Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 15

Aku menengadah. Menatap proses alam yang begitu indah ketika matahari kembali ke peraduan, senja mencoba menaburkan rona jingga.

Aku benci kehilangan. Muak dengan segala macam perpisahan. Tapi tidak kepada perpisahan yang terjadi antara surya dan cakrawala sore ini. Kalau boleh aku berharap agar waktu bisa terhenti sebentar, untuk dapat menikmati proses ini lebih lama lagi.

Kuambil ponsel dan mencoba mengabadikan moment ini hingga berkali-kali.

"Cyiinn, sedih amat sih fotonya sendirian. Itu banyak bule nganggur. Samperin gih, ajak foto bareng. Kali aja jodoh. Kasian ih gue sama status jomblo tiga tahun lu itu, nggak pengen diperbaharui apa?" ujar Kevan tiba-tiba datang, ikut duduk di sebelahku pada kursi berpayung di pinggir pantai.

Duh, Kevan, minta banget disambelin. Lemes banget mulutnya.

"Nggak usah bawel, deh!" dengkusku sebal.

"Aw ... aw ..., galaknya. Eike takut ih Cyiin. Padahal nih ya, gue tuh cuma kasian sama lo. Makanya gue kasih tau. Lo belom pernah denger peraturan baru ya? Peraturan bagi para jomblo, supaya lebih efektif katanya yang masa jomblonya lebih dari lima taon, bakalan dihukum mati. Ah, Ayaaaa ... masa lu dirajam!" teriak Kevan lebay. Aku menoleh kepadanya dengan tatapan kesal.

"Sebelum gue dirajam. Elu dulu yang bakalan gue rajam!" pekikku.

"Issshh, jangan galak-galak, Cyiin, nanti para pria single takut loh buat deketin." Kevan mengucapkan itu dengan bibir yang dibuat-buat layaknya orang nyinyir. Semakin membuatku kesal.

"Bibir lo belum pernah dibuat rujak cingur ya, Kev?"

Mendengar pertanyaanku, secepat kilat dia langsung membekap mulutnya. Melindungi bibirnya dari amukanku.

"Gue kan cuma ngasih tau, ih. Sebagai sesama anak gadis kita harus murah senyum, Cyiin. Supaya jodoh kita itu nggak jauh." Dia mengucapkan itu sembari menutup mulutnya dengan tangan, namun aku masih dapat mendengar dengan jelas ucapannya itu.

"Sotoy!"

"Ih, bener. Kan nyokap gue suka bilang gitu ke adek gue. Anak gadis nggak boleh galak, harus ramah, murah senyum, supaya jodohnya nggak jauh. Ya gue dengerin ajalah omongan nyokap. Kan eyke anak gadis juga, Cyiinn." Aku menahan geli. Anak gadis yang berjakun?

Suara dering ponsel menyeruak. Kevan mengangkat panggilan yang masuk.

"Iya, Yang." Dia diam sebentar, mendengarkan suara Mario di seberang sana. "Oh oke, aku sama Aya langsung ke sana ya. Bye."

"Kuy ah, Cyiin, cintaku barusan nelpon ngajak kita makan." Ia menarik tanganku begitu telepon dari Mario terputus. Aku malas mendengarkan ucapannya. Apa tadi dia bilang? Cintaku? Ah tai kucing!

"Nggak, ah! Gue mau jalan-jalan sendiri aja. Lu pergi aja berdua sama Mario." Sudah cukup ya pemandangan yang aku lihat kemarin, aku tak ingin melihatnya lagi.

"Nggak bisa! Lu tanggung jawab gue ya selama di sini. Jadi harus ikut kemana aja gue pergi!" Bukan Kevan namanya jika menyerah begitu saja. Seandainya keadaannya tak seperti kemarin, mungkin aku bisa menikmati segala hal yang Kevan dan Mario lakukan.

"Aduh, males banget sih gue harus jadi obat nyamuk mulu. Gue mau jalan-jalan sendirian, Kev!" Tetap aku tak mau menyerah begitu saja. Semoga Kevan mengerti.

"Nanti lu ilang gimana? Lu diculik gimana? Udah ayok ikut gue!" Tanpa sempat aku menjawab lagi, Kevan keburu menarik tanganku. Terpaksa aku mengikuti kemauannya lagi. Ah, nasib ....

Dan setengah jam kemudian, aku sudah ada di sini sekarang. Di salah satu tempat makan di tepi pantai Jimbaran bernama Cafe Menega.

Suasana makan malam di pinggir pantai Jimbaran ini begitu romantis, karena hanya dibantu oleh cahaya lilin yang diletakkan pada sebuah tempat menyerupai gelas cembung. Alunan musik dari musisi jalanan juga turut meramaikan suasana dengan pilihan lagu yang bisa direquest sesuai dengan selera.

Kulihat Kevan dan Mario begitu mesra. Kevan beberapa kali menanyakan Mario apakah nasinya cukup, lauknya mau ditambah, kangkungnya mau diorder lagi atau tidak. Aku tertawa geli. Persis seperti istri yang sedang meladeni suaminya. Seandainya Kevan ini perempuan, pasti dia layak dinobatkan sebagai istri yang sholeha.

Sembari sibuk dengan makananku, beberapa kali kuperhatikan sahabatku. Dari matanya yang berjenis monolid dapat terlihat, dia bahagia saat ini. Senyum terus menerus terkembang dari bibirnya yang tipis.

"Tambah lagi, Ya," ujar Mario kepadaku sembari sibuk memisahkan kulit udang jumbo yang dimasak dengan cara dibakar. "Di sini terkenal enak loh, apalagi kerang bakarnya nih. Favorit di sini. Mumpung lagi di Bali, ayo tambah lagi, Ya."

"Thanks Yo, tapi udah kenyang gue," sahutku sembari mengusap-usap perut yang mulai membuncit.

"Kenyang karena ngeliatin orang pacaran?" goda Mario.

Aku tergelak. Bukan kenyang lagi, tapi mau muntah ini!

"Ngeliatin kalian maksudnya?" tanyaku to the point.

Mario terkekeh. "Bikin sakit mata ya, Ya?"

Aku mengangguk dan tersenyum.

"Tuh, Yang, kasian ini Aya jadi baper ngeliatin kita. Kamu sih manas-manasin terus," protes Mario kepada Kevan sembari menatap pasangannya dengan mesra.

"Aya bahagia kok, Yang, ngejomblo," sahut Kevan. Aku memandang Kevan dengan tatapan jengkel. Mulai lagi nih anak. "Lebih baik Aya sendiri, Yang, daripada punya pacar tapi cuma bisa nyakitin. Aya ini kesayangan aku. Jadi nggak boleh ada laki-laki alay yang deketin."

Mario tertawa. "Laki-laki alay yang suka nonton lala yeyeye, lala yeyeye itu ya, Yang?"

Aku tergelak mendengar ucapan Mario. Dia suka nonton acara itu juga rupanya.

"Ih, Yang, kamu kok alay sih tontonannya," ledek Kevan. Mario mendengus. Kevan tertawa. "Gemes, ih, pacar aku lucu banget kalo gini."

Duh, gusti paringono honda jazz.

"Ah, sakit mata deh gue," sindirku tertawa.

Keduanya terkekeh. "Maaf ya, Ya, suka lupa diri emang ini sahabat kamu," celetuk Mario kemudian.

"Issshhh, aku malah dibilang lupa diri." Kevan mencebik. "Soal Aya, sebenernya banyak yang mau deketin tapi selalu aku dan Lintang seleksi. Aku kan nggak bisa selamanya ngejaga Aya, Yang, jadi ini emang caraku meminimalisir kekhawatiran. Supaya aku juga bisa lega menyerahkan Aya ke orang yang tepat nantinya. Sama halnya aku lega menyerahkan Lintang ke Arga, karena Arga itu sosok terbaik untuk Lintang saat ini dan yang akan datang."

Aku memandang Kevan dengan haru. Aku jadi teringat bagaimana perjuangan Arga, suami Lintang dulu untuk bisa mendapatkan hati sahabatku itu karena ulah Kevan yang selalu membuat hal yang mudah menjadi sulit bagi Arga.

"Aku jadi iri, Yang. Kamu sayang banget sama sahabat-sahabat kamu." Mario memasang wajah sedihnya. Duh, ini drama apa lagi?

"Ih, Sayang, kamu jangan iri. Kan hati aku masih luas untuk dibagi-bagi." Kevan menaikturunkan alisnya.

"Hmmm dibagi-bagi. Sama cowok lain gitu?"

"Tuh kan salah paham lagi. Dibagi-bagi sama kamu, sama sahabat-sahabat aku, keluarga aku, Yang. Jangan ngambek dong. Nanti aku sedih." Kevan memberikan mimik sok sedihnya sembari memandang Mario yang cemberut. Aku mual lagi!

Haduh, ini kameranya di sebelah mana sih? Rasanya nggak kuat. Aku mau muntah!

"Udah sih. Urusan rumah tangga dibawa nanti aja di Villa. Jangan berantem di sini. Malu issshhh diliatin orang," komentarku menutup drama di antara mereka berdua.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel