Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 3

Pukul satu dini hari, kantuk sepertinya masih enggan menghampiri. Aku menyesap secangkir susu coklat hangat dan berharap susu coklat itu mampu membuatku tertidur lelap.

Namun hingga lima menit berlalu sejak isi dalam cangkirku tandas, rasa kantuk masih belum mau berteman denganku.

Miris. Padahal lantunan instrumen pengantar tidur milik Depapepe yang berjudul Wedding Bell sudah ikut menemani sejak dua jam yang lalu.

Entah ke mana semua kantukku ini pergi?

Aku menengadah menatap langit-langit kamar. Teringat kembali pengakuan Kevan tadi. Pada akhirnya segala tanda tanya yang selama ini hanya aku dan Lintang pertanyakan terbuka dengan sendirinya.

Pertanyaan-pertanyaan kenapa Kevan seringkali terlihat aneh. Bagaimana dulu aku menemukan foto dalam galeri handphone-nya, sahabatku itu berdandan layaknya wanita. Dia beralasan itu ulah teman-temannya.

"Itu kerjaan temen-temen gue. Gue kalah taruhan bola. Sebagai hukumannya harus dandan kayak gitu," ucap Kevan kala itu. Usianya masih tujuh belas tahun, masih kurus, tetap ganteng tapi belum mengenal perawatan salon. Belum aktif nge-gym seperti ketika dia dewasa.

"Trus, lo mau gitu, didandanin begini?" Dia memandangku sendu setelah mendapat omelan seperti itu. Aku tak habis pikir. Memangnya tak ada lagi hal lain yang bisa dilakukan selain mendandani laki-laki hingga secantik itu?

Dan lagi, kalau pun ada lelaki yang mau didandani seperti itu paling tidak ekspresi yang dia tunjukan juga tak perlu menjiwai begitu.

"Teman-temen gue yang maksa--" Dia menggantung ucapan, karena bunyi telpon masuk terdengar. Kevan memberi kode dengan tangan, meminta izin untuk mengangkat telpon sebentar.

Setelah Kevan berjalan agak menjauh, aku dan Lintang mengamati foto itu lagi. Dalam foto tersebut, sahabatku itu memakai wig panjang, lengkap dengan make up yang membuatnya terlihat cantik. Lelaki itu juga mengenakan dress berwarna hitam, entah apa yang dilakukannya hingga membuat buah dadanya ikut menonjol ke atas.

Apakah ia menggunakan push up bra?

Tapi dari semua hal itu yang lebih menggelikan adalah ekspresinya yang sedang menggigit bibir. Aku memandang Lintang, Lintang juga ikut memandangku dengan mulut yang lupa terkatup.

"Kalo dipaksa kenapa ekspresinya begini ya? Dia ngapain sih pake gigit-gigit bibir segala?" bisik Lintang ketika laki-laki itu sedang sibuk mengangkat telpon di ambang pintu kamar.

Kuperhatikan foto itu dengan seksama dan membenarkan ucapan Lintang tadi. Ada rasa tak percaya melihat penampilan Kevan yang seperti ini.

"Iya. Laki-laki kan biasanya risih." Suaraku melemah sembari menatap Kevan yang sedang berdiri membelakangi kami berdua.

Sulit menerima atas apa yang barusan kulihat. Karena laki-laki biasanya akan antipati dengan sesuatu yang berhubungan dengan make up. Apalagi ekspresi wajah seperti tadi. Laki-laki normal jelas tidak akan berlaku demikian.

Laki-laki normal juga tak akan menyangga buah dadanya hingga menyembul kemana-mana.

Itu adalah awal kecurigaanku dan Lintang. Semakin lama semakin banyak hal yang terbuka, ini adalah salah satu contohnya. Aku pernah memergoki Kevan tengah memperhatikan majalah pria dewasa. Pria-pria ganteng dengan perut sixpack-nya.

Dia tidak sadar bahwa pada saat itu, aku sedang memperhatikannya dari belakang. Setiap kali dia menoleh, aku berpura-pura sibuk dengan ponselku, menggeser-geser layarnya yang gelap karena baterainya yang lemah.

Dengan cara itu, Kevan tak akan pernah tahu segala aktivitasnya sedang menjadi pusat perhatian. Aku bisa leluasa merekam semua yang terjadi melalui netraku. Dan itu terkenang hingga sekarang.

Seandainya Kevan dulu tahu bahwa seringkali aku dan Lintang membuntuti dia dari belakang. Mengikuti aktivitasnya hanya untuk memastikan kecurigaan kami berdua. Aku tak bisa membayangkan semarah apa dia nanti.

Bahkan aku dan Lintang pernah melihatnya pulang dengan seorang pria. Mereka berciuman layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta. Dari pengakuan Kevan kemarin bahwa dia pernah melayani nafsu seorang pria satu kali, maka aku menduga pria tersebutlah orangnya.

Kehidupan Kevan memang banyak mengalami pasang surut sejak dulu. Dan supaya tetap bisa bertahan hidup, dia terpaksa menjual diri, satu hal yang aku dan Lintang sesali, kenapa hal tersebut harus dia lakukan.

Dia mencari jalannya sendiri, bukannya mencariku dan juga Lintang ketika keadaannya sedang sulit.

Kevan pernah bercerita, ketika kecil dia sering sekali sakit-sakitan. Ada orang pintar yang mengatakan Kevan ini ciong (dalam budaya cina yang berarti bertentangan atau bertabrakan atau kurang baik jika disatukan) dengan ibunya. Dan karena hal itulah, Kevan kecil terpaksa diangkat anak oleh salah satu tetangganya.

Konon katanya, jika tetap disatukan atau bersama, maka salah satu pihak akan ada yang kalah (meninggal). Menghindari hal tersebut, si Tetangga tadi itu pun menawarkan bantuan. Mengadopsi Kevan menjadi anak kelimanya di antara keempat kakak-kakaknya yang kebetulan perempuan semua. 

Namun, ternyata tinggal dengan orang tua angkat juga tak semudah itu. Ayah angkat Kevan merupakan sosok ayah yang keras. Yang tak sungkan memukul dan berlaku kasar apabila Kevan membangkang.

Ditambah lagi, Kevan merupakan satu-satunya anak laki-laki. Ayah angkat Kevan tak ingin Kevan tumbuh menjadi anak yang lemah dan lembek. Maka dia memperlakukan Kevan berbeda dari keempat kakak-kakaknya yang berjenis kelamin perempuan.

Ketika remaja, Kevan yang sedang mencari jati diri ini berkali-kali berselisih paham dengan ayahnya.

Orang tua kandung Kevan beragama nasrani. Sedangkan ayah angkatnya merupakan seorang muslim yang taat.

Perbedaan lingkungan keluarga, membuat Kevan mempertanyakan keimanan yang dimilikinya. Apakah cenderung sama dengan orang tua kandung ataukah sama dengan orang tua angkat.

"Lo mau kemana, Ay? Ke gereja ya? Gue ikut dong." Aku ingat sekali dulu Kevan pernah mengatakan itu padaku.

Kerinduannya untuk memuji Tuhan di rumahNya.

Namun, beberapa minggu kemudian, dia juga pernah mengatakan ini pada Lintang.

"Lo mau ke mesjid ya, Tang? Gue ikut dong, Tang." Jadi, aku dan Lintang bingung sendiri, hati Kevan sebenarnya lebih cenderung kemana. Namun pada akhirnya, aku dan Lintang memaklumi.

Wajar jika Kevan mengalami kebingungan. Karena didikan yang berbeda dari dua keluarga yang berbeda. Di rumah orang tua kandungnya, kental dengan lagu rohani. Sedangkan di rumah orang tua angkatnya terbiasa dididik untuk rajin mengaji.

Belum lagi ketertarikannya pada laki-laki yang terlalu mendominasi. Membuat Kevan dan ayah angkatnya berkali-kali bersitegang. Kevan sering sekali membawa laki-laki menginap di rumah, berduaan saja di kamar hingga berjam-jam.

Mungkin ayahnya melihat ada hal yang tak biasa dari putra bungsunya, maka itu dia melarang keras Kevan membawa laki-laki ke rumah.

Kevan yang mulai tumbuh dewasa dan mulai bisa melawan itu pun tak terima dengan larangan ayahnya. Hingga akhirnya dia memilih pergi dari rumah. Dan tak pernah menyadari bahwa kehidupan di luar ternyata lebih keras dari didikan ayahnya di rumah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel