BAB 8
Tak terpikir olehku bahwa akan terjadi peristiwa seperti itu, dan sama sekali aku merahasiakan kepada kedua orangtuaku, karena sudah pasti mereka tidak akan mengijinkan aku pulang sendiri lagi. Aku hanya berjanji kepada diri sendiri, agar di lain kesempatan lebih berhati-hati. Kesempatan itu tidak berselang lama. Esoknya aku mencoba lagi, namun sekarang lebih berhati-hati, ketika turun dari angkutan umum aku tidak bertindak ceroboh waktu menyebrang jalan.
Kubuka mata lebar-lebar walau terlihat buram dan kupasang telinga untuk mendengar kendaraan yang lalu lalang.Aku mulai melangkahkan kaki untuk menyebrang ketika bayangan ataupun suara motor dan mobil tidak terdengar lagi. Setengah jalan berhasil kulalui, ketika setelah sampai di seberang tanpa rintangan, aku bersorak gembira. Benar-benar bisa pulang sendiri, tanpa bantuan orang lain.
Suatu sore, aku meminta mami mengantarkanku kembali ke SLBA, tapi dengan tegas mami melarang, “kamu itu berbeda dengan anak-anak di SLBA! Nggak bagus kamu terlalu sering bermain ke sana!”. Setelah mendengar ucapan mami, hatiku merasa sedih seolah-olah aku ditarik dari oase yang kutemukan ditengah dahagaku akan tempat dimana ada sahabat terbaikku di sana. Hanya sekejap aku kembali ke tengah gurun pasir, kering dan terpuruk dalam kesendirian. Aku khawatir mami mengetahui kejadian yang lalu, ketika aku terhindar dari kejadian tabrakan sehingga mami memproteksiku sekarang. Dari siapakah mami mengetahui kejadian tersebut membuatku menjadi penasaran.
Meski aku tidak diizinkan bermain di SLBA, diam-diam aku sering menelepon teman-teman di SLBA. Aku cukup bahagia dan senang mendengar cerita dan kisah pengalaman mereka selama bersekolah di SLBA sampai akhirnya mereka bisa masuk ke SMU Negeri, benar – benar pengalaman yang mengasyikkan, belajar bersama teman-teman sesama tuna netra, tidak merasakan di ejek atau ditertawakan oleh teman sekelas seperti yang pernah kurasakan. Tidak perlu bersusah payah membaca tulisan di papan tulis dan memaksakan mata membaca buku dengan kaca pembesar karena mereka telah di ajarkan huruf Braille.
Akhirnya, ujian pun tiba, aku masih saja kesulitan membaca dan menulis. Untuk kepala sekolah mengizinkan mami untuk mendampingiku selama ujian berlangsung, mami membacakan soal-soal dan menuliskan jawaban yang kuucapkan secara lisan ke lembar jawaban. Ujian itu kami kerjakan di ruang guru, sehingga para guru dapat mengawasi kami.
Sebenarnya aku malu, sudah sebesar ini, seperti anak manja yang selalu di damping oleh mami. Andaikan aku masih bisa mengerjakan ujian sendiri seperti teman-temanku yang lain, Ah sudahlah! Daripada mementingkan rasa malu, lebih baik lulus walau ditemani mami, memang mami adalah seorang ibu yang hebat.
Keesokan hari, tidak sengaja aku mendengar obrolan kedua orangtuaku yang hendak membawaku ke pengobatan tusuk jarum(akupuntur). Membayangkan saja aku ngeri, aku sampai berlari dan menangis di kamar karena aku paling benci merasakan sakit akibat di suntik, tiba-tiba pundaku dipegang seseorang, “Kenapa kamu menangis?” Tanya kakak.
“Gue nggak mau ditusuk jarum!” jawabku sambil menangis
“memangnya siapa yang mau menusuk lu pakai jarum?” Tanya kakak kembali
“tadi gue dengar mami dan papi mau membawa gue ke tempat pengobatan tusuk jarum, gue nggak mau, gue takut!”
“Itu kan supaya mata lu sembuh.”
“Nggak!Pokoknya gue nggak mau! Tolakku sengit,
“Ya sudah, nanti gue bilang mami kalau lu ga mau ditusuk jarum. Sekarang lu nggak usah nangis lagi.” Setelah berkata seperti itu, kakak langsung keluar dari kamar.
Ketika kami sedang makan malam ,papi pun bertanya kepadaku, “Kenapa kamu nggak mau mencoba pengobatan tusuk jarum.”
Aku pun hanya menggeleng
“nggak sakit kok.” Sambung mami mencoba meyakinkanku, “Seperti digigit semua rasanya.”
“Yah, karena kayak digigit semut, makanya aku nggak mau, digigit semut itu kan sakit. Apalagi kalau yang digigit semut rangrang!” elakku cepat. “Lagian, kenapa sih aku terus menerus merasakan sakit tidak henti-henti? Terus-terus?” suaraku mulai gemetar menahan tangis. “sudah buta, harus merasakan sakit pula!” keluhku makin lirih.
Kepalaku mulai tertunduk. Tenggorokanku tersekat. Nafsu makanku pun hilang. Aku hanya mengaduk-aduk makanan di piring dengan menggunakan sendok. “Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?” semua orang terdiam, hanya sesekali terdengar papi berdehem seperti sedang membersihkan tenggorokan.
“yah. Kalau kamu nggak mau ditusuk jarum, ya nggak usah saja. Toh papi dan mami tidak memaksa kamu.” Kata papi mencoba memecah keheningan. “papi dan mami hanya ingin mencoba pengobatan yang terbaik buat kamu,”
Mendengar penuturan papi yang penuh pengertian, aku menyesal, kenapa juga aku mengeluarkan kata-kata bodoh seperti itu? Yang membuat seluruh keluargaku menjadi sedih.
Dikelas 3 SMU, aku berkenalan dengan seorang cowok bernama Anton . dia adalah adik kelasku, dua tingkat di bawahku, kami sama-sama bergabung dalam kelompok vocal dan dia merupakan seorang pemain gitar. Seusai berlatih vocal, biasanya Anton akan menghampiriku untuk mengbrol. Melihat kedekatan kami, teman –temanku berusaha menjodohkan kami.
Pada suatu hari ketika pentas seni telah usai, kami ditinggal berdua, akhirnya Anton yang mengantarkanku pulang sampai ke depan gerbang rumah. Teman-teman sampai mengatakan bahwa Anton cukup baik.
Dengan kebaikkannya pasti ada cewek yang terpikat dengannya, salah satu teman kelasku yang diam-diam mengaguminya. Namun tidak disangka, suatu hari, Anton mengatakan kepadaku, “aku sayang kamu….mau nggak kamu jadi pacarku?”.
Bukannya menjawab, aku pun menangis, Anton pun bingung melihat tingkahku, kurasakan tangan Anton membelai lembut rambutku, tanpa kusadari ternyata Anton memelukku, Aku pun tanpa sadar menyembunyikan wajahku di dadanya, rasanya nyaman sekali.
“kenapa sedih?” tanyanya dengan suara lembut
“kenapa kamu sayang padaku?” tanyaku balik.
Untungnya aku belum mengangkat wajah dari dadanya. Kalau hal itu terjadi mungkin Anton bisa melihat wajahku yang berubah merah malu, “kamu tahu aku nggak bisa melihat?” lanjutku dengan suara pelan.
“terus, kenapa?” pertanyaan Anton yang membuatku semakin salah tingkah, aku tidak tahu harus menjawab apa.
“ Aku sayang kamu apa adanya.” Bisiknya perlahan di dekat telingaku, “Aku akan menjagamu, selamanya.”
Hatiku berbunga-bunga, sungguh tidak bisa digambarkan perasaan hatiku saat itu. Perkataannya sungguh membuatku melayang, aku pun menerimanya dan kami pun resmi berpacaran.
Sekarang, setiap pulang sekolah, aku selalu bareng Anton, Biasanya Anton akan bermain dulu di rumah sampai jam lima sore lalu pulang membantu ayahnya. Sekitar delapan bulan kami berpacaran, Anton secara mendadak memberitahuku bahwa Ayahnya pernah berkata.
“buat apa kamu berpacaran dengan dia? Lama-lama dia akan menjadi beban buat kamu!”
Mendengar hal tersebut, hatiku menjadi sakit, perih pedih terasa, Tega sekali ayahnya berkata seperti itu. Sejak hari itu, Anton mulai jarang datang ke rumah.
Saat kutanya alasannya, dia menjawab bahwa dia mulai ragu dengan perasaannya terhadapku. Setelah merasakan indahnya bunga cinta, kembali kurasakan kesedihan, kesedihanku memuncak,
Aku menangis sendiri di kamar, hingga kedua mataku bengkak. Ketika malam hari hendak makan malam, kakakku bertanya kepadaku dengan bingung juga geli.
“ Kenapa mata lu? Seperti kepukul orang.”
Aku tidak memperdulikannya. Aku yakin pasti kakak akan mengadukan pada mami semua yang terjadi padaku, dugaanku benar, tidak berselang lama kudengar derap langkah kaki menuju kamar.
“Kenapa kamu menangis?” Tanya mami setibanya di kamar dan melihat mataku sembab dan bengkak. “Ayo cerita ke mami masalah kamu.” Desak mami khawatir bercampur penasaran.
“aku putus dengan Anton.” Jawabku sedih
“Kenapa dia putusin kamu?”
“katanya dia udah nggak sayang lagi sama aku. Mungkin karena mataku tidak bisa melihat.”
Sejenak mami terdiam
“udah nggak usah di pikirkan, cowok nggak Cuma dia saja.” Kata mami berusaha menghiburku.
“tapi mana ada cowok mau denganku yang cacat seperti ini?” Air mataku kembali menangis. Terdengar mami menghela nafas berat.
“Siapa bilang kamu cacat? Kamu hanya tidak bisa melihat dengan jelas. Kamu kan cantik, pasti nanti ada cowok yang benar-benar sayang sama kamu. Sudah jangan bersedih. Buat apa kamu menangis untuk cowok seperti dia.”
Kupikir perkataan mami ada benarnya juga. Buat apa bersedih menangisi Anton yang sudah tidak sayang kepadaku, lebih baik aku menguatkan hati agar tidak terpuruk dalam kesedihan.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Apakah aku bisa move on dari kenangan bersama Anton?
Nantikan di bab selanjutnya.
