Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 11

Pernahkah kamu terbangun dari tidur dan tidak memiliki tujuan untuk mengawali hari? Aku pernah. Hari ini tepatnya. Sejak dinyatakan dipecat, otomatis semua kesibukan yang kumiliki menguap bersamaan dengan realita yang ada. Aku seakan hilang arah, tak memiliki tujuan yang pasti lagi sekarang.

Walaupun hidupku hanya diisi dengan kantor-rumah-kantor-rumah saja selama ini, tapi ada tujuan di sana. Ada senyum yang merekah, ada harapan yang membuncah. Ya, senyum dari teman-teman sekantorku dan juga harapan untuk jenjang karier yang selalu lebih baik lagi setiap tahunnya.

Tapi kini, semua itu hilang. Terbang bersamaan dengan surat yang membawaku ada di posisi saat ini. Pengangguran.

Pagi ini, kupaksakan diriku untuk tetap bersemangat apapun yang terjadi. Tetap mandi pagi dan juga sarapan seperti biasanya.

Aku harus secepatnya mendapatkan pekerjaan. Harus. Demi pengeluaran dan rasa bosan yang semakin merajalela. Walaupun itu mustahil, karena sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Ekonomi sulit, banyak perusahaan yang gulung tikar, dan juga melakukan PHK massal. Aku sadar jumlah sainganku tidaklah main-main. Tapi selama masih ada sejumput doa tempat kumenuju, maka tidak akan pernah ada kata sulit. Semoga saja.

Kurang lebih lima puluh lowongan pekerjaan yang kukirimkan ke jobstreet.co.id dan jobsdb.com. Semoga salah satu diantaranya ada yang menjadi rezekiku.

Pukul dua belas siang, kegalauan makin melanda. Tepat jam makan siang. Aku rindu teman-temanku. Merindukan sapaan dan ledekan yang selalu mampu membuat kesal dan bahagia datang pada waktu yang bersamaan. Aku merindukan suasana hangat layaknya keluarga. Tidak dipungkiri, bersama mereka seringkali ada selisih paham, saling bersitegang namun secepat itu pula dua jari akan saling bertautan.

Ingin rasanya jari jemari ini mengetik chat whatsapp untuk mereka, namun kuurungkan niat tersebut. Rasanya terlalu malu. Cukup sadar diri bahwa posisiku dipecat kemarin, bukan karena resign.

Detik demi detik terasa berjalan begitu lambat. Rasa bosan mulai menyergap. Aku harus melalukan sesuatu, jika tidak maka otakku akan tumpul bersamaan dengan waktu.

"Cyiinnn, lagi ngapain Cyiinn?" Suara dari seseorang yang kukenal terdengar. Aku menoleh dan tersenyum sangat lebar setelah itu. Penyelamatku datang. Terima kasih Tuhan.

"Sini, Kev. Sini." Kutepuk-tepuk sofa di sebelahku, memintanya duduk mendekat.

Kevan menghampiri dan mengikuti permintaanku untuk duduk tepat di sebelahku. Senyumnya merekah, menampilkan deretan gigi putih bersih dan rapi.

"Tante kemana, Cyiiin? Sepi amat rumah you macem kuburan," tanyanya dengan bibir macem diplintir khas pria kemayu.

"Ke luar kota sama bokap dari kemarin. Anak sahabat bokap ada yang nikah," jawabku cepat.

Beruntung sekali aku, tiba-tiba kedua orang tuaku ke luar kota. Paling tidak, keadaanku aman selama beberapa hari ini. Tak perlu pusing mencari jawaban jika ditanya kenapa aku di rumah saja bukannya bekerja.

Aku masih belum berani jujur mengakui jika sudah tak bekerja lagi pada Mama dan Papa. Aku takut mereka kecewa.

"Kenapa lo nggak ikut?" tanya Kevan yang nampak memperhatikanku ketika sedang mengambil minuman di lemari es. Aku menenggak isinya hingga setengah. Lalu setelah selesai aku kembali duduk di sebelah Kevan.

Jangan heran jika aku mengambil minuman hanya untuk diriku sendiri saja. Karena Kevan itu sudah sangat dekat dengan keluargaku, jadi sudah tak ada rasa sungkan lagi jika ingin sesuatu, tinggal ambil sendiri saja. Nanti jika sudah selesai makan atau minum pun, dia akan mencuci peralatan makannya sendiri. Tamu yang sangat mandiri memang.

