Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 13

Aku memandang lurus ke depan. Menghirup udara dengan bebas. Semilir angin menerpa wajah, dan membuat helaian rambutku berlarian kesana kemari. Kuedarkan pandangan mata sekali lagi.

Sungguh luar biasa ciptaanMu Tuhan.

Tahukah kalian apa yang kulihat saat ini? Dihadapanku kini terbentang pemandangan laut berwarna hijau bercampur biru muda dan tua, ombak yang menggulung-gulung, hamparan pasir putih, tebing-tebing menjulang tinggi, batu karang yang besar, dan air laut sebening kristal.

Kudongakkan kepala. Dengan bebas dapat kulihat langit biru yang begitu indah, dengan awan putih berarakan, saling berkejaran.

Aku tersenyum.

Katakan aku kampungan, katakan aku berlebihan. Tapi keindahan ini sungguh nyata. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu membuatku menggelengkan kepala. Namun juga villa yang akan aku tinggali selama beberapa hari ke depan. Aku bisa menebak harga sewanya pasti mahal. Kisaran tujuh digit permalamnya.

Villa yang kutempati ini berada di puncak tebing pantai Dreamland, daerah Pecatu, dekat dengan Garuda Wisnu Kencana.

Dilengkapi dengan fasilitas yang sangat mewah.

Aku dan Kevan tiba di Bali pada pukul sembilan pagi. Dijemput langsung oleh Mario, teman dekat Kevan. Lelaki yang tadi mengulurkan tangannya padaku itu memiliki darah tionghoa yang kental. Matanya sipit, berkulit putih dan tampan. Dia 'lebih lelaki' dari pada Kevan yang kemayu. Aku menilai Mariolah yang bertindak sebagai 'laki-laki' dalam hubungan mereka.

Ketika kami sampai di Villa ini, tak berapa lama hujan deras mengguyur. Membuat aku, Kevan dan Mario terpaksa harus berdiam diri di villa hingga hujan reda. Menonton DVD players adalah pilihan akhir yang diambil untuk menghilangkan rasa bosan.

"Yang, suapin," ujar Mario kepada Kevan. Dari ekor mata aku dapat melihat Kevan sedang bersandar pada dada bidang Mario itu mulai mengambil cemilan dan menyuapi Mario dengan tangannya.

Posisi mereka persis berada di sebelahku. Berada pada satu sofa yang sama, namun sofa yang mereka tempati memiliki ukuran yang lebih panjang, seperti huruf L.

"Enak nggak, Yang?" tanya Kevan gantian.

Aku mendesah. Mulai menyesali diri kenapa menerima tawaran Kevan untuk ikut. Jadilah aku seperti sekarang, terpaksa melihat keromantisan  pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu.

"Enaklah, Yang. Kan kamu yang nyuapin," jawab Mario terdengar manja.

Benar-benar aku salah tempat kali ini. Ini semua gara-gara keinginanku yang terlampau besar untuk liburan. Jadilah, seperti ini sekarang.

Aku terdiam di tempatku. Lalu dari ekor mataku, kulihat Mario membelai-belai pipi Kevan. Kevan mengambil tangan Mario dan menciumnya. Ya, ampun, tolong! Tolong kembalikan aku ke Jakarta saat ini juga!

Perlu aku perjelas sedikit, supaya tidak menimbukan kesalahpahaman. Jadi bukan karena mereka gay ya sehingga aku mual seperti ini. Tapi karena aku memang jenis manusia yang tak biasa mengumbar kemesraan dimana-mana. Cukup ketika sedang berduaan saja dengan pasangan. Jika, sedang di tempat umum, cukup berlaku yang biasa-biasa saja.

"Kangen ya, Yang?" tanya Mario tersenyum. Kevan mengangguk manja. "Duh, kasian pacar aku." Lalu Mario mengacak-acak rambut Kevan dengan sayang.

Pacar katanya? Kan baru kemarin Kevan nangis-nangis bombay karena Luthfi, lalu sekarang? Dasar playboy, eh salah, playgirl maksudnya. Eh playboy atau playgirl sih sebenarnya Kevan ini? Entahlah, intinya dia itu kardus. Menangisi satu orang hingga seperti mau mati saja. Namun, beberapa hari sudah dengan gandengan baru. Ah, kampret!

"Kangen, banget, Yang. Kamu makin ganteng aja sih, Yang. Jadi, makin sayang kan aku." Mataku melebar mendengar ucapan Kevan barusan. Pengen deh, menghampiri Kevan lalu menggetok kepalanya dengan sepatu supaya tak selebay itu!

"Aduduh, kamu gombal mulu. Nggak malu sama Aya?" tanya Mario manja. Aku tersenyum sungkan.

"Nggak apa-apa. Aya udah biasa nonton drakor. Nggak bakalan kepengen juga dia ngeliat kita," sahut Kevan.

Seandainya Jakarta itu dekat dari Bali. Aku mau lari saja. Pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.

Aku menatap mereka berdua lagi. Rasanya ingin mengibarkan bendera putih. Atau melambai ke arah kamera kalau boleh.

Seketika aku merasa haus. Kuangkat tubuhku menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Tenggorokanku kering tanpa sebab. Aneh.

Ketika berada di dapur, terlintas pemandangan antara Kevan dan Mario tadi. Aku berusaha tak mengingatnya. Bagaimanapun juga aku sudah terbiasa ... seharusnya. Tapi melihat langsung kejadian tadi, membuatku agak merasa ... mmm apa ya? Mungkin semacam risih atau sungkan atau mungkin mual? Entahlah. Tapi yang pasti, kenapa Kevan jadi selebay itu?

Kucoba hilangkan bayangan tadi, dan segera menuju entertainment room lagi, di tempat Kevan dan Mario berada. Namun yang terjadi adalah aku mendapati pemandangan yang membuatku diam seribu bahasa. Aku malu.

Mario mencium Kevan pelan. Kevan nampak menutup matanya, membiarkan bibir kekasihnya melahap setiap celah bibirnya. Lalu Kevan membalas ciuman Mario. Aksi itu semakin menjadi, bahkan sekarang yang ada di hadapanku adalah sepasang kekasih yang saling bertukar saliva. Oh, shit! Ya, Tuhan apa yang kulihat barusan!

Rasanya kakiku sulit untuk bergerak mundur dan mencari tempat persembunyian terdekat.

Posisi mereka menyamping dari tempatku berdiri. Jadi, rasanya akan canggung jika aku langsung berjalan mundur untuk menghindari itu semua. Kevan dan Mario masih dalam posisi mereka. Aku terjebak. Cobaan berat harus kuhadapi. Aduh, Tuhan, ini apa! Aku benci situasi awkward seperti ini.

"Kev, Mar, ini barang-barang gue, gue taro kamar aja ya?" tanyaku basa basi tanpa memandang pada mereka.

Aku malu. Untung saja tadi aku menemukan tas kecilku berisi make up tergeletak di minibar yang bersebelahan dengan sofa yang mereka duduki. Kupakai alasan itu untuk menghindar dari kejadian yang membuat segan ini.

Kevan dan Mario melepaskan tautan mereka. Kevan menatapku. "Oh iya, Ay, lo taro dulu aja," sahut Kevan santai. Terlalu santai malah.

Mungkin Kevan sudah biasa melakukan itu. Ah, bodo amatlah. Yang pasti aku harus kabur sekarang. Maka tanpa perlu menunggu lebih lama lagi, aku langsung menghambur menuju kamar dengan langkah seribu.

Aku tak peduli lagi mereka akan melakukan apa setelah kepergianku. Yang penting aku harus menyelamatkan diri terlebih dulu. Hati dan mataku butuh istirahat. Sangat!

Terserahlah, jika setelah ini aku harus berhadapan dengan pemandangan seperti itu lagi. Yang penting, aku mau istirahat sekarang. Berharap mimpi indah membuatku lupa akan kelakuan Kevan dengan pacar barunya itu.

Seingatku dulu ketika sedang bersama Luthfi, Kevan tak terlalu seperti ini. Dia masih mengerti batasannya jika sedang bersamaku dan juga Lintang. Kenapa sekarang lelaki itu jadi begini ya?

Apa mungkin Kevan sengaja melakukan ini untuk membuat Luthfi menyesal ya? Karena sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di tempat ini, Kevan tak ada henti-hentinya membuat postingan di sosial media. Mempertontonkan kemesraan mereka. Dan yang aku tahu, dia masih berteman dengan Luthfi di sana.

Kevan ini gambaran perempuan pada umumnya memang. Yang ketika sudah memiliki kekasih baru, sengaja memamerkan kemesraan hanya untuk membuat si Mantan menyesal. Aku jadi tertawa sendiri jadinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel