
Ringkasan
Rachel seorang gadis yang mengalami cacat mata sejak lahir sehingga mengalami kesulitan selama hidupnya hingga dewasa. Akankah dia berhasil bekerja dan menikah layaknya orang normal lainnya?
BAB 1
Di luar jendela langit tampak menghitam, hanya suara jangkrik terdengar semakin nyaring, menggantikan suara-suara manusia yang lambat laun mulai menghilang di balik pintu kamar rumah sakit. Di salah satu kamar rumah sakit, yang lampunya masih dibiarkan menyala, aku terbaring lemah tak berdaya. Saat itu aku masih seorang bayi kecil mungil yang sedang dirawat karena muntaber. Sebuah botol infus tergantung di tiang penyangga di dekat kaki tempat tidurku. Selangnya menjuntai jatuh ke bawah, membiarkan cairan yang ada dalam botol itu masuk melewati kaki kecilku.
Mami terbaring gelisah, cemas lebih tepatnya khawatir di samping ranjangku. Sesekali mami terbangun untuk memeriksa botol infus, lalu kembali meraba dahi kecilku, memeriksa apa demamku sudah turun. Jam dinding sudah menunjukkan tengah malam. Malam semakin larut. Tiba-tiba aku mulai menangis keras. Membuat mami terbangun. Kelopak mataku terbuka lebar dengan bola mata mendelik ke atas. Melihat keadaanku, mami kaget dan segera berlari keluar kamar, berteriak memanggil dokter. “Dokter……..! Suster….!” Teriak mami panik.
Tak berapa lama datanglah seorang dokter jaga berlari menghampiri tempat tidurku. Aku masih menangis, namun bola mataku tak lagi berdelik ke atas. Dokter itu segera memeriksa keadaan suhu tubuhku. Dan ternyata aku dinyatakan masih dalam batas aman.
“Jangan khawatir, bu. Semua baik-baik saja.” Kata dokter itu sambil tersenyum.
Mami menghela napas lega. Tangannya terjulur dan mengangkat tubuh mungilku dari tempat tidur untuk ditimang-timang. Kehangatan dekapan mami membuat tangisku perlahan-lahan mulai mereda, hingga aku tertidur pulas dalam dekapan mami.
Dua hari kemudian, dokter mengizinkan mami untuk membawaku pulang ke rumah.
Kata mami, aku adalah bayi yang susah makan. Setiap kali diberi makan, aku langsung memuntahkannya.
Hingga suatu hari, mami menemukan cara agar makanan dapat masuk ke perutku. Waktu mami melihat mataku mulai mengantuk dan hampir tertidur, mami buru-buru memasukkan botol susu yang berisi campuran bubur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah di blender. Mami dengan cepat memasukkan ke mulutku. Setengah sadar, aku menelan sedikit demi sedikit isi botol itu sampai perutku terasa kenyang. Dan akhirnya akupun tertidur pulas.
Pernah suatu hari, mami masuk ke kamar dan berteriak kaget, ketika menemukanku tergeletak di lantai, di samping tempat tidur, tanpa menangis. Mungkin aku terjun bebas ke lantai setelah menerobos dinding pengaman yang telah dibuat mami dengan menggunakan setumpuk bantal guling di sekeliling tempat tidur. Saat itu, aku masih bayi mungil yang sehat. Dan saat itu, mataku masih jernih dan indah, tak ada beda dengan bayi-bayi lainnya.
Tak terasa aku mulai beranjak menjadi gadis kecil yang mungil, gerak-gerikku pun menjadi lincah, bersemangat, berlari ke sini ke sana. Saat itu aku merasakan indahnya dunia kanak-kanak.
Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Aku mempunyai kakak laki-laki dan adik perempuan. Aku dilahirkan dari kedua orang tua yang sehat, sempurna secara fisik, tidak kurang apapun dan tidak ada yang salah dari perkawinan orang tuaku, misalnya adanya ikatan perkawinan antara saudara, kehamilan yang tidak dikehendaki, tidak ada garis keturunan tunanetra ataupun lainnya. Orang tuaku pun dalam keadaan sehat-sehat saja.
Tetapi, ketika aku hendak memasuki Sekolah Dasar (kira-kira saat itu usiaku 6 tahun), aku mulai menunjukkan tingkah laku yang ganjil. Walau mataku masih bisa melihat dengan jarak cukup jauh dan aku masih bisa berjalan sendiri, tanpa dituntun, tetapi kedua mataku mulai terlihat buram. Aku melihat dengan samar-samar. Bahkan untuk melihat wajah seseorang, atau menonton televisi saja, aku harus melihatnya dengan jarak yang kurang dari satu meter. Apalagi saat mami mengajariku membaca, aku harus mendekatkan buku itu ke wajahku agar aku bisa melihat tulisannya dengan jelas. Ketika aku berjalan, aku sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depanku. Kejadian-kejadian ganjil ini sering diperhatikan orang tuaku, sehingga mulai membuat mereka mengkhawatirkan keadaanku. Mereka menjadi bingung, takut dan sedih. Entah apa yang terjadi pada diriku sekarang.
Mami segera membawaku ke dokter mata. Pertama-tama dokter mata yang berada di Sukabumi, tempat kampung halamanku. Di dokter mata, aku bagaikan kelinci percobaan, berbagai jenis ukuran lensa, dari yang tipis hingga yang tebal, lensa itu seperti tutup botol lalu dipasangkan ke mataku. Namun semua usaha itu sia-sia dan tidak membuahkan hasil yang baik. Malah semakin tebal lensanya dan semakin buram penglihatanku. Aku bingung melihat dokter itu mengapa tidak bisa mendiagnosis penyakitku ini. Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku? Ada apa dengan mataku? Aku sakit apa?
Dengan sekuat tenaga, tanpa mengenal lelah, dan dengan penuh semangat orang tuaku terus menyisihkan waktu untuk membawaku berobat ke Jakarta. Sudah 7 orang dokter kami datangi. Dari Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, entah tempat mana lagi kami datangi. Satu per satu dokter mata kami datangi. Sudah banyak dokter mata yang kami datangi. Namun tak satupun memberikan hasil yang baik. Akhirnya sampailah kami pada dokter yang terakhir kami datangi. Dokter itu mengatakan bahwa mataku akan berangsur-anggsur akan menjadi buta. Dokter itu berkata pada mami, “Sebaiknya ibu menyekolahkan anak ibu di SLBA (Sekolah Luar biasa untuk penyandang tunanetra), karena mata anak ibu lambat laun akan menjadi buta.”
Kata-kata dokter itu bagaikan sambaran petir di siang bolong. Orang tuaku menjadi shock berat mendengarnya. Tak pernah disangka-sangka jika anak kedua mereka harus menjadi tunanetra. Sekujur tubuh orang tuaku menjadi lemas. Kata-kata dokter mata itu membuat kami tidak punya harapan lagi.
Sepanjang perjalanan pulang dari dokter mata, orang tuaku hanya terdiam seribu bahasa. Wajah mereka menunjukka keswdihan yang mendalam, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Oh…. Tuhan, apa yang terjadi pada anak kami? Sakit apa anak kami? Mengapa ini terjadi pada anak kami? Kami salah apa?”
Tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Mami yang terkenal sangat cerewet. Biasanya selalu ada saja bahan pembicaraan keluar dari mulut mami, tetapi sekarang mami hanya diam seribu bahasa. Muka mami terlihat begitu sedih dan kecewa. Mami diam-diam menangis. Terlihat jelas matanya samba dan merah.
Sewaktu di ruang dokter mata, aku hanya mendengar bahwa dokter itu mengatakan tentang sekolah luar biasa. Saat itu aku belum mengerti apa maksud dari perkataannya. Apa itu SLBA? Apa itu sekolah luar biasa? Kata-kata dari dokter mata itu benar-benar tidak bisa kupahami.
“Memang mataku kenapa sih, mam?” tanyaku polos.
Mami tetap diam tidak menjawab pertanyaanku.
Tak selang beberapa lama, mami akhirnya menjawab pertanyaanku.
Kira-kira apa jawaban yang yang diberikan mami untukku, nantikan di bab selanjutnya.