"Maleslah. Acara orang tua. Mending gue di rumah aja, sambil nyari-nyari kerjaan."

Kevan mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. "Pasti lo kesepian. Ke tempat Lintang, kuy? Mau nggak?" Dia menaikturunkan alisnya.

Tawaran menarik. Daripada di rumah saja. Aku juga sudah mati gaya. Maka, tanpa perlu banyak berpikir, aku pun menjawab ....

"Wah boleh-boleh. Gue juga kangen sama Miya, Salsa."

Aku merindukan dua balita yang sangat menggemaskan itu, putri dari Lintang. Dengan kedua anak itu, aku memang sudah sangat dekat. Mungkin karena aku anak tunggal, aku juga suka anak kecil. Sehingga, tak sulit bagiku untuk bisa dekat dengan mereka.

"Udah makan belum, Cyiin? Nih, gue bawain banyak makanan. Tinggal pilih," tanya Kevan perhatian. Walaupun mulutnya nyinyir, tapi kuakui Kevan itu sosok sahabat yang perhatian.

Aku menoleh ketika Kevan menunjukkan apa yang dia bawa. Beberapa makanan dengan berbagai macam merk yang tercetak pada plastiknya. KFC, Pizza Hut dan juga Starbucks. Banyak sekali yang dia bawa. Ini sih bisa untuk makan satu keluarga.

"Udah tadi, sarapan roti."

"Ih, mana kenyang, Cyiin. Pantes badan lo kek triplek begini!" Haduh, mulutnya ya!

"Bawelnya! Perut gue kan nggak kayak lo! Karung!"

"Biarin, sih. Gue tuh nggak suka ya ngeliat cewek yang kalo lagi sama pacarnya mau makan aja jaim. Biar apa sih, Cyiiin? Laper aja ditahan-tahan. Yang ada mati lama-lama!" Kan, mulut nyinyirnya mulai lagi. Pengen aku lakban rasanya.

"Bawel banget sih lo. Bukan jaim. Lagian lo bawa makanan segini banyak, mana abis gue!" omelku kesal. "Daripada mubazir, dibawa sekalian aja ya ke tempat Lintang?" tanyaku akhirnya. Dia mengangguk-angguk setuju.

"Ya udah, kuy. Siap-siap gih. Udah siang nih, Cyiin. Nanti kita kesorean sampe sana. Eyke nggak mau ah, pulang malem-malem." Gestur Kevan kembali kemayu. Lama-lama aku bisa terbiasa juga melihatnya seperti ini.

"Kenapa emang? Mau malem mingguan? Kayak punya pacar aja lo," ledekku menoleh padanya yang nampak asik memilin rambutnya sendiri dengan kaki yang ditekuk layaknya anak perawan.

Melihatnya seperti itu, aku jadi tertawa sendiri. Bahkan cara duduknya pun lebih perempuan daripada aku.

"Yeee, sembarangan. Pacar gue banyak ya. Tapi malem ini gue lagi nggak ada yang ngapelin."

Jelaslah, nggak ada yang ngapelin, dia kan lagi jomblo. Kadang sahabatku ini lucu sekali tingkahnya.

"Trus kenapa pulangnya buru-buru?" tanyaku lagi.

Mumpung orang tuaku sedang tak ada di rumah, aku ingin mengobrol banyak di rumah Lintang. Tapi sayangnya Kevan tak bisa. Maka dari itu, aku terus menanyakan alasannya kenapa tak bisa di rumah Lintang sampai malam. Memangnya ada hal mendesak apa yang harus dia kerjakan?

"Ya, karena anak gadis kan nggak boleh pulang malem-malem, Cyiiin. Pamali."

Ini maksudnya siapa sih yang jadi anak gadis dalam pembicaraan kami? Aku atau dia?

Sepertinya dia, karena aku tak selebay itu dalam mengatur jam malam.

"Ya udah, pulang subuh aja sekalian," sahutku cuek. Kesal sendiri jadinya.

Memangnya apa yang akan terjadi jika laki-laki pulang malam? Aku yang perempuan saja tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Kenapa justru dia yang laki-laki ribet sekali ya?

"Sembarangan. Nanti kalo eyke diperkosa gimana?" Tak lupa juga lelaki ini menutupi bagian dadanya dengan tangan. Totalitas sekali sahabatku ini dalam menjaga auratnya.

Aku mendesah. Kalo dia merasa gadis, trus aku apa?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel