Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

Mami mencoba mengajak aku berobat ke Singapura, walau dengan keterbatasan komunikasi Bahasa Inggris. Di Singapura, aku menjalani berbagai pemeriksaan mulai dari mencoba berbagai ukuran lensa sampai berusaha membaca huruf yang muncul dilayar. Aku sampai frustrasi karena huruf tersebut tidak mampu kubaca. Percobaan lainnya adalah melihat titik – titik cahaya yang muncul, setiap titik muncul dilayar, aku harus memencet tombol. Lumayan aku sering memencet tombol, padahal aku sendiri tidak yakin bahwa apakah itu benar-benar titik yang muncul atau hanya imajinasiku belaka.

Hasilnya dokter menyatakan bahwa seharusnya kedua mataku sudah tidak buta sama sekali karena bintik yang ditengah bola mataku sudah bolong. Hal tersebut kuketahui dari penjelasan mami setelah mendapat diagnosis dokter. Yang pasti saat itu aku masih mampu melihat. Walaupun luas pandangku semakin sempit dan buram. Akhirnya kami pun kembali ke Indonesia dengan tangan hampa. Hingga misteri masalah pada mataku masih belum terjawab.

Papi dan mami tidak menyerah, ketika aku kelas 3 SMP, mereka kembali mengusahakan agar aku berangkat berobat ke Belanda. Akan tetapi, syukur masih ada orang yang berbaik hati ketika mendengar aku hendak berangkat ke Belanda, dia menyodorkan sejumlah uang pada orangtuaku,

“Pegang saja uang ini untuk berjaga – jaga. Siapa tahu dibutuhkan di sana.” Ujarnya setengah memohon agar orangtuaku mau menerimanya.

Demi menghargai niat baiknya, akhirnya orang tuaku menerima dengan di sertai ucapan terima kasih, jadilah aku berangkat dengan hanya ditemani mami.

Ketika berada diruang tunggu bandara, yang di dominasi orang asing, mami melihat seorang wanita yang sebangsa dengan kami, Akhirnya kami saling berkenalan tak lupa aku pun ikut mengenalkan diri, wanita tersebut bernama Wina, ternyata suami dari Tante Wina adalah orang Belanda asli yang sangat ramah pada kami. Akhirnya panggilan keberangkatan kami sudah berbunyi, aku dan mami bersama tante Wina bergegas menaiki pesawat dengan tujuan Belanda dan akan transit di Bangkok.

Mami sangat senang mendapat teman satu bahasa, seandainya tidak ada tante Wina, pasti kami akan seperti orang asing di Negara lain. Ketika pesawat transit di Bangkok, kami berjalan dengan Tante Wina . Tante Wina menuntun kami sambil sesekali mengajari kami Bahasa Belanda.

“ik wil eten artinya saya mau makan

Ik wil drinken artinya saya mau minum

Ik wil shapen – saya mau tidur

“Aku cinta kamu, Bahasa Belandanya apa tante?” tanyaku penasaran

“Ik hou van je!” jawabnya sambil tertawa. Tangannya yang besar mengucek-ucek rambutku.

Setelah menunggu sekitar dua jam di bandara Bangkok, akhirnya kami kembali memasuki pesawat dan menempuh perjalanan yang masih panjang dan jauh. Kami pun tiba di Bandara Schiphol setelah kurang lebih menempuh perjalanan selama 12 jam. Bandara Schiphol ternyata begitu luas karena banyak wisatawan yang berkunjung ke Belanda. Tante Wina dan suaminya kembali menemani kami hingga kami bertemu dengan saudara yang bersedia meluangkan waktu menjemput kami. Tante Wina dan suaminya bagaikan penolong kami di tengah perjalanan, tanpa Tante Wina dan suaminya, mungkin kami kebingungan selama perjalanan.

Kami berencana tinggal di rumah saudara di Belanda kurang lebih sebulan, tapi saying aku tidak bisa melihat pemandangan di negeri Belanda, khususnya kincir angin, aku sama sekali tidak bisa melihat karena pandangan mataku yang samar-samar. Tapi ada yang kusuka dari negeri Belanda ini yaitu orangnya ramah kepada siapapun baik yang telah dikenal atau belum sama sekali.

Keesokan harinya, petualangan proses penyembuhan mataku pun dimulai. Pada pagi hari waktu Belanda, pertama kami diajak menemui seorang dokter mata di Amsterdam, dokter tersebut menyarankan agar membawaku kepada dokter spesialis mata di Nijmegen. Tidak ingin membuang waktu, saudaraku segera membawaku dan mami langsung menemui dokter spesialis mata di Nijmegen. Setibanya di Nijmegen pada siang hari waktu Belanda, untungnya tidak banyak orang yang sedang berobat jadi aku bisa langsung masuk untuk diperiksa, jadi mami dan saudara bisa langsung mendaftarkan namaku untuk berobat.

Ketika giliran namaku dipanggil untuk diperiksa, secara samar-samar aku melihat ada tiga orang dokter mata yang menungguku duduk di kursi periksa, ternyata yang aku tidak ketahui, ketika memeriksa di Amsterdam, dokter Amsterdam telah mengirim hasil pemeriksaan kepada dokter di Nijmegen mengenai diagnosaku, dua orang dokter mata secara bergiliran membuka mataku lebar-lebar dan dengan menggunakan senter mereka memeriksa bola mataku, kemudian tibalah giliran dokter terakhir yang baru diketahui merupakan seorang professor mata ternama, Dia pun melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian ketiga dokter tersebut saling diskusi, sementara aku bersama mami di bawa oleh perawat ke sebuah ruangan.

Didalam ruangan tersebut, aku bersama mami duduk sambil menunggu professor mata tersebut datang, Tak lama kemudian perawat pun datang dan disusul oleh professor mata tersebut, oleh sang perawat aku pun di minta untuk berbaring ditempat tidur yang ada ditengah ruangan. Kembali kelopak mataku dibuka lebar-lebar, tetapi kali ini berbeda, ada sebuah benda kecil yang dimasukkan ke mataku, berulang kali aku mengerjapkan mata untuk mengurangi rasa sakit yang timbul, akan tetapi kelopak mataku terganjal oleh benda tersebut. Setelah benda kecil tersebut berhasil menempel di mata kiriku, kini giliran mata kananku dimasukkan benda yang sama, kemudian kepalaku di tempeli berbagai macam kabel yang terhubung ke monitor pemeriksaan, Aku hanya bisa terdiam pasrah sementara dengan bantuan saudara, akhirnya mami bisa melihat semua syaraf di mataku.

Setelah selesai, lagi-lagi aku disuntik menggunakan cairan berwarna yang akan menyebabkan mataku ikut berwarna ketika di foto, karena mereka tidak percaya dengan hasil pemeriksaanku sebelumnya di Indonesia dan Singapura. Beberapa hari kemudian, kami kembali ke Nijmegen untuk mendapatkan hasil pemeriksaan, namun sungguh di luar harapan, kembali aku kecewa.

Dokter tersebut berkata kepada saudaraku, yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Dokter tersebut berkata, “ Ada syaraf dikepalanya yang terjempit, dan karena terlalu lama, makanya syaraf tersebut mongering. Adapun fungsi syaraf tersebut untuk menghubungkan antara mata dan otak, bentuknya sangat halus dan sangat kecil, jika dilakukan operasi kemungkinan syaraf-syaraf lainnya akan ikut terpotong dan akibatnya sangat fatal.”. Seketika itu baik mami dan aku langsung lemas mendengar penjelasan dokter tersebut, akan tetapi semangat mami untuk kesembuhanku masih sangat besar.

Akhirnya kami pun pulang dari Nijmegen, sepanjang perjalanan pulang, aku terus melamun memikirkan mataku yang tidak akan sembuh, tiba-tiba air mataku jatuh membasahi pipi, Aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan berpura-pura melihat ke jalan melalui jendela di sampingku, tapi air mataku semakin deras mengalir, aku tidak mau membuat mami menjadi sedih. Tidak disangka mami pun mengetahui bahwa aku telah menangis dan mami pun berkata.

Kira-kira apa yang dikatakan mami?

Kita nantikan di bab selanjutnya…..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel