Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 2

"Heh, wanita! Udah sih, jangan cengeng. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis. Gue eneg tau nggak!" semprot Kevan jengah setelah hampir satu jam ia bercerita tentang orientasi seksualnya dan hanya diiringi oleh air mata Lintang yang tak kunjung usai.

Tangisan Lintang semakin menjadi. Bahkan kini ia sibuk membuang ingus ke dalam tissue yang sedang digenggamannya. Kevan mengernyit jijik.

Aku tertawa. Ada rasa bahagia melihat Kevan yang mulai cerewet. Itu artinya, suasana hatinya sudah mulai membaik sekarang.

"Tau lu, Tang, nangis mulu idup lo. Cerita cuma sejam tapi nangisnya bisa sampe setahunan sendiri," ledekku menambahi. Kevan mengangguk-angguk setuju.

"Udah ah, gue capek pura-pura jadi laki terus di depan kalian. Mending kita ngerumpi aja," ujar Kevan tiba-tiba dengan gestur yang jauh berbeda. Kerlingan mata dan gerak bibirnya bukan seperti ia yang biasanya. Belum selesai keterkejutanku dan Lintang, Kevan kembali berucap. "Eh Cyiiiin, kalian tahu nggak di sebelah apartemen gue ada laki ganteng banget, Booo ... ya ampun, badannya, bibirnya, aduh ... rasanya pengen gue cipok." Sorot mata Kevan menerawang membayangkan sesuatu. Sorot mata itu begitu hidup. Sorot mata jatuh cinta.

Aku dan Lintang sampai lupa mengatupkan mulut. Kenapa Kevan jadi begini?

"Tiap ngeliat dia rasanya pengen gue kunciin di kamar. Nggak akan gue kasih keluar. Posesif ya gue? Bodo amat, deh, laki model gitu, Cyiiin, sayang dilewatin," cerocos Kevan mirip ibu-ibu yang biasa belanja di tukang sayur.

Aku dan Lintang bersitatap. Walaupun Kevan sudah mengakui orientasi seksualnya, tapi tetap saja kami masih belum terbiasa dengan gestur tubuhnya yang seperti ini. Kemana Kevan yang biasanya macho itu? Kevan yang gagah dan bersuara bariton?

"Kenalin, Kev, ke gue," pintaku cepat. Namanya juga perempuan wajar jika memiliki radar sendiri ketika menemukan pria single yang layak untuk diajak pedekate. Kevan mencebik. Pandangannya mengatakan 'lo mau cari mati?'

"Kenalin sih, Kev," rayuku. Dia semakin menatapku dengan pandangan jengkel. Lintang menggeleng-gelengkan kepala. Layaknya seorang ibu yang jengah melihat kedua anaknya beragumen.

"Ih, kagak bisa. Itu jatah gue. Bagian lo nanti aja ya, Cyiinn, gue cariin. Lo suka yang modelnya kaya gimana, sih? Kayak mamang-mamang parkir di bawah itu ya? Gampang!" Dia menjentikkan jemarinya. Membuatku kesal.

Kulempar Kevan dengan bantal sofa yang sedari tadi kupeluk. Mulut Kevan aslinya seperti ini, lebih pedas dari cabe sepuluh kiloan. Menyebalkan!

"Sembarangan kalo ngomong!” dengkusku sebal, apalagi ketika melihat dia sedang meledekku dengan ucapan 'bodo' tanpa suara.

Lintang tergelak. "Lo jahat banget, Kev. Nggak rela gue, lo ngejodohin Aya sama sembarangan orang kaya gitu. Aya kan cantik, lo liat aja kalo lagi senyum, lesung pipi sebelah kirinya bikin dia jadi makin manis tauk!" Mataku berbinar. Duh, manisnya sahabatku ini. So sweet banget deh, jadi enak, jadi makin sayang.

"Iyuwh apaan sih lu, Ay. Jijik tau nggak!” teriak Lintang setelah aku berhasil mendaratkan satu ciuman dengan bonus air liur di pipinya yang mulus itu.

Bibirnya mencebik.

Kevan terbahak-bahak, begitu pula dengan aku yang langsung menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan kekehan di sana. Aku suka sekali tertawa dengan mulut yang ditutup. Bukan karena pernafasanku yang bau atau gigi yang ompong. Mungkin karena kebiasaan lama yang sulit untuk dihilangkan.

Lintang mengusap pipi dengan tissue. Ekspresi jijik tercetak jelas pada raut wajahnya. Selain cengeng, Lintang ini pecinta kebersihan, dia paling alergi dengan hal-hal seperti ini.

Tapi entah kenapa, menggodanya itu semacem hobi yang sulit untuk dihilangkan. Semakin dia marah malah semakin membuatku bahagia.

"Nyium pipi itu nggak pake ludah ya. Dodol banget, sih lo, nggak bisa bedain french kiss sama cium pipi. Perlu gue ajarin apa?" cerocosnya masih kesal.

"Sini, ajarin dong ... kebetulan gue lupa caranya gimana." Aku hendak memeluknya tapi ditahan oleh Lintang dengan kakinya. Dia marah tapi semakin membuat gemas.

"Ya ampyun, kasian ... kelamaan ngejomblo sih, ya?" cibir Kevan menyebalkan. Belum sempat aku merespon sikap Kevan itu, suara Lintang keburu terdengar.

"Lo berani maju gue tendang, nih!” gertaknya galak. Kembali aku terbahak.

"Duh, ini cabe-cabean nggak jelas banget kelakuan. Gimana gue mau suka sama perempuan kalo yang gue temuin modelnya kaya kalian? Heh, wanita! Daripada lo berdua berantem nggak jelas, mending temenin gue ke salon." Kevan menarikku dan Lintang bergantian. Membuat perdebatan antara aku dan Lintang selesai pada saat itu juga.

"Gue nggak bisa, Kev. Gue belom masak, belom gosok, belom nyuci, belom beberes, rumah gue masih berantakan!" protes Lintang kelimpungan karena tarikan Kevan yang tiba-tiba. Tak ubahnya dengan aku yang sempat terjatuh dari sofa karena ulah Kevan itu. Dan dia malah tertawa saja menanggapi.

"Aduh, Cyiiin, jiwa bibiknya tinggalin dulu deh. Sesekali jadi nyonya kenapa, sih? Dandan gitu kek biar cantikan dikit. Lo tuh kumel banget sekarang. Aura lo makin aur-auran gue perhatiin lama-lama," cerocos Kevan bawel.

"Aduh, kapan-kapan aja. Bentar lagi, Arga pulang. Gue mau masak." Arga itu suami Lintang. Semenjak menikah, sahabatku ini memang ibu rumah tangga sejati. Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendiri. Mengurus dua bocah pun tanpa dibantu sama sekali oleh pengasuh.

Kalau pun keteteran, Lintang hanya meminta bantuan ibunya sementara waktu, sampai dia bisa menghandle semuanya sendiri lagi.

Oleh karena itulah, kenapa Kevan memaksa aku dan Lintang ke salon. Karena aku tak suka perawatan. Sedangkan Lintang semenjak menikah memang tak pernah memoles wajahnya lagi dengan make up.

Kesibukannya mengurus rumah tangga membuat hal yang biasa dilakukan ketika masih single dulu menjadi sulit dilakukan ketika sudah menikah.

"Udah ntar beli jadi aja. Sebagai bini, kita harus bisa jaga penampilan, Cyiin. Supaya laki tetep sayang dan betah di rumah. Laki tuh ya udah capek seharian kerja, sambut kek, dengan penampilan yang oke. Jangan daster lagi daster lagi yang lo pake! Emang lo nggak takut apa? Di luaran sana itu banyak pelakor yang siap perang!" omel Kevan bawelnya minta ampun. Jadi pengen nyambelin mulutnya biar diem sebentar aja.

“Ih, bawel banget sih lo ngelebihin emak gue aja!” cetus Lintang kesal.

"Ih, lu dikasih tau juga ngeyel! Gue nih, udah pengalaman ya laki gue dicomotin orang. Sakit ati, Cyiiin. Makanya, gue ajarin. Biar lu berdua nggak ngerasain apa yang gue rasain. Cukup gue aja yang sakit. Kalian jangan!" Kevan masih saja ngomel-ngomel tak jelas tujuannya.

Aku hanya mampu tertawa melihat pertengkaran mereka berdua dan sedikit pun tak pernah menyadari, bahwa nantinya pengakuan Kevan tadi akan mengubah masa depanku untuk selamanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel