Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 14

Aku bersembunyi di kamar hingga ketiduran. Jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul empat sore. Rasanya nyaman sekali kamar ini.

Aku suka interiornya. Minimalis, dengan perpaduan warna putih, krem, abu-abu dan hitam. Sangat teduh dan menenangkan.

Villa ini didesain untuk pasangan yang sedang berbulan madu. Memiliki pantai pribadi yang untuk bisa mencapai ke sana, aku hanya perlu turun ke bawah saja.

"Ibu, mau teh atau apa, Bu? Kevan buatkan." Kudengar suara Kevan sedang berbicara dengan seseorang ketika aku hendak keluar kamar menuju ruang tamu. Setahuku, sebelum aku tertidur tadi hanya ada kami bertiga saja di sini. Lantas siapa sebenarnya sosok yang dipanggilnya 'Bu' tadi?

Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Sesosok wanita paruh baya tertangkap indera pengelihatanku. Usianya mungkin sekitar enam puluh tahun, namun terlihat masih sehat.

Kevan yang sedang berada di dapur melihat keberadaanku. Lantas dengan gerakan tangannya ia meminta aku bergabung. Lokasi dapur dan ruang tamu memang dalam satu ruangan sehingga memudahkan Kevan untuk melihatku yang baru keluar dari kamar.

"Ibu, kenalin ini Aya, sahabat kecil Kevan." Wanita tersebut menoleh kepadaku dan tersenyum.

Aku suka senyumannya. Begitu tulus dan teduh. Wajahnya mirip Mario. Mario versi wanita kalau boleh kubilang. Cantik.

Kuhampiri wanita itu dan mencium punggung tangannya. Beliau mengusap bahuku dan memandang dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.

"Cantik sekali. Betul, hanya bersahabat? Bukan pacaran?" Aku terkekeh mendengarnya. "Sini, Nak, duduk sini. Dekat Ibu."

Kuikuti permintaan beliau untuk duduk di sebelahnya, pada sofa besar berwarna putih.

"Ini ibunya Mario, Ay," ucapan Kevan membuatku tertegun.

Ibu Mario? Beliau tahu tidak ya anaknya itu ...

Aku tahu itu urusan Mario dan Kevan. Tapi melihat wanita sebaik ini, aku merasa sedih sendiri.

"Kapan-kapan main ya, Nak Aya, ke rumah. Nanti minta temani Nak Kevan. Ibu anak ada dua. Laki-laki semua. Jadi kalo melihat anak perempuan rasanya sayang." Ibunda Mario itu menggenggam tanganku dan tersenyum untuk yang kesekian kali. Murah senyum sekali.

"Iya Ibu. Nanti kapan-kapan Aya main ya." Aku tersenyum menatap wanita di hadapanku ini.

Guratan keriput memenuhi wajahnya, warna hitam pada rambutnya pun sudah memudar, berganti warna menjadi putih keabu-abuan. Tapi senyuman yang dimilikinya memberikan semangat bagi siapa saja yang memandangnya.

"Ibu ini tehnya ya." Kevan meletakkan secangkir teh di meja dan duduk di sebelah kanan ibunda Mario. "Ibu sudah makan belum? Mau makan apa? Kevan buatin." Aku mengamati gerak gerik Kevan.

"Ibu sudah makan, Nak Kevan. Nggak usah repot-repot."

"Atau mau dibungkus aja, Bu. Kevan pesankan. Ibu mau apa?" Aku masih memperhatikan.

"Nggak usah repot-repot, Nak. Di rumah sudah ada makanan. Nanti malah kebuang," jawab Ibunda Mario sembari memegang tangan Kevan.

Kevan menepuk keningnya. "Ya ampun, Kevan lupa. Kemarin Kevan buat kue. Tunggu sebentar ya, Bu." Kevan menghambur ke kamar. Lalu kembali lagi dengan membawa tiga toples kue. "Ini buatan Kevan, Bu. Dicoba ya. Nanti Kevan buat lagi kalo Ibu suka." Kevan membuka tutup toples tersebut dan meminta Ibunda Mario mencicipinya.

"Enak loh, Ma, buatan Kevan. Dia jago bikin kue. Hobinya masak," timpal Mario yang baru datang dari kamar mandi, promosi.

Dia tersenyum memperhatikan ibu kandungnya bisa rukun dengan 'calon menantunya.'

Ibunda Mario mencoba kue buatan Kevan. Sahabatku menunggu 'calon mertuanya' itu mengucapkan sesuatu.

"Enak, Nak Kevan." Ibunda Mario menganggukan kepala. Ekspresi wajah tulus mengatakan bahwa kue buatan Kevan memang betul-betul enak. Bukan basa basi semata.

Raut bahagia tercetak di wajah Kevan. Aku tertawa. Melihat Kevan yang seperti ini, aku seperti melihat 'anak gadis yang sedang berusaha mengambil hati mertuanya.'

Obrolan terus berlangsung hingga satu jam kemudian. Dapat terlihat bahwa Ibunda Mario begitu menyayangi Kevan, sangat akrab satu sama lain. Aku sedikit berpikir apakah ibunda Mario mengetahui hubungan anaknya dengan Kevan?

"Ibunya Mario taunya gue rekan bisnis anaknya gitu, deh," terang Kevan menjawab pertanyaanku ketika Mario sedang mengantar ibunya pulang.

"Ibunya Mario nggak tau kalo Mario ...?" Aku menggantung pertanyaanku.

"Nggak. Gila kali kalo sampe tau, Neik, bisa disunatin kali pacar eyke." Kevan merebahkan dirinya di sofa sembari memeluk bantal.

"Lah trus lo sama Mario mau terus backstreet gitu?"

Mungkin pertanyaanku terkesan aneh, tapi jujur, aku pun bingung harus bagaimana. Karena sebetulnya aku hanya ingin Kevan mencintai seorang wanita dan menikah.

Kasian jika dia harus seperti ini. Menjalani hubungan diam-diam itu bukanlah hal yang mengenakkan. Ingin mengenalkan pasangan ke orang terdekat pun juga tak bisa. Karena tak semua orang bisa menerima.

Tak semua orang mengerti akan bentuk kasih sayang yang dimiliki Kevan ini. Jadi, kasian sebetulnya. Mereka harus diam-diam. Menutupi segala perasaan. Padahal ada kalanya ketika sedang berbahagia, manusia itu kodratnya ingin berbagi. Ingin memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa dirinya sedang bahagia saat ini.

Namun orang seperti Kevan ini terpaksa sembunyi-sembunyi. Tak bisa dengan leluasa bercerita.

"Ya, mau gimana, ya, Cyiiin. Mario nggak mungkin cerita karena jantung ibunya lemah."

Aku menghela nafas. "Lo nggak ada niat nikah sama cewek, Kev?"

Harapan itu akan selalu ada. Aku berharap Kevan mau berubah dan belajar mencintai lawan jenisnya. Karena sesungguhnya, walaupun aku dan Lintang terkesan mendukung Kevan, namun tetap saja, hati kecil kami menginginkan yang terbaik bagi sahabatku ini. Semoga suatu saat nanti Tuhan mengabulkan doaku dan Lintang. Amin.

Kevan memiringkan tubuhnya dan memandangku dalam. "Nggak, Cyiinn, gue nggak ada bayangan sama sekali kesana."

Ada kesungguhan dari sorot matanya. Dan itu membuatku menjadi sedih. Sangat mudah baginya untuk mencari perempuan untuk dinikahi. Lantas kenapa dia lebih memilih jalan ini?

"Sama sekali, Kev?"

Dia menggangguk yakin. "Sama sekali, Cyiiin, gue nggak ada rasa tertarik sama cewek. Bahkan lo bugil sekalipun, gue nggak akan nafsu tuh."

Aku tersenyum simpul. Tidak merasa tersinggung sedikitpun atas ucapannya. Karena aku cukup mengenal sosoknya yang terbiasa ceplas ceplos.

Sahabat mana yang tak ingin sahabatnya bahagia? Tapi bahagia menurut versiku. Bukan versi Kevan. Karena versiku pasti akan membuat semua orang bahagia, termasuk keluarganya.

"Kecuali lo numbuh jakun dan operasi kelamin. Itu bisalah jadi bahan pertimbangan gue nantinya ya, Cyiiin." Dia tergelak.

Aku memandangnya malas. Sulit membayangkan bagaimana mungkin pisang tanduk tumbuh di area pribadiku.

"Haduh, gue nggak kepikiran ya bakalan pacaran apalagi nikah sama lo. Yang ada gue mati berdiri tiap hari lo nyinyirin mulu." Terbayang nggak, satu hari bersama dia saja aku bisa darah tinggi. Apalagi setiap hari?

"Lah, gue juga nggak kebayang. Eh tapi kayaknya seru juga ya, Cyiiin. Nanti kita bisa tuh saling meni pedi, luluran bareng. Gue juga sesekali bisa minjem tuh miniset lo. Uh, cucok .... "

Dia mulai membayangkan. Matanya menerawang dan bibirnya berkali-berkali mengulas senyuman.

Aku memandangnya malas. Dia pikir itu rumah tangga macam apa, isinya hanya main salon-salonnya setiap hari? 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel