Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 12

"Salsa mana, Tang?" tanya Kevan celingukan begitu sampai di rumah Lintang.

"Baru aja tidur," jawab Lintang sembari meletakkan gelas berisi sirup di meja ruang keluarga.

Kevan langsung saja ngeloyor menuju kamar utama setelah mendengar jawaban Lintang. Sepertinya ingin melihat Salsa, anak bungsu Lintang. Anak itu begitu menggemaskan dengan pipi chubby-nya, tak heran jika Kevan begitu merindukan bayi satu itu.

"Kev, lu mau ngapain? Gue tabok ya kalo sampe anak gue bangun. Jangan lo ganggu. Itu dia baru tidur. Kev!" teriak Lintang frustasi bersiap-siap bangkit dari duduknya untuk menjambak Kevan sepertinya.

Aku tertawa menanggapi kelakuan dua orang sahabatku ini. Hiburan yang mampu membuat segala beban di hati menguap dengan sendirinya. Aku sayang mereka. Sungguh.

Begitu kalimat terakhir terucap, suara tangisan bayi terdengar dari kamar utama. Salsa menangis. Aku menatap Lintang. Merasa ngeri emak-emak satu ini mengeluarkan amukannya.

"Haduh, baru juga dibilangin," dengkus Lintang. "Lu apain, anak gue sih, Kev?! Lo nggak tau apa setengah mati gue nidurin. Belom ada setengah jam udah lo bikin bangun!" teriak Lintang frustasi berjalan menuju kamar. Ketakutanku menjadi kenyataan.

Kevan datang dengan menggendong anak berumur satu tahun. Air mata turun dengan deras membasahi pipi Salsa. Bocah berkulit putih itu menangis sesegukan.

"Dia aus nih, Cyiiin. Ndusel-ndusel mulu nyariin nenen. Mentang-mentang tetek gue gede," terang Kevan sembari memberikan Salsa pada Lintang.

Aku dan Lintang tertawa terbahak-bahak. Guratan amarah itu kini terganti dengan tawa yang tak kunjung selesai.

Beginilah jika punya sahabat laki-laki tapi kelakuannya melebihi perempuan.

"Udah waktunya lo pake miniset, Kev. Biar nggak kendor," ledekku, sembari mengusap air mata. Kevan berhasil membuat lelucon hingga pelupuk mataku basah.

"Ntar gue minjem aja miniset lo, Cyiiin. Punya lo sama punya gue aja gedean punya gue," sahut Kevan santai.

Aku melotot menatapnya. Refleks aku menunduk menatap dadaku. Apakah sekecil itu? Kevan sialan.

"Namanya juga masih dalam masa pertumbuhan! Nanti juga akan gede dengan sendirinya!" sahutku kesal menatapnya.

Kevan terbahak-bahak. Dia mengambil slice pizza dan duduk di sebelahku. "Kasian Beb, yang jadi laki lo nanti. Berharapnya dapet pepaya. Eh pas dibuka isinya cuma jeruk nipis. Semoga dia banyak sabar ya." Ya, ampun, mulutnya itu loh, nyinyir sekali. 

Maka kujambak dia. Dia menjerit kesakitan.

"Aw, sakit, neik. Kasar, ih!" omelnya sembari memegangi rambutnya yang perih akibat jambakanku tadi. Siapa suruh punya mulut nyinyir! Lintang yang sedang repot menggendong putrinya pun ikut tertawa melihat kelakuan kami.

Kevan lalu mengulurkan tangan kanannya dan mengusap-usap bahuku, sok peduli. Aku menggerakan bahu, menolak perlakuannya.

"Sabar ya, Ay. Makanya coba disuntik, Ay. Biar montokan dikit," ucapnya lagi.

"Ngeselin banget, sih, lo. Bikin emosi aja!" rutukku sengit. Aku kesal! Dia kan tidak tertarik dengan wanita, tapi bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu. Sok tau!

Kevan tertawa terbahak-bahak sembari memegangi perut.

Setelah Salsa tertidur, Lintang mulai bertanya kenapa aku dan Kevan datang ke rumahnya di hari kerja dan di jam kerja seperti ini. Kujelaskan dengan perlahan bahwa aku sudah dipecat. Seperti biasa, air mata langsung membanjiri wajah cantiknya.

"Yah, Ay, terus lu bayar arisan, bayar asuransi, bayar kartu kredit lo gimana? Trus lo nggak bisa belanja Mango, Zara sama H&M lagi dong!" ujarnya sembari menangis, membuatku ingin menangis juga sekencang-kencangnya.

Haduh, kenapa semua hutangku yang dia ingat ya Tuhan?

"Gue besok mau ke Bali, Cyiin ketemu Mario. Mau ikut nggak? Lumayanlah daripada di rumah mulu. Suntuk tau, neik," tanya Kevan, alisnya naik turun.

Mario adalah teman rasa pacar terbarunya. Seorang Fashion Designer yang menetap di Bali. Baru dua bulan berkenalan. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, Kevan itu mudah berganti pasangan layaknya berganti pakaian dalam. Mati satu tumbuh sejuta, menurutnya.

Aku memikirkan ulang tawaran Kevan. Aku butuh liburan. Selain untuk menghindari pertanyaan orang tuaku, aku merasa gila jika di rumah tidak melakukan kegiatan apa-apa. Terbiasa dengan rutinitas padat dan tiba-tiba harus kehilangan itu semua, terasa berat untuk kujalani, paling tidak untuk saat ini.

"Emang nggak apa-apa gitu sama Marionya? Ntar gue ganggu lagi," tanyaku berbasa basi sembari menggigit potongan ayam KFC.

"Helah, udah kayak sama siapa aja sih, Cyiinn. Udah ikut aja. Sekalian cari jodoh kita. Eh elu deng. Gue mah udah ada. Elu tuh yang kasian, kaum mblo. Eh berapa taon, Ay, lu jomblo? Ada kali ya tiga tahunan. Pake formalin, Ay? Awet bener." Kevan tertawa dengan keras, sedetik kemudian dia nampak menyeka air matanya.

Aku mendengkus sebal. Senang betul dia menertawakanku sampai menangis begitu.

"Ya udah gue mau!" pekikku kemudian.

"Murah banget sih lu, Beb. Bilang maunya cepet banget. Basa basi dulu kek. Sok-sokan mikir gitu. Langsung mau aja. Bikin eyke malu aja."

Bola mataku berputar. Jengah. "Lah, kok jadi elu yang malu?" gumamku pelan.

"Kan sebagai sesama perempuan," ujarnya memamerkan cengirannya.

"Auk amat ah Kev. Jadi mules perut gue," celetuk Lintang malas sembari ngeloyor ke kamar mandi.

Dahiku berkerut. Sebagai sesama perempuan banget?

"Nanti dandan yang cantik ya, Cyiiiin, kali aja ada bule yang kecantol sama you, kan lumayan. Trus itu daster robek-robek yang biasa lu pake, aduh ..., itu jangan dibawa ya. Buang aja, udah waktunya dia pensiun. Nanti kita beli bikini di sana ya, Neik. Pokoknya pulang-pulang lu harus punya pacar."

Aku tak menggubris ucapan Kevan soal bikini tadi karena yang aku pikirkan hanya liburan di Bali, tak lebih. Otakku butuh penyegaran. Bali dan pemandangannya. Oh, my God. Betapa indahnya tempat itu.

Dalam benakku, aku sudah bisa membayangkan, di sana aku akan menikmati sunset atau berjemur di salah satu pantai, window shopping di pasar tradisional, mencoba nasi campur, nasi tepeng dan hal lainnya yang patut dicoba ketika berada di Bali.

Itu semua akan aku lakukan sendiri saja, tak perlu bersama Kevan, karena lelaki itu sudah dipastikan akan sibuk sendiri dengan pacar rasa temannya itu. Jadi lebih baik aku menjelajahi sendiri saja pulau itu.

Lagipula, kalau aku sendirian, siapa tahu ada seseorang yang tanpa sengaja mengajakku berkenalan layaknya FTV-FTV yang biasa kutonton itu kan?

Ah, betapa sempurnanya. Aku jadi tertawa-tawa sendiri.

"Heh! Udah gila lu ya ketawa-ketawa sendiri? Lagi mikir jorok lu ya?" Suara cerewet dibarengi dengan lemparan bantal sukses membuatku tersadar kembali dari lamunan. Kevanlah yang melakukan itu.

"Ish, berisik banget sih lo! Ngeselin!" rutukku kesal. Dia menganggu kenikmatan orang lain saja.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel