Chapter 16
Pertengkaran 'pasangan suami istri' itu terus berlanjut hingga di perjalanan pulang. Merasa jengah aku memutuskan untuk memasang handsfree dan mendengarkan lagu. Sepertinya lagu dari Vidi Aldiano yang berjudul Cemburu Menguras Hati cocok untuk menggambarkan situasi yang sedang terjadi.
Indahnya masa lalu
Tergores amarahku
Cemburu menguras hati
Galau kini menyiksa diri
Kembalilah kau kekasihku
Jangan putuskan kau tinggalkan aku
Sekalipun sering ku menyakitimu
Tapi hanya kaulah pengisi hatiku
Oo ... maafkan aku
Oo ... maafkan egoku
Oo ... maafkan diriku
Dan pertengkaran mereka berakhir dengan masuk ke dalam kamar yang sama dan keduanya baru keluar setelah esok hari.
Aku tidak mau berpikiran negatif apa yang mereka lakukan selama di dalam kamar hingga pagi. Bukan hak ku sebagai manusia untuk menghakimi sesama manusia lainnya. Karena aku sendiri pun tak luput dari dosa. Aku hanya bisa berdoa di dalam hati bahwa Kevan pada akhirnya menemukan jalannya untuk kembali.
Liburan Kevan di Bali ternyata untuk merayakan ulang tahun Mario yang diadakan secara private di Villa yang kami tinggali. Dihadiri oleh beberapa teman terdekat Mario membuat acara ini berlangsung cukup meriah dan hangat.
Dilihat dari gesture Kevan dan Mario yang lengket bak permen karet yang menempel di rambut, susah lepas, dapat dipastikan bahwa para tamu yang datang juga adalah bagian dari komunitas mereka. Aku menemukan beberapa pasang sejenis lainnya baik laki-laki maupun perempuan pada ruangan ini. Saling memeluk, saling berciuman, saling bertatapan mesra, pemandangan layaknya orang normal yang sedang berpacaran pada umumnya memenuhi tempat ini.
Jangan tanyakan bagaimana perasaanku melihat itu semua. Pada awalnya aku jengah. Namun karena sahabatku ada diantaranya pada akhirnya aku terbiasa, karena aku sudah berada di titik 'menerima'. Menerima dalam artian tidak membenarkan namun mencoba menerima atas dasar persahabatan.
Dering telepon masuk dalam ponselku. Tertera nama Lintang di sana. Kutuju kamar untuk mengangkat telpon karena keadaan lobby yang sangat ramai tidak memungkinkan untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo Tang. Tatang," sapaku membuka pembicaraan ketika sudah berada di dalam kamar.
"Heh, anak monyet! Bahagia bener lu di Bali nggak ada kabarnya. Masih idup lo?" rentet Lintang mengeluarkan kekesalannya.
Aku tergelak dan duduk di sofa putih dekat tempat tidur.
"Ya elah, emak-emak baperan bener. Malu sama keriput," ledekku, membuatnya misuh-misuh.
"Gimana kabar lo, Ay, disana? Udah dapet bule belom?"
"Kabar gue buruk."
"Buruk kenapa?"
"Buruk ngegap-in Kevan ciuman sama Mario. Duh mata gue udah nggak polos lagi." Terdengar suara Lintang yang tertawa terbahak-bahak di ujung sana.
Dari dalam kamar, aku dapat melihat Kevan yang sedang berpelukan dengan Mario di ruang tengah. Mereka berdua tertawa dengan begitu bahagia. Sekilas aku melihat Mario menatap padaku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan singkat dan kembali asyik mengobrol bersama Lintang.
"Serius lo? Hot nggak?"
"Duh pake nanya lagi hot atau nggaknya."
"Mau mastiin aja gitu. Kalo hot kan gue kasian sama bibir lo. Takut dia ngiri, tiga taon nggak dikasih makan sama nyonyanya."
"Eh, gue tabok lu yeee. Jangan ngebahas itu elah," kataku ngomel-ngomel dan dibalas kekehan darinya.
"Kenapa nggak mau dibahas? Karena itu fakta. Seandainya itu bibir bisa ngomong dia udah tereak." Lintang diam sebentar untuk mengubah intonasi suaranya. "Kering, Nyah, kering, saya butuh vitamin."
Entah dosa apa yang kulakukan di masa lalu hingga memiliki teman seperti dia.
"Tang, tunggu gue ya di Jakarta."
"Ya elah, Ay, segitu kangennya lo sama gue sampe nggak sabaran mau ketemu. Sabar dong, Sayang."
"Gue nggak sabar pengen nampolin lo! Jangan ge-er!" Lagi, dia hanya terkekeh menanggapi omelanku.
"Ya udah, sekarang lo di Bali cari dulu dah partner yang bener buat ciuman. Nanti bagian gue sama Kevan yang seleksi."
Tidak berapa lama terdengar suara Salsa yang sedang menangis. "Ay, anak gue nangis, nih. Nanti gue telpon lagi ya. Hidup gue dah ah. Siang anaknya yang ganggu. Maleman dikit gantian bapaknya yang ganggu," cerocosnya ngedumel.
"Duh, Tang, ngobrol sama lo nggak ada bagusnya buat otak gue. Isinya begituan mulu."
"Namanya juga emak-emak. Udah dulu ya." Telepon pun terputus.
Aku mengamati cincin yang ada di jemari manisku. Mengingat ucapan Lintang tadi. Anak sialan, cuma nyuruh nyari pacar aja, omongannya bisa sampe kemana-mana.
"Kok nggak gabung sama yang lain, Ya?" Suara seseorang mengagetkanku.
Cincin yang sedang kupegang pun tanpa sadar terlepas dari genggaman, terjatuh ke bawah, menimbulkan suara yang gaduh, suara khas akibat pergesekan antara bahan emas yang menghantam keramik lantai. Dengan diameternya yang sempurna membuatnya bebas menggelinding, berpindah dari bawah kakiku menuju kolong tempat tidur tanpa bisa kucegah.
"Iya, Yo, barusan Lintang telepon," jawabku kepada Mario, laki-laki yang membuatku kaget tadi.
Aku berjalan ke arah tempat tidur, berjongkok sebentar dan mencoba mengintip ke bawah dengan kepala yang menempel di lantai untuk melihat benda kecil itu.
Sepertinya posisinya jauh dari jangkauan karena aku tak bisa melihat keberadaannya.
"Cari apa, Ay?" tanya Mario menghampiriku.
"Cincin gue jatuh," jawabku masih tetap pada posisi yang sama.
Tak ada sahutan lagi dari Mario. Aku masih tetap sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut kolong tempat tidur. Tapi nihil. Aku tak menemukannya.
Tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh dan meremas bokongku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati tangan yang mencengkeram bongkahan kulit di balik dressku. Aku terkejut. Barusan itu Mario kan? Dia memegang daerah pribadiku?
"Yo! Lo? Itu barusan apa?" Aku kehabisan kata-kata untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
Mario, pacar dari sahabatku baru saja melakukan sesuatu kepadaku. Tapi dia? Bagaimana mungkin. Dia kan gay? Mana mungkin melakukan ini?
"Sori, Ay. Gue nggak sengaja. Gue nggak bermaksud," jawabnya santai. Tak merasa bersalah sedikitpun. "Sori ya." Bahkan dia masih bisa tersenyum dengan kerlingan mata yang membuatku menjadi jijik!
Ingin rasanya aku memukulnya sekuat tenaga. Dia tidak berhak atas tubuhku! Sesenti pun!
Tubuhku gemetar. Merasa shock atas perlakuan yang baru saja kuterima. Ini pelecehan namanya!
"Lo bilang nggak sengaja?!" Aku tak bisa mengontrol diri, nafasku mulai naik turun. Kakiku terasa lemas sekali. Tapi kupaksakan untuk tetap berdiri, tidak boleh lemah sedikit pun di depan laki-laki sialan ini. "Lo brengsek ya, Yo!" Aku memukuli tubuhnya sekuat tenaga. Dia berusaha memegang tanganku tapi kutepis. "Lo pacar sahabat gue. Tapi lo kurang ajar sama gue?!"
"Ay, jangan marah. Gue nggak sengaja. Gue suka sama lo dari awal kita ketemu. Kita bisa diem-diem dari Kevan kalo lo mau." Aku mendorong tubuhnya tapi dia tidak bergerak sedikitpun.
Orang macam apa yang ada di hadapanku kini? Bahkan dia terang-terangan mengajakku untuk berselingkuh!
"Lo gila!" teriakku emosi.
"Ay, dengerin gue dulu." Dia berusaha memegang bahuku tapi aku menghindar.
"Jangan sentuh gue. Gue jijik sama lo!" teriakku semakin menjadi.
Dia menarik tangannya kembali.
"Ya, gue suka sama lo. Gue nggak pernah bisa berhenti mikirin lo. Gue suka semua hal yang ada di diri lo. Lo cantik, Ay. Lo tipe gue banget. Gue suka cewek yang rambutnya panjang." Dia memandangi rambutku, lalu wajahku. "Lesung pipi lo yang cuma sebelah ini bikin lo makin cantik setiap kali senyum atau pun ketawa."
Dia menatapku dalam. Berusaha menyakinkan. Tapi aku muak melihatnya.
"Berhenti ngomong sesuatu hal yang bullshit, Yo!" pekikku marah menatapnya.
Lelaki di hadapanku ini berusaha memegang tanganku lagi. Kutepis untuk kedua kali.
"Ay, dengerin dulu, jangan salah paham."
"Kasih tau gue gimana cara supaya gue nggak salah paham sama lo?!" Aku menarik kemeja nya dengan kasar menuntut jawaban.
Mario terdiam.
Aku semakin naik pitam. "Pergi! Gue jijik ngeliat lo. Pergi!"
"Ay, maafin gue."
Nafasku semakin menderu. Aku muak dengan laki-laki di hadapanku ini.
"Lo pacar dari sahabat gue. Tapi lo kurang ajar sama gue. Mau lo apa! Kurangnya Kevan apa sama lo?!"
"Gue sayang sama Kevan tapi gue juga sayang sama lo. Apa itu salah?"
Mataku membulat. Menatapnya tajam. Ini gila! Tanganku seolah di luar kendaliku. Menampar pipi Mario yang putih hingga meninggalkan warna kemerahan di sana.
"Gila lo! Bahkan lo masih nanya itu salah atau nggak?!" makiku tepat di wajahnya. "Pergi dari hidup Kevan. Karena cowok brengsek kayak lo nggak pantes ngedapetin dia. Sahabat gue terlalu baik untuk lo yang busuk!" ancamku serius dan pergi meninggalkan Mario yang hanya bisa menatapku dalam diam.
Dalam hati aku berjanji, Kevan harus tahu. Dia harus tahu bahwa pacar yang dibanggakannya selama ini ternyata brengsek!
