menjadi seorang Departement Head Trainer Eksekutif saja ternyata tak cukup. Ia merasa memiliki gaji besar tapi tak memiliki tabungan karena sifatnya yang boros.
Maka, sahabatku itu mulai berpikir keras, apa yang bisa dilakukan agar tabungan yang dimiliki bisa menghasilkan sesuatu.
Ia pun memutuskan untuk keluar dari zona amannya. Berhenti bekerja dan mulai membangun bisnis.
Bisnis telur ayam adalah pilihan yang dia ambil pada saat itu. Tapi gagal, karena banyak kendala. Telur pecah dan busuk sebelum sampai ke depo adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan setiap hari.
Ia mencoba peruntungan lain, peternakan ayam dan peternakan ikan juga pernah dicoba. Namun kembali gagal.
Sisa uang di tabungan mulai menipis. Kevan mulai bingung harus membuat bisnis apalagi, semua sudah dicoba tapi keberuntungan masih belum juga berpihak.
Hingga suatu hari, ia ingin membeli dompet yang dapat diisi untuk dua jenis handphone. Di toko online, ia mendapat dengan harga seratus lima puluh ribu rupiah. Mungkin nasib sedang berpihak padanya, tanpa sengaja ia bertemu salah seorang teman yang memiliki konveksi dompet seharga lima puluh ribu rupiah saja.
"Ay, ini kesempatan gue. Lo tahu, ini dompet lagi tinggi peminatnya? Di online shop harganya bisa sampe seratus lima puluh ribu. Ini gue dapet harga murah. Bego aja kalo gue ngelewatin gitu aja, ini kesempatan gue."
Maka berawal dari sanalah, ia belajar membangun bisnisnya. Dari posisi masih merangkak, belajar tertatih, terjatuh, bangkit kembali, mulai bisa berjalan dan akhirnya berlari.
Dimulai dari satu toko ke toko lain, kini seorang Kevan bisa memiliki outlet sendiri yang tersebar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Bahkan usaha dompet kulitnya ini bukan hanya merajai pangsa pasar di dalam saja, tapi juga luar negeri. Sebagai sahabat, tentu saja aku bangga. Karena ia berhasil membuktikan bahwa dengan kerja keras tak ada hal yang sia-sia.
Namun sayangnya, kesuksesannya di bidang bisnis tak dibarengi dengan kesuksesan dalam hal percintaan. Kevan sering mengatakan padaku tak pernah terpikir akan menikah. Aku pikir itu hanya gurauan semata. Tapi ternyata salah. Dia benar-benar serius akan ucapannya.
Terbukti ia pernah memutuskan tak melanjutkan kuliah hanya karena merasa tak nyaman dikejar-kejar teman wanita yang menyukainya.
"Agresif banget dia. Gue takut ... " ucap Kevan kala itu memberikan alasan setelah ketahuan olehku dan Lintang bahwa statusnya tak lagi menjadi mahasiswa.
"Cuma perkara cewek doang?" tanya Lintang tak habis pikir. "Ampun dah, Kev." Ia pun berjalan mondar mandir sembari memegang keningnya. Pusing.
"Ya gimana, gue udah nggak nyaman," sahut Kevan santai.
"Lo udah semester empat. Sayang banget tau! Ini kan kesempatan lo. Dari dulu kan lo pengen kuliah, Kev." Mungkin Kevan sedang lupa salah satu mimpinya yang lain. Jadi aku sengaja mengingatkannya lagi.
Bisa meneruskan pendidikan hingga Universitas merupakan salah satu mimpi yang ingin dicapainya dulu. Dan itu bisa terwujud setelah ia sukses. Lantas hanya karena permasalahan wanita dia sampai menghentikan mimpinya begitu saja?
Betapa bodohnya ....
Pada saat itu, aku dan Lintang sampai bingung sendiri. Wanita itu kan hanya mengajaknya berpacaran, bukan menikah. Kenapa dia sampai ketakutan setengah mati seperti itu?
"Lagian dia cuma ngajak pacaran. Wajahnya juga lumayan kok. Kenapa nggak dicoba dulu?" desak Lintang setelah Kevan memberi tahu aku dan Lintang bagaimana wajah gadis yang mengejarnya itu lewat foto yang ada di ponselnya. Cantik, mirip artis korea.
"Kalian nggak ngerti sih ... " gumamnya, frustasi.
Pada saat itu, aku dan Lintang tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga akhirnya pengakuan itu tercetus, maka dengan sendirinya segala tanda tanya itu pun menemukan jawabannya. Dia gay, dia berbeda dan kami harus menerima.
