Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 7

Akhirnya kami pun pulang dari Nijmegen, sepanjang perjalanan pulang, aku terus melamun memikirkan mataku yang tidak akan sembuh, tiba-tiba air mataku jatuh membasahi pipi, Aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan berpura-pura melihat ke jalan melalui jendela di sampingku, tapi air mataku semakin deras mengalir, aku tidak mau membuat mami menjadi sedih.

Tidak disangka mami pun mengetahui bahwa aku telah menangis dan mami pun berkata “Kenapa kamu menangis?” . Mendengar ucapan mami, aku malah semakin sedih dan tangisku malah semakin menjadi-jadi, mami hanya mengelus punggungku sambil sesekali menghela nafas.

“sudahlah.” Kata mami menenangkan, “sekarang kita pasrahkan saja semua kepada Tuhan, selama ini Tuhan sudah menolong kamu, buktinya kamu masih bisa bersekolah layak anak-anak normal lainnya.”

“Tapi aku mau mataku sembuh.” Seruku di tengah – tengah tangis.

Saudaraku dan teman Belandanya yang duduk di jok depan hanya bisa terdiam membisu, mereka turut merasakan kepedihan dan kesedihan yang aku dan mami alami. Mobil yang kami tumpangi mendadak berhenti di sebuah pom bensin. Pom bensin di Belanda sangat berbeda yang ada di Indonesia, Jika di Indonesia pom bensin hanya untuk mengisi bensin tapi kalau di Belanda bisa sekalian belanja di toko yang ada di pom bensin tersebut.

Teman Belanda saudaraku pun turun dari mobil dan bergegas masuk ke toko yang ada di pom bensin tersebut, kami hanya duduk menunggu di dalam mobil. Aku pun sudah berusaha tegar dan menguatkan hati untuk menerima kenyataan yang ada. Tiba-tiba pintu mobil yang ada disampingku terbuka, dan teman Belanda saudaraku menyodorkan sebuah Teddy bear kepadaku dengan menggunakan Bahasa Belanda, “Kamu suka boneka Teddy Bear ini?” kata saudaraku menerjemahkan.

Aku terkejut menerima boneka tersebut, kuraba-raba boneka itu dengan jari-jariku, lalu aku menggangguk sambil berkata, “Ya, saya suka, terima kasih!”. Mungkin dia ingin menghiburku dengan boneka Teddy Bear. Sungguh orang yang baik hati, sampai sekarang boneka Teddy Bear masih tersimpan dengan baik bahkan tidak menjadi pudar.

Singkat cerita, akhirnya aku pun mendaftar di SMU, seperti biasa, aku dan mami akan mendapat penolakan dari pihak sekolah. Tapi bedanya kali ini kepala sekolah SMU nya merupakan kepala sekolah yang baru. Beliau lebih mendukungku dan langsung menerimaku sebagai muridnya, Tidak ingin menyiakan kesempatan, aku pun meminta izin kepada mami untuk belajar Huruf Braille, karena penglihatanku semakin memburuk. Kemampuan menulisku semakin naik turun, kadang terlalu naik ke atas, kadang menabrak tulisan yang ada di bawahnya.

Kaca pembesar tidak mampu menolong, melihat keadaan anaknya, akhirnya kedua orangtuaku memanggil seorang guru SLBA ke rumah. Guru SLBA tersebut mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku. Dua kali seminggu guru SLBA tersebut datang kerumah, aku benar-benar antusias untuk belajar karena aku tidak memaksa mataku untuk bekerja lebih keras, yang hanya mempercepat turunnya daya penglihatanku,

Guru SLBA itu sering bercerita kepadaku mengenai kawan-kawannya yang menderita tuna netra di SLBA, bagaimana cara mereka bisa mandiri, mampu berpergian sendiri, membersihkan rumah sendiri, memasak bahkan mereka mempunyai permainan yang sangat seru, mendengar hal tersebut membuatku menjadi semangat dan tertarik untuk berkunjung ke SLBA, aku pun segera meminta mami untuk mengantarkanku berkunjung ke SLBA.

Gayung pun bersambut, mami setuju mengantarkanku, setibanya kami di SLBA, aku sangat senang sekali. Rasanya seperti menemukan duniaku sendiri, ternyata banyak teman yang memiliki keterbatasan penglihatan sepertiku, Selama ini aku berpikir hanya aku sendiri yang mengalami hal ini.

Banyak sekali hal baru yang kutemui dan kupelajari di sana. Dari cara berjalan menggunakan tongkat putih, cara membersihkan rumah, memasak, dan melakukan permainan yang biasa mereka lakukan, aku pun jadi lebih sering bermain ke sana dengan di antar jemput oleh Mami, selain itu dari diriku muncul keberanian untuk mencoba pulang sekolah sendiri.

“Mam. Nanti siang nggak usah jemput aku di sekolah, ya?”

“Kenapa?”

“karena aku mau pulang bareng teman”

“teman kamu yang mana?” Mami Nampak curiga

“Silvi. Rumahnya kan satu jurusan denganku.”

“Lho, tapi kan Silvi rumahnya sebelum kita? Terus, nanti kamu turunnya sama siapa di sini?”

“Tenang saja, mam.”kataku percaya diri,”nanti Silvi akan mengantar aku sampai di depan gerbang rumah.” Aku berusaha meyakinkan mami, agar tidak khawatir dan mengizinkan aku pulang sendiri.

“Ya, sudah. Tapi kamu harus meminta SIlvi ngantar kamu sampai sini, ya!”

“ok!” jawabku senang

Dikelas, aku janjian dengan SIlvi untuk pulang bareng dan memintanya agar mau mengantarkan sampai di depan gerbang rumahku, “nanti aku yang bayar semua ongkosnya!” kataku sambil merayu.

Akhirnya SIlvi bersedia mengantarkan ku sampai di depan gerbang rumahku, lalu dia kembali naek angkutan umum menuju rumahnya. Hal tersebut berlangsung sampai beberapa saat, sampai suatu hari kenekatanku terkabul, aku meminta SIlvi turun saja di rumahnya dan aku memilih untuk melanjutkan perjalananku sendiri.

“Nanti kamu menyebrang jalan bagaimana?” Tanya Silvi Khawatir

“ Bisa, kok.Kan aku masih bisa melihat bayangan mobil atau motor yang lewat.” Jawabku dengan penuh percaya diri. Padahal sebenarnya dalam hati, aku merasa khawatir, takut dan cemas, apalagi jalan di depan rumahku cukup besar dan luas, tapi aku tetap memaksa agar Silvi turun saja terlebih dahulu.

Akhirnya angkutan umum tiba di seberang rumahku, dan aku pun turun dari angkutan umum tersebut.

Setelah turun dari angkutan umum tersebut, tanpa melihat kanan kiri, aku pun berlari sekencang-kencangnya menyebrangi jalan. Secara tiba-tiba dari arah yang berlawanan, ada mobil yang melaju sangat kencang, ketika melihatku berlari menyebrang jalan, pengemudi itu langsung menginjak rem sehingga ban mobil langsung berdecit di tengah jalan, orang-orang yang berada di pinggir jalan langsung melihat kejadian itu, hampir saja aku tertabrak mobil.

“Woi!” teriak kesal pengemudi mobil itu kepadaku

Sekujur tubuhku terasa gemetar, Tak selang beberapa lama, aku pun hanya terdiam mamatung merapat ke pintu gerbang rumah. Jantungku berdetak tak menentu dan tak terkendali. Kedua kakiku terasa lemas. Untung Tuhan masih sayang kepadaku sehingga aku tidak menjadi korban kecelakaan.

Setelah keadaan badanku tidak gemetar, aku pun bergegas masuk ke rumah.

Keadaan rumah sedang sepi, biasanya ada mami yang selalu menungguku ketika aku pulang sekolah.

Sekilas aku mencoba berjalan ke kamar mami. Mencoba melihat secara samar-samar mami berada dimana. Ternyata mami sedang istirahat siang, aku pun langsung masuk ke kamar. Sesampainya di kamar aku pun jatuh telungkup diatas kasur. Sekujur tubuhku masih gemetar hebat. Tidak tahu berapa lama waktu berlalu dengan posisiku yang seperti itu. Sedikitpun tidak bergerak. Seolah-olah semua tulang ditubuhku terasa copot, lemas. Ketika aku mencoba berbalik dengan posisi telentang, gemetar di badanku berangsur-angsur reda. Tak terpikir olehku bahwa akan terjadi peristiwa seperti itu, dan sama sekali aku merahasiakan kepada kedua orangtuaku, karena sudah pasti mereka tidak akan mengijinkan aku pulang sendiri lagi. Aku hanya berjanji kepada diri sendiri, agar di lain kesempatan lebih berhati-hati.

Bagaimanakah, apakah aku di kesempatan lain lebih berhati-hati atau lebih ceroboh?

Nantikan di bab berikutnya………..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel